Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Pagar makan tanah

A. agil suharto, kepala bpn, bali dan i gusti ketut suandia ditangkap kejaksaan. mereka dituduh terlibat korupsi rp 392,7 juta, karena menjual tanah negara. mengakibatkan 21 penduduk kehilangan tanahnya.

12 Januari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YANG bodoh makanan yang pintar, begitu bunyi pepatah. Tapi terasa menyakitkan bila yang "pintar" itu adalah pejabat pemerintah, sementara yang "bodoh" itu penduduk desa. Berkat "kepintarannya", Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Jembrana, Bali, A. Agil Suharto, dalam tuduhan jaksa, berhasil mengelabui petani setempat sehingga menjual tanah kebunnya kepada swasta dengan harga jauh lebih murah daripada harga yang dibayar pengusaha tersebut. Bayangkan, seorang petani bernama Komang Dendra hanya menerima uang Rp 10 juta, padahal dalam kuitansi jual beli mestinya ia berhak menerima Rp 26 juta. Lebih "bodoh" lagi Kembar Nadia, yang cuma menerima Rp 3 juta dari mestinya yang Rp 30 juta. Begitu pula Menteg, yang hanya keciprat Rp 4 juta dari Rp 24,5 juta. Lebih celaka lagi, tanah yang diperjualbelikan itu ternyata adalah tanah negara -- dan penduduk hanya berstatus penggarap. Karena itulah, Agil sejak 14 Desember lalu ditahan kejaksaan setempat. Bersama bawahannya, I Gusti Ketut Suandia, ia dituduh terlibat korupsi Rp 392,7 juta karena menjual tanah negara seluas 203.655 m2. Kedua pejabat itu dituduh jaksa mengakibatkan 21 penduduk di Desa Tuwed, Jembrana, kehilangan tanahnya. Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Moch. Gholib, tanah itu mulanya tanah negara bebas. Sudah lama penduduk menggarapnya, sebagai kebun kelapa. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah 224/1961, penduduk memohon agar tanah itu diredistribusi melalui BPN. Tapi Agil diam-diam, pada 25 Juni 1990, malah membuat surat permohonan kepada atasannya, Kakanwil BPN Bali, agar tanah garapan penduduk itu dialihkan kepada Direktur Bank Pasar Pengastulan, I Made Pesek Suardika, yang berkantor di Seririh, Singaraja. Anehnya, walaupun izin atasan belum turun, Agil telah melaksanakan pelepasan hak atas tanah itu kepada bank pasar pada 29 Juni 1990. Esoknya bahkan pembayaran ganti rugi dilakukan serta-merta terhadap penduduk. Tapi, itu tadi, yang diterima penduduk ternyata hanya remah-remahnya. Menteg, misalnya, setelah menerima uang Rp 4 juta, ditagih Suandia untuk membayar biaya ini-itu sebesar Rp 540 ribu. Betapa kagetnya Menteg ketika diperiksa kejaksaan. Ternyata mestinya ia menerima Rp 24,5 juta. Maklum, waktu itu ia hanya disuruh meneken kuitansi tapi tak boleh membacanya. Sebagian besar penggarap yang dihubungi TEMPO ternyata tak pernah berniat menjual kebunnya. Tapi mereka ketakutan ketika Suandia datang menakut-nakuti dengan mengatakan tanah itu akan terkena proyek pariwisata. "Daripada nanti diambil cuma-cuma, jual saja sekarang," kata Suandia. Mereka pun menyerah. Ternyata Kanwil BPN Bali menolak permohonan Agil itu lewat sepucuk surat pada 20 Agustus 1990. Buntutnya, kejaksaan turun tangan membongkar kasus itu. "Sebagai oknum BPN, mereka mestinya melindungi tanah negara. Ini malah menggerogotinya," ujar Gholib. Agil, yang ditemui TEMPO, mengaku telah mendapat restu lisan dari atasannya untuk melakukan tindakan itu. Berdasarkan restu itulah, katanya, ia berani melaksanakan pelepasan hak tanpa menunggu izin tertulis. "Saya tak menyangka jadi begini," kata Agil tanpa menyebut siapa "atasan" yang dimaksudnya. Kepala BPN Pusat, Soni Harsono, mengaku telah mendapat laporan tentang kasus Agil tersebut. Tapi ia menduga, istilahnya bukan menjual tanah negara. Yang terjadi, katanya, hanya sekadar penyalahgunaan wewenang, yaitu memanipulasi redistribusi tanah kepada penduduk menjadi peruntukan tanah buat pengusaha. Jadi, Soni memperkirakan, yang disidik kejaksaan itu hanya kasus manipulasi. "Mungkin rakyat diberi uang sebagian saja. Ini namanya pungli atau manipulasi," katanya pada Indrawan dari TEMPO. Apa pun nama kasusnya, yang jelas pejabat tersebut bak "pagar makan tanaman". Bersihar Lubis & Silawati (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus