Entah kenapa penunjukan Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana sebagai penasihat ekonomi Presiden dan penasihat Menko Eku dan Wasbang Saleh Affif ramai disorot oleh pers. Padahal sejak 10 tahun silam Prof. Widjojo telah menjadi penasihat pemerintah dan sejak 5 tahun lalu Ali Wardhana juga telah menjadi penasihat pemerintah. Jadi, apa bedanya? Lalu mengapa beberapa surat kabar memuat tulisan yang memuji pengangkatan kedua ekonom itu? Jawabnya jelas. Sebelum Mensesneg Moerdiono mengumumkan pengangkatan kedua ekonom ''sepuh'' itu, ada kesan yang tidak atau kurang melegakan tentang Kabinet Pembangunan VI. Ada baiknya diuraikan faktor apa dalam Kabinet Pembangunan VI yang menyebabkan sebuah harian ibu kota menyambut pengangkatan kedua ekonom tersebut sebagai ''melegakan''. Pertama, diakui atau tidak, tampaknya peran kedua ekonom tersebut dalam Kabinet Pembangunan VI merosot. Selama seperempat abad ini, Ketua Bappenas, Menteri Keuangan dan Gubernur BI dipegang ''orang-orang Widjojo''. Sekarang Ginandjar Kartasasmita, Mar'ie Muhammad dan Sudradjad Djiwandono w yang tak dikenal sebagai orang-orang Widjojo w menggantikannya. Satu-satunya orang dekat Widjojo yang tersisa dalam kabinet baru cuma Menko Eku dan Wasbang. Itu pula sebabnya mengapa kedua ekonom terkemuka itu diperbantukan pada Afiff. Kedua, adalah meningkatnya pengaruh Prof. Habibie. Dialah satu- satunya Menteri Kabinet Pembangunan V yang jauh sebelum pengumuman oleh Presiden sudah memastikan akan tetap memangku jabatannya. Dan Habibie ternyata memang diangkat kembali sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi. Tapi pengaruh Habibie bukan hanya dikementerian itu saja. BPPT sebagai sumber daya utama Habibie telah menetaskan orang-orang yang diangkat sebagai Menteri Pendidikan & Kebudayaan, Menteri Perhubungan, Menteri Perdagangan, dan Wakil Ketua Bappenas. Duduknya Ir. Ginandjar Kartasasmita sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas dan Ir. Rahardi Ramelan sebagai Wakil Ketuanya bukan sekadar pengangkatan rutin. Bagi masyarakat Indonesia yang terbiasa dengan simbol-simbol, pindahnya Widjojo dari Bappenas w kantor yang telah dihuninya selama 25 tahun w ke Lapangan Banteng, kantor yang secara fisik berada dalam Departemen Keuangan, punya makna yang khusus. Kini, seperti diakui Ginandjar, untuk pertama kali Bappenas dipimpin oleh orang luar Bappenas. Implikasi kebijaksanaan ekonominya akan segera tampak dalam waktu dekat. Namun ada beberapa hal yang patut untuk diulas menyangkut kedudukan penasihat ekonomi Presiden. Pertama adalah tentang pentingnya penanganan ekonomi makro seperti dikatakan Menteri Moerdiono. Di sini perlu ditekankan bahwa diangkatnya kedua pejabat ekonomi itu tidak dengan sendirinya berarti penanganan ekonomi makro dalam kabinet sekarang lemah dilihat dari personalia yang ada. Sementara itu keahlian teknis ekonomis dan teoritis metodologis dari kedua ekonom ''sepuh'' itu tidak bisa dikatakan paling piawai di Indonesia. Ekonom seperti Iwan Jaya Azis, Budiono (Bappenas) dan Anwar Nasution menurut hemat saya keahliannya lebih kontemporer. Keketatan metodologis merekapun lebih superior. Jadi, kalaupun kedua ekonom sepuh itu diangkat, ini hanyalah masalah historis, dan sangat boleh jadi itu berkaitan dengan hubungan Indonesia sebagai negara yang punya utang pada CGI (Consultative Group on Indonesia). Kalaupun dikatakan bahwa kedua ekonom senior itu mempunyai reputasi internasional, maka itu bukan karena nilai-nilai atau sesuatu yang intrinsik ada pada setiap ekonom. Nama seperti Sumitro Djojohadikusumo dan Sadli juga punya reputasi intrinsik sebagai ekonom, yang sekurang-kurangnya sama dengan Widjojo dan Ali Wardhana. Satu-satunya faktor yang membedakan Widjojo dan Ali Wardhana dengan Iwan Jaya Azis, Budiono, Anwar Nasution atau Sumitro dan Sadli adalah sejarah mereka yang selalu mengurus utang luar negeri. Tetapi di sini letak ironinya. Pengangkatan kedua ekonom sepuh yang ''melegakan'' bagi sementara kalangan tidak sama sekali mengubah kenyataan bahwa menteri-menteri pada posisi kunci bukanlah ''orang-orang mereka''. Dewan moneter yang baru akan terdiri dari Mar'ie Muhammad (Menteri Keuangan), Sudradjad Djiwandono (Gubernur BI), S.B. Joedono (Menteri Perdagangan) dan Ginanjar Kartasasmita (Menteri Negara/Ketua Bappenas), serta Sekneg sebagai pejabat //ex-officio//. Personalia tersebut adalah individu-individu yang bukan ''orang Widjojo''. Kebijaksanaan- kebijaksanaan yang mereka munculkan akan menentukan kredibilitas Indonesia dalam kancah ekonomi dunia. Saleh Affif, Widjojo dan Ali Wardhana tidak duduk di situ. Namun, analisa tidak bisa terlalu jauh. Baik para menteri baru yang memegang kemudi ekonomi dan keuangan negeri ini, maupun Widjojo dan Ali Wardhana, semua mereka adalah orang-orang Soeharto. Jadi, daripada para Penasihat Presiden RI itu berpindah-pindah kantor dan ''mengganggu'' menteri-menteri yang ada, bagaimana bila di Indonesia dibentuk Dewan Penasehat Ekonomi? Ini memang bukan ide orisinal dan telah berlangsung di negara-negara industri. Tetapi dengan membentuk Dewan Penasehat Ekonomi, maka pengelolaan ekonomi makro dapat berlangsung tanpa dikaitkan dengan ''perang'' teknokrat //vs//. teknolog. Lebih penting lagi, adanya Dewan Penasehat Ekonomi meniadakan ''politisasi'' jabatan Penasihat Presiden. Bukan rahasia lagi bahwa Dewan Moneter Kabinet Pembangunan V jarang (atau tidakj pernah?) mengundang Arifin Siregar, yang sebagai Menteri Perdagangan dalam Kabinet pembangunan V seyogianya duduk dalam Dewan Moneter menurut Undang-Undang yang berlaku. Sementara itu, Menteri Keuangan Kabinet Pembangunan V, Sumarlin, mengangkat Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana sebagai Penasihat Ketua Dewan Moneter. Politisasi posisi penasihat ekonomi yang semacam ini dapat dihindari bila Penasihat Presiden duduk dalam sebuah dewan penasihat ekonomi khusus dan tidak ''mengganggu'' para menteri resmi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini