Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan, mengakhiri operasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) merupakan langkah krusial untuk mencapai target transisi energi berkeadilan. Apalagi Presiden Prabowo Subianto menyatakan yakin Indonesia mencapai target Net Zero Emission sebelum 2050 saat menghadiri konferensi G20 di Brasil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia, kata Fabby, harus mengurangi kapasitas dan pembangkitan listrik dari PLTU batu bara sebesar 11 persen pada 2030, lebih dari 90 persen pada 2040, dan menghentikan operasional PLTU seluruhnya di 2045. Ini juga memungkinkan energi terbarukan mencapai 40 persen dalam bauran energi primer di sektor listrik pada 2030.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami menyarankan agar segera dibentuk gugus tugas dekarbonisasi kelistrikan yang berisi wakil lintas kementerian dan PLN (Perusahaan Listrik Negara), dipimpin oleh figur yang tegas dan memahami persoalan dan melapor langsung ke Presiden,” kata Fabby dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 21 November 2024.
Dalam studi IESR berjudul Beyond 443 GW menunjukkan, Indonesia memiliki total potensi teknis energi surya, angin, air dan biomasa sebanyak 7.879,43 gigawatt dan 7.308,8 gigawatt hour untuk PHES (Pumped Hydro Energy Storage). Adanya potensi tersebut, Indonesia bisa mengandalkan sumber daya energi terbarukan untuk transisi cepat dan berbiaya rendah.
Fabby menyarankan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Keuangan dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) segera menyelesaikan peta jalan pengakhiran operasi PLTU, sebagaimana yang diamanatkan oleh Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 dalam jangka waktu hingga 2040.
Dengan demikian, bisa ditentukan secara pasti tahapan mengakhiri PLTU, skema pendanaan dan pembiayaan, serta pembangunan kapasitas energi terbarukan dan penyimpan energi. “Dan mempersiapkan rencana untuk mengatasi dampak sosial dan ekonomi bagi pekerja yang terdampak,” ujar Fabby.
Fabby menambahkan, setelah mengakhiri PLTU juga perlu investasi besar untuk membangun energi baru terbarukan dan penyimpanannya. Biaya yang diperlukan sekitar US$ 1,2 triliun hingga 2050 untuk memenuhi kebutuhan energi dengan sumber daya terbarukan, terutama energi surya, pembangunan penyimpan energi dan jaringan transmisi.
Selanjutnya diperlukan biaya untuk mengakhiri operasi PLTU secara dini, khususnya IPP (Independent Power Producer) yang memiliki kontrak dengan PLN hingga 2056. IESR menyarankan pemerintah mencoba skema pembiayaan campuran (blended finance) dan karbon kredit dari proyek yang mendukung transisi energi (transition carbon credit) guna membiayai pengakhiran operasi dini PLTU.
Saat sesi ketiga G20 di Brasil pada 19 November 2024, Prabowo menyatakan akan mencapai target Net Zero Emission sebelum 2050 karena Indonesia memiliki kekayaan alam yang bisa diolah menjadi energi terbarukan dan ramah lingkungan. Posisi Indonesia yang berada di garis khatulistiwa akan dimaksimalkan untuk memanfaatkan tenaga surya.
“Kami berencana untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan semua pembangkit listrik tenaga fosil dalam 15 tahun ke depan. Kami juga berencana untuk membangun lebih dari 75 gigawatt tenaga terbarukan dalam 15 tahun ke depan,” ucap Prabowo dalam forum bertema ‘Sustainble Development and Energy Transition’. Dia pun menekankan pentingnya aksi kolektif untuk mengatasi perubahan lingkungan.