KETIKA dua tahun lalu sebuah komet (bintang berekor atau
kemukus) menabrak matahari, tak ada satu pun stasiun pengamat
yang memperhatikan peristiwa dahsyat itu. Tragedi ruang angkasa
itu melontarkan luapan energi dan debu materi luar biasa
banyaknya, berjuta-juta kilometer ke dalam kawasan tatasurya.
Sementara kegiatan matahari saat itu meningkat menuju
maksimumnya.
Pekan lalu para sarjana Laboratorium Penelitian Angkatan Laut
Amerika Serikat (NRL) di Washingon mengungkapkan sebuah
komet--yang ekornya mencapai jutaan kilometer panjangnya
menubruk matahari 30 Agustus 1979 dan hancur dalam prosesnya
itu. Peristiwa itu direkam rupanya oleh peralatan NRL dalam satu
satelit pengamat. "Ini bukti positif pertama tentang tubrukan
sebuah benda ruang angkasa dengan matahari," ujar Dr. Donald
Michels, ilmuwan utama di NRL.
Peralatan satelit itu melakukan sebuah eksperimen yang diberi
nama Solwind. Tujuannya mengamati korona matahari bagian luar,
menggunakan peralatan khusus yang bisa menutup silaunya matahari
secara buatan seperti halnya jika bulan menutup matahari di kala
sebuah gerhana. Hasilnya sebuah gerhana buatan yang permanen.
"Gerhana matahari total di bumi hanya berlangsung beberapa
menit," ujar Michels. "Solwind dengan peralatannya itu berhasil
mengamati korona matahari siang-malam selama tiga tahun." Juga
pertama kali ini sebuah komet ditemukan oleh sebuah satelit
buatan.
Dari analisa foto yang dibuat satelit itu, diduga komet itu
meluncur dengan kecepatan lebih satu juta kilometer per jam dan
hancur ketika memasuki wilayah panas matahari itu. "Menurut
taksiran, ketika komet itu menubruk matahari, energi yang
terlepas mencapai sekitar seribu kali jumlah energi yang
dipergunakan di Amerika Serikat selama satu tahun," ujar
Michels. Dalam satu tahun negeri Paman Sam itu menggunakan 20
juta milyar kilo kalori atau 2 milyar TOE (ton oil equivalent).
Bulan Purnama
Para peneliti di NRL yakin komet itu termasuk kelompok
sungrazers (penyentuh matahari). Jalur orbit anggota kelompok
ini selama perielion (dekat matahari) sangat dekat, kurang dari
1 a.u. (astronomical unit--149 juta km, jarak rata-rata
bumi-matahari). Tahun 1965, salah satu sungrazer itu, komet
Ikeya-Seki, melintas dekat matahari dengan jarak 494 ribu
kilometer. Komet itu cukup menghebohkan karena, menurut
penemunya, Ikeya dan Seki di Jepang, cemerlangnya hampir
menyamai bulan purnama. Bahkan B.Y. Levin, astonom Soviet di
Moskow meramalkan komet ini bakal menubruk matahari. Nyatanya
tidak demikian, bahkan di belahan bumi utara ia tidak kelihatan.
Pandangan yang menakjubkan terutama diperoleh dari belahan
selatan, termasuk Indonesia ketika itu.
Komet jenis sungrazer yang paling dekat melintasi matahari
terjadi di tahun 1843. Komet itu melintas perihelionnya dengan
jarak kurang dari 160 ribu kilometer. Ekor komet ini juga luar
biasa panjangnya, mencapai 320 juta kilometer. Menurut Dr.
Michels, selama 300 tahun terakhir terlihat delapan komet
kelompok sungrazer dari bumi. Mungkin banyak lagi yang tak
terlihat, karena silau oleh sinar matahari.
Komet dianggap sebagian dari sistem tatasurya di samping
matahari, planet dan bulan-bulan, namun pertanyaan tentang
bentuk dan asal-usul sebenarnya belum dapat dijawab secara
tuntas. Sebetulnya ada rencana mencegat salah satu komet dengan
sebuah roket pembawa peralatan pencatat, menjelang tahun 1986.
Saat itu komet Halley yang tersohor bakal melintas dekat bumi.
Komet Halley tidak termasuk sungrazer dan secara berkala setiap
75 - 76 tahun kembali. Terakhir ia muncul tahun 1910. Uni
Soviet, Jepang dan Badan Antariksa Eropa sudah mempersiapkan
usaha ke arah itu. Agaknya NASA dari Amerika Serikat kali ini
tak akan ambil bagian. Presiden Reagan tampaknya tak begitu
bergairah menyediakan dana buat itu.
Kata komet sendiri berasal dari bahasa Yunani kometes aster yang
berarti "bintang berambut". Istilah ini tak ayal diilhami oleh
penampilan ekor yang berurai panjang dan cemerlang. Tapi justru
ekor itu menyala dan terbentuk jika komet itu mendekati
matahari. Oleh pengruh matahari debu materi di permukaan komet
itu diperkirakan terhempas keluar dan membentuk ekor panjang.
Debu ini juga menyerap energi matahari tapi memancarkannya lagi
pada gelombang lain. Efeknya hampir seperti lampu "neon". "Komet
yang direkam Solwind, misalnya, tak terlihat dari bumi, meski
ekornya lebih cemerlang dari planet Venus," ujar Dr. Michels.
Memang komet tidak elalu terlihat dari bumi, meski diketahui
ribuan jumlahnya. Hampir setiap saat pasti ada sebuah komet di
angkasa. Ada kalanya bintang berekor atau birrang kukus di
langit dianggap sebagai pertanda malapetaka akan tiba.
Ia muncul seakan-akan di luar aturan yang mengendalikan benda
langit lainnya, hingga menimbulkan kemasygulan di hati orang
awam. Ketika komet Kohoutek menjelang akhir tahun 1973 tampak,
banyak pihak meramalkan kehancuran menyeluruh di dunia.
Sebetulnya kemasygulan itu tak beralasan. Selalu ada saja
peristiwa buruk dan malapetaka tanpa munculnya komet sekalipun.
Namun, seperti diungkapkan William Shakespeare, "Jika ada
pengemis yang mati, tak nampak komet, tapi langit menyala
mernberikan gugurnya pangeran."
Siberia
Secara fisik komet belum pernah menimbulkan malapetaka di bumi.
Hanya satu kali diduga orang ada sebuah komet menabrak bumi.
Tahun 1908, di Siberia, wilayah timur Rusia, tabrakan itu konon
menghempaskan hutan bergaris tengah 25 kilometer.
NRL kini mengadakan pengecekan dengan berbagai stasiun pengamat
matahari di bumi, barangkali ada kenyataan atau gejala tercatat
sekitar peristiwa tabrakan dua tahun lalu itu. Di Bandung Ir.
Wilson Sinambela, Kepala Stasiun Pengamat Matahari milik LAPAN
di Desa Haurngombong, Sumedang, menerangkan bahwa pada tahun
1979-1980 matahari sedang pada puncak siklus kegiatannya menurut
hitungan nokta matahari. "Memang ada terjadi ledakan besar dalam
Februari 1980, tapi tak sempat diamati. Soalnya ketika itu cuaca
jelek," kata Sinambela. Mendengar berita NRL ini, dia diduga
terdorong meneliti kembali rekaman di stasiunnya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini