ADA adegan aneh pada wisuda sarjana baru Universitas Parahyangan (Unpar), Bandung, Sabtu pekan lalu. Yang mewisuda adalah Sekretaris Senat Unpar, Arif Sidharta. Sedangkan Dr. Pande Radja Silalahi, yang selama ini dikenal sebagai rektor, hanya duduk di kursi undangan sebagai ''penonton''. Ini terjadi gara-gara surat Pande yang dilayangkan ke Yayasan Unpar, yang mengelola universitas itu, awal Maret lalu. Isinya permohonan pengunduran diri sebagai rektor dan siap mempertanggungjawabkan tugasnya. Dan sejak pertengahan bulan lalu pimpinan yayasan memang menerima dengan baik pengunduran diri Pande disertai ucapan terima kasih atas jerih payahnya selama tiga tahun memimpin Unpar. Tapi rupanya jawaban yayasan itu justru membuat Pande kecewa. Menurut Pande, ia seharusnya diberi kesempatan mempertanggungjawabkan tugasnya kepada senat universitas. Maka ia menganggap surat pemberhentian ''dengan hormat'' itu menyalahi Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1990. Seharusnya, katanya, yayasan memberhentikannya setelah memberi tahu senat universitas dan mendapatkan persetujuan dari Menteri P dan K. ''Jadi, berilah kesempatan saya untuk mundur secara terhormat,'' katanya. ''Saya sebenarnya cuma minta clear saja, betul nggak ada penyelewengan di yayasan.'' Dan penyelewengan uang itulah yang membuat kecewa doktor ekonomi (keuangan negara) lulusan Kobe University of Commerce, Jepang, itu sampai minta mundur. Menurut sejumlah sumber, ada seorang oknum bendahara yayasan yang diketahui banyak pihak telah menyalahgunakan dana milik universitas dan memetik keuntungan untuk kepentingan pribadi. Dana yang diperlukan universitas, misalnya, tak dicairkan pada waktunya, dana rutin didepositokan, dan bunga masuk kantong sendiri. Dan Pande sebagai rektor juga merasa tersinggung sebab oknum itu mengutip uang dari calon mahasiswa secara tak sah. Sebagai rektor, Pande mengaku melihat sendiri permainan itu pada masa penerimaan mahasiswa tahun 1992. ''Untuk diterima menjadi mahasiswa Unpar, beberapa calon mahasiswa harus membayar dulu kepada bendahara itu,'' katanya. Konon, setiap calon dipungut Rp 5 juta. ''Ada ketidakberesan yang melangkahi wewenang saya sebagai rektor,'' katanya. Penyelewengan itu oleh Pande sebagai rektor dilaporkan ke yayasan. Waktu itu, katanya, pimpinan yayasan berjanji akan membicarakannya dengan pengurus yang lain, panitia penerimaan mahasiswa baru, dewan pengawas, dan rektor. Namun, masih menurut Pande, yang muncul justru susunan pengurus Yayasan Unpar yang baru. Yang membuatnya kesal, seorang oknum yang dicurigai ''main duit'' itu masih tetap tercantum sebagai bendahara. Selain terhadap yayasan, Pande juga menganggap ketua Dewan Pengawas Unpar, yang bertugas menengahi rektorat dan yayasan, tak berfungsi. Maka, ''Kami berkesimpulan tak dapat menjalankan tugas dengan baik,'' katanya. Dan ia pun menyatakan tak sanggup meneruskan tugasnya sebagai rektor. Benar tidaknya isu penyelewengan yang disoalkan itu tampaknya hanya oknum yang disebut tadi yang bisa menjawabnya. Menurut Ketua Dewan Pengawas Uskup Bandung Mgr. Djojosiswoyo kepada Suara Pembaruan, ''Tak ada masalah dengan penyelewengan di Yayasan Unpar. Semua masalah akan diselesaikan secepatnya.'' Ketua Yayasan B. Suprapto Brotosiswojo tak berhasil ditemui. Namun, menurut A.P. Soegiarto, salah seorang anggota senat dan juga salah seorang sesepuh Unpar yang berbicara atas nama yayasan, badan pengawas memang telah meneliti penyelewengan itu, termasuk minta bantuan akuntan. Sikap yayasan menerima pengunduran diri Pande juga dikatakannya sudah benar. Disebutkan, Dewan Pengurus Yayasan Unpar telah mengadakan rapat tanggal 7 dan 13 Maret lalu. Ketua yayasan dan Uskup Bandung juga telah memanggil Pande. ''Tapi yang bersangkutan menyatakan tak bersedia,'' kata Soegiarto. Atas dasar itulah yayasan kemudian menerima baik pengunduran diri Pande. Dan yayasan pun lalu menunjuk Agustinus Rachmat Widiyanto sebagai penjabat rektor. Menurut Soegiarto, kemauan Pande mempertanggungjawabkan tugasnya kepada senat universitas juga tak tepat. Seharusnya, kata Soegiarto, yang juga bekas pembantu rektor III Unpar, Pande menyampaikan pertanggungjawabannya kepada yayasan, karena yayasanlah yang mengangkatnya sebagai rektor. ''Kalau yayasan menganggap tak perlu pertanggungjawaban itu, juga nggak apa- apa,'' tambahnya. Tampaknya, bukan cuma Pande yang ingin agar penyelewengan itu diusut. Sekitar 15 mahasiswa Unpar yang mengatasnamakan diri sebagai ''Komite Pemulihan dan Pemurnian Unpar'' Senin lalu meminta bantuan ke LBH Bandung. Menurut Rizal Darmaputra, ketua komite itu, pihak Yayasan Unpar sendiri perlu membentuk tim penyelidik untuk menyelamatkan citra universitas. ''Untuk membuktikan kepada masyarakat luas bahwa Unpar memang tak menoleransi segala bentuk penyelewengan,'' katanya. Akan halnya para dosen, sebagian besar menyayangkan mundurnya Pande. Selama tiga tahun menjadi rektor, Pande, yang sebelumnya menjabat dekan FE Unpar itu, berhasil membawa banyak kemajuan. Antara lain mendapatkan dana beasiswa untuk program pascasarjana di dalam dan luar negeri bagi para pengajar. ABS dan Taufik Abriansyah (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini