INI mungkin cerita baru: Indonesia mengimpor serangga. Manfaat
serangga impor itu sendiri memang tidak asing lagi. Yaitu
disebarkan untuk menyerbuki bunga kelapa sawit. Akhir bulan
lalu, Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi
Perkebunan/Tanaman Keras Ir. Hasjrul Harahap meresmikan
penyebaran serangga sejenis kumbang tersebut, Elaeisdobius
kamerunicus, di kebun percobaan kelapa sawit PPM (Pusat
Penelitian Marihat) Pematangsiantar di Sumatera Utara.
Sudah lama disadari bahwa tingkat produksi kelapa sawit di
Indonesia masih jauh di bawah potensi optimal. Kendatipun di
tanam DP (ura pisifera), jenis unggul, yang mampu menghasilkan
3,8 sampai 4 ton per ha setiap tahun. Ini diperkirakan belum
separuh dari tingkat produktivitas yang semestinya.
Padahal awal Pelita III, pemerintah menetapkan 6 andalan utama
produk perkebunan sebagai penghasil devisa. Di samping kopi,
karet, gula, kelapa (kopra), cokelat, juga kelapa sawit. Bahkan,
kelapa sawit itu diharapkan mengisi 42% dari volume total
ke-6-komoditi itu, serta menghasilkan hampir seperempat dari
jumlah devisanya! Namun dengan tingkat produktivitas yang rendah
itu, niscaya rencana ltu akan tetap tinggal impian.
Itu sebabnya, para peneliti berpaling pada cara peningkatan
produksi yang sudah lama diterapkan di Afrika, dan belakangan
juga dikembangkan di Malaysia dan Papua Nugini: penyerbukan
dengan bantuan serangga Elaeisdobius itu. Jika kumbang yang
gemar bunga kelapa sawit itu merayap dari bunga ke bunga, tepung
sari jantan yang melekat pada tubuhnya, akan membuahi buna
betina secara sempurna.
Tanaman kelapa sawit tergolong tanaman monoecious, berumah satu,
artinya pada satu pihak terdapat bunga betina yang terpisah dari
bunga jantan. Hanya jumlah bunga Jantan - yang berada di bagian
atas pohon itu - jauh kurang jumlahnya dibanding bunga betina.
Akibatnya, penyerbukan alamiah sangat tidak efisien, karena
hanya sebagian kecil dari bunga betina itu yang terbuahi. Karena
itu di perkebunan diterapkan polinasi atau pembuahan yang
dibantu tangan manusia.
Caranya dengan mengumpulkan pollen, tepung sari, bunga jantan
dan dikeringkan selama tiga hari untuk menghilangkan
kelembabannya. Setelah dicampurkan dengan tepungan, seperti talk
misalnya, campuran tersebut kemudian disemprotkan ke tandan
bunga betina. Penyerbukan balltuan atau assisted pollination
selama ini dianggap cara yang paling jitu untuk meningkatkan
produksi kelapa sawit.
Tapi, penyerbukan yang dilakukan 3 hari sekali itu sering
meleset waktunya, karena bunga betina hahya selama beberapa jam
saja siap dibuahi. Di samping itu, hanya bunga betina di bagian
luar saja yang terbuahi, sedang bagian dalamnya terlewati.
Penyerbukan yang dilakukan manusia, memang, "sifatnya hanya
spekulatif", seperti kata Ir. Charles Hutauruk, staf peneliti di
PPM kepada TEMPO pekan lalu. Padahal cara tersebut melibatkan
banyak tenaga manusia dan biaya.
Syahdan, setelah mengamati penyebaran serangga di Malaysia, para
ahli pertanian dari PT dan PN perkebunan, PPM dan Badan Litbang
Pertanian - berkeyakinan cara penyerbukan dengan penyebaran
kumbang Elaeisdobius akan jauh lebih produktif dan murah.
"Serangga EK itu meningkatkan intensitas perkawinan bunga," ujar
Menteri Muda Hasjrul kepada TEMPO pekan lalu. "Jadi buahnya
lebih banyak."
Pengamatan para ahli pertanian Indonesia itu juga meyakinkan
Menteri Pertanian Soedarsono Hadisaputro. Maka pertengahan Juli
1982, menteri mengeluarkan izin pemasukan serangga Elaeisdobius
kamerunicus ke Indonesia. Serangga yang berasal dari Nigeria,
Afrika, diimpor melalui Balai Penelitian OPRS Banting di
Malaysia. Dan pada Agustus tahun itu juga, sebanyak 4.623 pupa
(kepompong) Elaeisdobius tiba di bandar udara Polonia, Medan.
Kepompong yang dalam keadaan suci hama dan penyakit itu,
langsung dikirim ke PPM Pematangsiantar, di bawah pengawasan
cukup ketat.
Selama dua hari perjalanan, dari Malaysia ke laboratorium PPM di
Pematangsiantar, hanya 508 kepompong menjelma jadi serangga (394
ekor jantan dan 114 betina). Di PPM serangga itu dikarantinakan.
Penelitian intensif mulai dilakukan para peneliti PPM atas sifat
spesifik serangga itu serta cara pembiakannya yang paling
efisien.
Sebetulnya di sini juga terdapat sejenisserangga, Thrips, yang
sering bertindak sebagai penyerbuk. Thrips beterbangan di antara
bunga jantan dan bunga betina kelapa sawit. Tetapi serangga
lokal itu juga hinggap pada bunga tanaman lain, hingga
peranannya di perkebunan kelapa sawit tak menonjol. Berbeda
dengan Elaeisdobius yang memang hanya bisa- hidup pada kelapa
sawit.
Di laboratorium PPM, Elaeisdobius ditempatkan pada 22 jenis
tanaman. Dan ternyata serangga impor itu tak bisa hidup di
sernbarang tanaman. "Ia hanya bisa hidup pada sawit saja," tutur
Hutauruk. Artinya habitat lain berupa tanaman, hewan atau
manusia, tidak akan terganggu olehnya.
Kini penelitian mencapai tahap percobaan yang menentukan:
mampukah serangga Afrika tersebut meningkatkan produksi sawit di
Indonesia? Percobaan yang dilakukan di kebun sawit PPM berhasil
baik, seperti sudah diduga, produksi buah naik sekitar 20%.
Sehingga PPM berani minta agar Menteri Pertanian mengizinkan
penyebaran serangga Elaeisdobius iiu secara besar-besaran.
Maka 10 Maret lalu keluarlah SK Menteri Pertanian yang
diharapkan. Dalam suatu upacara di PPM, Maret lalu, Ir. Hasjrul
Harahap meresmikan penyebaran itu. "Karena jelas, dengan cara
baru ini, produksi bisa meningkat," ujar Harahap sambil
menyerukan: "Seluruh perkebunan negara maupun rakyat, harus
memakai cara penyerbukan baru ini!"
Setiap hektar tanaman sawit, memerlukan sekitar 400 ekor
serangga, untuk taraf penyebaran permulaan. Menurut Kepala PPM,
E.L. Tobing, sejak April ini seluruh PTP I-IX di Sumatera Utara
dan Aceh, sudah memesan kepada PPM. "Semuanya akan kami layani,"
ujar Tobing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini