Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Hujan Buatan Luruhkan Polusi Jakarta? Ini Penjelasan Peneliti BRIN

Hujan disebut bisa meluruhkan polutan yang membuat kualitas udara memburuk. Menurut peneliti di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset Inovasi Nasional di Bandung Nani Cholianawati, dari beberapa penelitian menunjukkan hujan gerimis atau light rain tidak akan meluruhkan polutan. "Kalau dari literatur sih hujan lebat," katanya Senin 14 Agustus 2023.

15 Agustus 2023 | 06.07 WIB

Warga melihat pemandangan Kota Jakarta yang diselimuti polusi udara pada Selasa, 25 Juli 2023. Berdasarkan data IQAir pukul 16.29 WIB, Jakarta tercatat menjadi kota dengan kualitas udara dan polusi terburuk di dunia dengan nilai indeks 168 atau masuk kategori tidak sehat. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
material-symbols:fullscreenPerbesar
Warga melihat pemandangan Kota Jakarta yang diselimuti polusi udara pada Selasa, 25 Juli 2023. Berdasarkan data IQAir pukul 16.29 WIB, Jakarta tercatat menjadi kota dengan kualitas udara dan polusi terburuk di dunia dengan nilai indeks 168 atau masuk kategori tidak sehat. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Hujan disebut bisa meluruhkan polutan yang membuat kualitas udara memburuk. Menurut peneliti di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) di Bandung Nani Cholianawati, dari beberapa penelitian menunjukkan hujan gerimis atau light rain tidak akan meluruhkan polutan. “Kalau dari literatur sih hujan lebat,” katanya pada Senin, 14 Agustus 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nani menjelaskan soal kemungkinan hujan buatan dengan teknologi modifikasi cuaca atau TMC untuk meluruhkan polutan di Jakarta dan sekitarnya. Sebelumnya diberitakan, Presiden Joko Widodo menginstruksikan sejumlah menterinya dan gubernur untuk menangani masalah polusi di Jakarta saat rapat di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin, 14 Agustus 2023. Jokowi antara lain  meminta rekayasa cuaca untuk memancing hujan di kawasan Jabodetabek.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Menurut Nani, pada musim hujan tingkat polutan terlihat berkurang signifikan dibandingkan saat kemarau. Namun, penurunan polutannya tidak sampai separuhnya. Fakta lain dari kajian hasil alat pengukur kualitas udara dan laporan instansi terkait, saat pandemi Covid-19 dan kemarau basah tahun lalu, penurunan polutan dinilai tidak signifikan. Pun dari hasil pantauan satelit.

“Karena faktor akumulasi polutannya sudah banyak dan kemudian tidak serta merta juga langsung luruh,” ujarnya.

Polutan utama yaitu partikulat atau debu halus alias PM2,5 di Jakarta. Dari hasil pengukuran alat pemantau, menurut Nani, sejak 2019 rata-rata berkisar 39 mikrogram per meter kubik per tahun. Sementara, baku mutu kualitas udara terbaru yang ditetapkan pemerintah pada 2021 yaitu 15 mikrogram per meter kubik per tahun.

Hujan deras yang berlangsung lama, menurutnya, bisa menurunkan polutan. Namun, juga bisa mengakibatkan banjir. Penurunan polutan di Jakarta dan beberapa kota besar lain ketika pandemi dan kemarau basah juga dinilai tidak signifikan oleh ahli polusi dari Institut Teknologi Bandung Puji Lestari.

Kondisi di Bandung, menurutnya, agak lebih baik berdasarkan hasil risetnya bersama tim pada Juli 2021 yang melakukan pengukuran kualitas udara di sejumlah ruas jalan. Khususnya ketika pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM.  “Sampai 20-30 persen perbaikan kondisi kualitas udaranya. Sekarang sudah normal lagi seperti sebelum pandemi,” katanya pada Jumat, 11 Agustus 2023.

Sementara polusi udara di Jakarta berdasarkan kajian, kata Nani Cholianawati, sangat didominasi oleh faktor lokal seperti dari emisi kendaran dan industri. Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan tujuh parameter yakni PM10, PM2,5 kemudian NO2 (nitrogen dioksida), SO2 (sulfur dioksida), CO (karbon monoksida), O3 (ozon), dan HC atau hidrokarbon.

Setiap parameter itu memiliki nilai ambang batas dalam ukuran mikrogram per meter kubik. Kategori indeksnya terbagi lima yaitu baik, sedang, tidak sehat, sangat tidak sehat, dan berbahaya. 

Devy Ernis

Devy Ernis

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, kini staf redaksi di Desk Nasional majalah Tempo. Memimpin proyek edisi khusus perempuan berjudul "Momen Eureka! Perempuan Penemu" yang meraih penghargaan Piala Presiden 2019 dan bagian dari tim penulis artikel "Hanya Api Semata Api" yang memenangi Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Alumni Sastra Indonesia Universitas Padjajaran.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus