Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut rencana pemerintah menurunkan target energi baru terbarukan alias EBT menjadi 17-19 persen pada 2025, dari target sebelumnya 23 persen, sebagai pengingkaran terhadap komitmen Indonesia mencapai net zero emission di 2060. Pemerintah Indonesia telah menargetkan nol emisi karbon pada 2060. Untuk mencapainya, kata Direktur IESR Fabby TumiwaFabby, bauran energi baru terbarukan harus mencapai 40-45 persen pada 2030.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ini pengingkaran terhadap komitmen Indonesia untuk mencapai net zero emision pada 2060 atau lebih awal," kata Fabby dalam acara Pojok Energi secara daring pada Rabu, 7 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fabby melanjutkan, penurunan target EBT ini juga berbeda dengan aksi yang dilakukan di seluruh dunia terkait hasil dari COP28. COP adalah rapat tahunan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk membahas isu iklim.
Dalam konferensi yang diadakan di Dubai pada akhir tahun lalu, kata dia, hasilnya adalah transisi dari bahan bakar fosil. Sehingga, negara-negara diminta memenuhi target Paris Agreement.
"Jadi, mencegah kenaikan temperatur global di bawah 2 derajat, bahkan 1,5 derajat," beber Fabby.
Sebelumnya, Dewan Energi Nasional (DEN) sedang merevisi target bauran energi baru terbarukan lewat pembaharuan Kebijakan Energi Nasional (KEN). DEN mengusulkan revisi peraturan pemerintah atau PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam peta jalan transisi energi pada Revisi PP KEN itu, ditargetkan pada tahun 2030 bauran energi primer EBT mencapai 19-21 persen, lalu mencapai 38-41 persen pada 2040, dan 70-72 persen pada 2060.
Namun, DEN mengungkapkan pembaharuan KEN itu belum disetujui oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Adapun perubahan target itu bertujuan agar capaian target tetap masuk, meski hanya tercapai di skenario angka terendah.
AMELIA RAHIMA SARI | ANTARA