Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Festival Donaueschingen dan Indonesia

20 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Slamet A. Sjukur komponis Inilah festival musik istimewa yang diadakan di Donaueschingen, Jerman. Sebuah festival musik berumur 81 tahun yang dilangsungkan pada setiap bulan Oktober selama tiga hari. Sejak awal, festival ini mengutamakan komponis-komponis muda yang potensial dan belum punya nama. Bela Bartok pernah ditolak di sana, karena waktu itu dia sudah mulai terkenal. Sebaliknya Paul Hindemith dan Alban Berg, dua tokoh musik modern yang ketika itu belum banyak dikenal orang, dikasih tempat bagus. Inilah keberanian yang tidak ada di Indonesia. Orientasi kita di sini sebatas keuntungan material yang cepat, kalau perlu ikut-ikutan, bukan orisinalitas, apalagi sasaran moral estetik jangka panjang. Selama tiga hari itu digelar karya-karya untuk orkes, ensambel multimedia, paduan suara, musik elektronik, teater akustik yang disayembarakan Karl Sczuka untuk siaran radio, puisi konkret, instalasi akustik, cahaya dan suara, jazz, dan tak ketinggalan konferensi meja bundar antarkomponis yang dapat disaksikan penonton. Semua ini berlangsung di tujuh tempat yang tersebar di kota kecil Donaueschingen. Untuk mengerjakan karya-karya baru yang dipesan festival, para komponis diberi waktu dua sampai tiga tahun. Maka tidak mengherankan kalau sekarang ini Armin Koehler, direktur artistik festival, sudah merancang kerangka festival sampai tahun 2005. Untuk tahun ini dana festival mencapai 350 ribu euro (sekitar Rp 2,9 miliar) ditambah 40 ribu euro (sekitar Rp 328 juta) untuk pemesanan karya-karya baru kepada 17 orang komponis. Anggaran sebesar ini, menurut Koehler, hanya setengah dari yang dia harapkan. Suatu rencana tentu saja harus rapi, tapi festival yang direncanakan terlalu lama bukan tak mengandung risiko. Misalnya, adanya kemungkinan tidak sejalan lagi dengan kecenderungan baru yang mendasar dalam berbagai permasalahan musik, sekalipun harus dipertimbangkan bahwa karya yang bermutu berbeda dari mode, fashion, yang memburu selera sesaat. Sebenarnya Koehler adalah orang yang punya perhatian besar terhadap Indonesia. Dalam kesibukannya mencari benih-benih unggul, Koehler menyempatkan diri berkunjung ke Indonesia selama lima hari, bulan Juli lalu. Dia ingin mendengar sendiri bagaimana musik kontemporer yang punya jati diri Indonesia. Dalam hal musik kontemporer, batas-batas nasional sebenarnya tidak menjadi masalah. Orang tidak peduli apakah dia seorang komponis Belgia atau Estonia atau lainnya. Tapi terhadap Asia dan Afrika, festival Donaueschingen masih mengharapkan sesuatu yang khas. Mereka ingin memperlihatkan bahwa Jepang, Tiongkok, Indonesia, dan sebagainya itu bukan subkultur Barat. Di Indonesia, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Solo dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung menjadi koordinator dalam upaya menampilkan komponis-komponis muda yang matang. Solo sempat menampilkan lima komponis, antara lain Elzar Koto dan Rafiloza, di samping sebuah pergelaran wayang padat serta permainan lesung yang mengasyikkan. Pertunjukan yang dilakukan oleh sekitar 30 nenek-nenek dan kakek-kakek yang tergabung dalam komunitas Lesung Bonoroto, lengkap dengan pembagian gethuk dari panggung kepada para tamu. Sedangkan Bandung menyuguhkan delapan komponis, antara lain Dody Setia Eka Gustidiman dan Dedy. Koehler juga memerlukan hadir dalam Festival Gamelan Yogyakarta, duduk di pinggir jalan di antara penonton yang sangat padat. Dia sempat heran bahwa kualitas teknik dan konsentrasi permainan gamelan orang-orang bule itu begitu bagus. Padahal orang-orang Indonesia sendiri yang dia dengar di STSI Solo, UPI Bandung, maupun di Festival Gamelan, rata-rata belum mencapai tahap semestinya. Satu ungkapan yang setara dengan Rahayu Supanggah, direktur program pascasarjana STSI Solo. Tokoh yang satu ini pernah mengeluhkan kesulitan mendapatkan orang yang betul-betul mampu memainkan—tentu dengan penghayatan baik—gong. Terlepas dari gamelan atau bukan, teknik permainan dan kemampuan interpretasi di Eropa tinggi sekali, meski hal itu baru tercapai setelah Perang Dunia II. Artinya, baru sekitar 50 tahun terakhir. Sebelum itu, komponis-komponis yang melakukan pembaruan dalam mengusia semuanya mengeluh. Pernah seorang wartawan bertanya kepada Shoenberg, mengapa karyanya sulit dimengerti. Jawabnya sederhana: karena pemainnya belum paham. Jika Koehler belum sepenuhnya puas dengan musik yang didengarnya di sini, bukan berarti kita tidak punya karya yang berbobot. Ada nama besar seperti I Wayan Sadra, A.L. Suwardi, Rahayu Supanggah, Gutama Soegijo, yang menetap di Berlin, atau Tony Prabowo yang sulit dihubungi. Begitu juga STSI Denpasar dan lainnya. Tapi Koehler maklum, di mana pun seniman yang hebat, jumlahnya sangat sedikit, dan sangat sulit didapat. Mereka menjadi rebutan berbagai festival maupun untuk acara-acara di luar festival.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus