Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Komet yang menabrak matahari

Para sarjana laboratorium penelitian angkasa laut as (nrl) mengungkapkan sebuah komet menubruk matahari (30 angustus'79), tragedi tersebut melontarkan luapan energi berjuta-juta kilo kalori. (ling)

24 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA dua tahun lalu sebuah komet (bintang berekor atau kemukus) menabrak matahari, tak ada satu pun stasiun pengamat yang memperhatikan peristiwa dahsyat itu. Tragedi ruang angkasa itu melontarkan luapan energi dan debu materi luar biasa banyaknya, berjuta-juta kilometer ke dalam kawasan tatasurya. Sementara kegiatan matahari saat itu meningkat menuju maksimumnya. Pekan lalu para sarjana Laboratorium Penelitian Angkatan Laut Amerika Serikat (NRL) di Washingon mengungkapkan sebuah komet--yang ekornya mencapai jutaan kilometer panjangnya menubruk matahari 30 Agustus 1979 dan hancur dalam prosesnya itu. Peristiwa itu direkam rupanya oleh peralatan NRL dalam satu satelit pengamat. "Ini bukti positif pertama tentang tubrukan sebuah benda ruang angkasa dengan matahari," ujar Dr. Donald Michels, ilmuwan utama di NRL. Peralatan satelit itu melakukan sebuah eksperimen yang diberi nama Solwind. Tujuannya mengamati korona matahari bagian luar, menggunakan peralatan khusus yang bisa menutup silaunya matahari secara buatan seperti halnya jika bulan menutup matahari di kala sebuah gerhana. Hasilnya sebuah gerhana buatan yang permanen. "Gerhana matahari total di bumi hanya berlangsung beberapa menit," ujar Michels. "Solwind dengan peralatannya itu berhasil mengamati korona matahari siang-malam selama tiga tahun." Juga pertama kali ini sebuah komet ditemukan oleh sebuah satelit buatan. Dari analisa foto yang dibuat satelit itu, diduga komet itu meluncur dengan kecepatan lebih satu juta kilometer per jam dan hancur ketika memasuki wilayah panas matahari itu. "Menurut taksiran, ketika komet itu menubruk matahari, energi yang terlepas mencapai sekitar seribu kali jumlah energi yang dipergunakan di Amerika Serikat selama satu tahun," ujar Michels. Dalam satu tahun negeri Paman Sam itu menggunakan 20 juta milyar kilo kalori atau 2 milyar TOE (ton oil equivalent). Bulan Purnama Para peneliti di NRL yakin komet itu termasuk kelompok sungrazers (penyentuh matahari). Jalur orbit anggota kelompok ini selama perielion (dekat matahari) sangat dekat, kurang dari 1 a.u. (astronomical unit--149 juta km, jarak rata-rata bumi-matahari). Tahun 1965, salah satu sungrazer itu, komet Ikeya-Seki, melintas dekat matahari dengan jarak 494 ribu kilometer. Komet itu cukup menghebohkan karena, menurut penemunya, Ikeya dan Seki di Jepang, cemerlangnya hampir menyamai bulan purnama. Bahkan B.Y. Levin, astonom Soviet di Moskow meramalkan komet ini bakal menubruk matahari. Nyatanya tidak demikian, bahkan di belahan bumi utara ia tidak kelihatan. Pandangan yang menakjubkan terutama diperoleh dari belahan selatan, termasuk Indonesia ketika itu. Komet jenis sungrazer yang paling dekat melintasi matahari terjadi di tahun 1843. Komet itu melintas perihelionnya dengan jarak kurang dari 160 ribu kilometer. Ekor komet ini juga luar biasa panjangnya, mencapai 320 juta kilometer. Menurut Dr. Michels, selama 300 tahun terakhir terlihat delapan komet kelompok sungrazer dari bumi. Mungkin banyak lagi yang tak terlihat, karena silau oleh sinar matahari. Komet dianggap sebagian dari sistem tatasurya di samping matahari, planet dan bulan-bulan, namun pertanyaan tentang bentuk dan asal-usul sebenarnya belum dapat dijawab secara tuntas. Sebetulnya ada rencana mencegat salah satu komet dengan sebuah roket pembawa peralatan pencatat, menjelang tahun 1986. Saat itu komet Halley yang tersohor bakal melintas dekat bumi. Komet Halley tidak termasuk sungrazer dan secara berkala setiap 75 - 76 tahun kembali. Terakhir ia muncul tahun 1910. Uni Soviet, Jepang dan Badan Antariksa Eropa sudah mempersiapkan usaha ke arah itu. Agaknya NASA dari Amerika Serikat kali ini tak akan ambil bagian. Presiden Reagan tampaknya tak begitu bergairah menyediakan dana buat itu. Kata komet sendiri berasal dari bahasa Yunani kometes aster yang berarti "bintang berambut". Istilah ini tak ayal diilhami oleh penampilan ekor yang berurai panjang dan cemerlang. Tapi justru ekor itu menyala dan terbentuk jika komet itu mendekati matahari. Oleh pengruh matahari debu materi di permukaan komet itu diperkirakan terhempas keluar dan membentuk ekor panjang. Debu ini juga menyerap energi matahari tapi memancarkannya lagi pada gelombang lain. Efeknya hampir seperti lampu "neon". "Komet yang direkam Solwind, misalnya, tak terlihat dari bumi, meski ekornya lebih cemerlang dari planet Venus," ujar Dr. Michels. Memang komet tidak elalu terlihat dari bumi, meski diketahui ribuan jumlahnya. Hampir setiap saat pasti ada sebuah komet di angkasa. Ada kalanya bintang berekor atau birrang kukus di langit dianggap sebagai pertanda malapetaka akan tiba. Ia muncul seakan-akan di luar aturan yang mengendalikan benda langit lainnya, hingga menimbulkan kemasygulan di hati orang awam. Ketika komet Kohoutek menjelang akhir tahun 1973 tampak, banyak pihak meramalkan kehancuran menyeluruh di dunia. Sebetulnya kemasygulan itu tak beralasan. Selalu ada saja peristiwa buruk dan malapetaka tanpa munculnya komet sekalipun. Namun, seperti diungkapkan William Shakespeare, "Jika ada pengemis yang mati, tak nampak komet, tapi langit menyala mernberikan gugurnya pangeran." Siberia Secara fisik komet belum pernah menimbulkan malapetaka di bumi. Hanya satu kali diduga orang ada sebuah komet menabrak bumi. Tahun 1908, di Siberia, wilayah timur Rusia, tabrakan itu konon menghempaskan hutan bergaris tengah 25 kilometer. NRL kini mengadakan pengecekan dengan berbagai stasiun pengamat matahari di bumi, barangkali ada kenyataan atau gejala tercatat sekitar peristiwa tabrakan dua tahun lalu itu. Di Bandung Ir. Wilson Sinambela, Kepala Stasiun Pengamat Matahari milik LAPAN di Desa Haurngombong, Sumedang, menerangkan bahwa pada tahun 1979-1980 matahari sedang pada puncak siklus kegiatannya menurut hitungan nokta matahari. "Memang ada terjadi ledakan besar dalam Februari 1980, tapi tak sempat diamati. Soalnya ketika itu cuaca jelek," kata Sinambela. Mendengar berita NRL ini, dia diduga terdorong meneliti kembali rekaman di stasiunnya itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus