SAYA ini sudah seperti orang gila. Pikiran keruh, makan tak enak dan tidur pun susah, '' ujar Sodiq. Warga Bulumanis Kidul, Pati, Jawa Tengah, ini gundah-gulana. Tambak udangnya seluas 1,5 hektare dan diperkirakan bisa menghasilkan Rp 25 juta kini puso begitu saja. Udang-udang yang diternakkan Sodiq di situ mati semuanya. Puluhan warga Bulumanis Kidul, pemilik tambak udang, juga mengalami nasib serupa. Saekun, pemilik tambak seluas 8 hektare, sejak awal tahun lalu sudah gagal memanen udang yang berumur 4 bulan. Kerugian Saekun mencapai Rp 36 juta. ''Di Bulumanis Kidul ada sekitar 150 hektare tambak yang tahun ini gagal dipanen udangnya,'' ujar kepala desa di sana. Menurut penduduk, udang-udang mati karena pencemaran yang dibawa Sungai Suwatu dan Sungai Bango keduanya melintasi Bulumanis. Beberapa desa tetangga yang dialiri sungai yang sama juga ikut tercemar. Padahal air sungai itu dimanfaatkan penduduk untuk mengairi sawah dan tambak. Penduduk memperkirakan sekitar 1.000 hektare sawah dan tambak telah tercemar. Yang paling parah adalah Bulumanis Kidul. ''Sekitar tujuh puluh persen sawah dan tambak petani rusak,'' kata Saekun. Biang pencemarannya segera bisa dilacak. Dari limbah yang terapung di permukaan sungai jelas terlihat bahwa pencemaran itu berasal dari limbah pabrik tapioka yang sudah mengotori Sungai Suwatu dan Sungai Bango sejak tiga tahun terakhir ini. Manakala industri tapioka mulai marak, tak hanya limbah cair saja berupa bekas pencucian dan endapan tepung tapioka (lindur) yang diluncurkan ke sungai. Tapi juga limbah padat berupa potongan kulit hingga ampas ketela. Tumpukan limbah makin menjadi-jadi setelah usaha tapioka membengkak menjadi 244 industri. Dari jumlah itu 30 di antaranya berupa industri menengah dan hanya satu yang tergolong besar. PT Salim (berdiri sejak 1990) yang berteknologi modern setiap hari berproduksi dalam kapasitas 100 ton ketela. Pabrik menengah menggiling 50 ton ketela, sedangkan pabrik kecil 5 ton saja. Semua buangan pabrik yang besar maupun kecil mencemari Sungai Suwatu dan Bango. Dan kebiasaan itu berlangsung terus sampai berakibat fatal pada lingkungan. Pencemaran memang sudah dikurangi secara tak sengaja. Potongan ketela, misalnya, masih laku dijual Rp 20 per kilo untuk campuran gaplek. Kulit kelapa pun masih dihargai Rp 300 per sak, juga lindur yang dikeringkan bisa dijual Rp 40 per kilo. Semuanya dipakai sebagai campuran makanan ternak. Hanya saja tidak semua pengusaha tapioka mau memanfaatkan limbahnya. Soalnya, pengeringan limbah membutuhkan lahan luas yang tak mereka miliki. Akibatnya, limbah padat yang menumpuk di sungai dibiarkan membusuk dan menebarkan aroma tak sedap yang menyesakkan napas. Gas metana yang dihasilkan dari tumpukan limbah itu pun segera mematikan udang dan tanaman. Menurut penelitian sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat, P3M (Perhimpunan Pesantren dan Masyarakat), limbah cair yang digelontor ke sungai setiap hari mencapai 12,5 juta liter, termasuk ke dalamnya lindur. ''Lindur yang membusuk itu membentuk endapan kuning dan hitam yang membawa perubahan struktur air sungai, '' ujar Ali Sofyan, wakil ketua P3M. Saekun mengungkapkan, persoalan limbah ini sudah sering dibahas dalam pertemuan antar-kepala desa yang dihadiri camat maupun bupati. ''Tapi sampai sekarang belum ada tanggapan, '' keluh Saekun. Akhirnya beberapa penduduk, yang mengatasnamakan warga empat desa, mengadu ke LBH Semarang. Sebenarnya Pemda setempat dan pihak Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan) telah pula turun tangan. Namun, ''Masalahnya, si kecil melawan si kecil, '' ujar salah seorang staf Bapedal. Maksudnya, baik pelaku pencemaran maupun pihak yang dirugikan sama-sama masyarakat ekonomi lemah. Lagi pula pabrik tak mungkin ditutup begitu saja kalau tak mau menciptakan ribuan penganggur. Satu-satunya jalan keluar adalah membangun pengolahan limbah. Menurut penelitian Bapedal dan Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Semarang, perlu dibangun tiga unit pengolahan. Namun hal itu lebih mudah diucapkan ketimbang dilaksanakan. Tampaknya para pengusaha tapioka tak mungkin membangun sarana pengolah limbah. Mungkin mereka mampu, asalkan dibantu dengan injeksi dana, apakah dari pemerintah ataupun lembaga swadaya masyarakat. Menurut sumber di Bapedal, sejak terjun meneliti pencemaran di Pati pada pertengahan 1991, yang bisa dilakukan barulah sebatas studi yang diperkirakan rampung 6 bulan mendatang. Untuk studi dan pembuatan dokumen Amdal, Bapedal dijatah Rp 75 juta dari APBN. Tahun anggaran 1993/94 dana itu tak pula bertambah sehingga Bapedal hanya bisa menggarap design engineering saja, belum membangun konstruksi. Jadi para petani dan pengusaha tambak udang agaknya masih harus menunggu lama. Kecuali ada yang bersedia mengucurkan dana untuk menangkal pencemaran tapioka itu. G. Sugrahetty Dyan K. dan Bandelan Amarudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini