AKANKAH harapan terwujud: para pelajar tak lagi berkelahi? Ini
idam-idaman khusus untuk Jakarta -- ibukota Republik, yang
memang masa-masa terakhir ini menjadi ajang paling menyolok
kerusuhan antar pelajar. Dua sekolah yang selama ini menjadi
pusat perhatian terbesar, SMAN IX dan SMAN XI, sudah disatukan.
Dan setidaknya sampai laporan ini ditulis, belum ada kasus baru
yang mereka ciptakan.
Maka inilah sebuah evaluasi, kalau bukan kritik diri. Sebab dua
SMAN itu, yang sekarang menjadi SMAN 70, tentu saja bukan
satu-satunya ajang. Bahkan setelah mereka diam, peristiwa baru
tetap saja muncul dari sudut-sudut lain.
Menyedihkan, memang, bahwa selama tujuh bulan terakhir ini telah
terjadi--menurut catatan Kodak Metro Jaya-119 kasus. Berarti
pukul rata dalam sebulan 17 kali. Atau sekali dalam 2 hari.
Siapa yang tak merasa runyam?
Banyak pihak yaag sudah dari harihari kemarin angkat bicara.
Tapi anakanak itu bertingkah terus. Hampir tanpa banyak omong,
mereka menggasak, menghadang, menyerbu dan bahkan, sedih,
membunuh. Awal bulan, Zainal Arifin tewas dikeroyok para pelajar
kelas III SMA 26 Filial di pompa bensin Cililitan -- hanya
gara-gara rokok (lihat box).
Dua bulan lalu, siswa kelas II STM III bersama tiga orang
kawannya juga menusuk orang sampai mati--kali ini seorang pelari
pagi di Matraman. Dan itu dilakukan hanya untuk mengambil sepatu
si pelari. Di Bogor, 9 Oktober kemarin Pengadilan Negeri
menjatuhkan vonis 8 « tahun penjara kepada seorang siswa kelas
III SMA yang membunuh bibinya sendiri.
Lagi, menurut Letkol Pol. Silalahi, komandan Satuan Pembinaan
Remaja Pelajar Pemuda dan Mahasiswa (Binramarda) Kodak Metro
Jaya, seorang pelajar telah terbunuh dalam perkelahian massal
antar siswa di Kebayoran Baru baru-baru ini. Jumlah perkelahian
massal sendiri, antar sekolah, dalam tujuh bulan tercatat 32
kali. Antar murid satu sekolah 16 kali. Perkelahian yang
berakhir dengan pengrusakan gedung sekolah 13 kali. Sedang kasus
perlawanan terhadap guru lima kali. Ada juga percobaan membakar
gedung sekolah--empat kali. Penggunaan senjata tajam 26 kali.
Kecuali itu, menjadi makin banyak saja kasus yang tergolong
kriminalitas yang dilakukan pelajar di Jakarta. Antara April dan
September kemarin terjadi 102 pencurian ringan. Pencurian berat
hampir sama jumlahnya: 101 kali. Penodongan 22. Percobaan
pembunuhan dan pembunuhan betulan, dua kasus.Penganiayaan
ringan/berat 11 kasus. Pemerasan lima. Dan perkosaan tiga kasus.
Apa kabar kota-kota lain?
Ini. Dari Bandung dalam tiga bulan terakhir, alhamdulillah baru
terdengar satu kasus perkelahian saja. Yakni pengeroyokan
terhadap Teddy oleh teman teman satu sekolah, SMPN 11, 14
Agustus. Untunglah pengeroyokan balasan oleh Teddy, yang dibantu
10 anak dari luar sekolah, keburu dicegah. Dan sekarang mereka
sudah berbaikan kembali.
Anak-anak SMAN I Medan, yang 1979 pernah main tembak-tembakan
sediri dan Oktober tahun lalu tawur dengan anak-anak SMA
Imanuel, dalam pada itu ternyata tak bikin ribut lagi. Direktur
SMAN 1, A. Sinaga, malah memberi jaminan: "Tak bakal ada
keributan lagi di sini." Syukur.
Di Padang Sidempuan, Sum-Ut, kecuali peristiwa 1979, sampai saat
ini juga tak terdengar perkelahian pelajar. Yang terjadi tiga
tahun lalu itu perkelahian massal siswa Sekolah Guru Olahraga
melawan siswa Sekolah Perawat RSU setempat. Gara garanya saling
mengejek. Dan akibatnya fatal. Beberapa orang luka berat,
puluhan luka ringan, gedung kedua sekolah ditimpuki batu--bahkan
rumah penduduk sekitar jadi korban.
Yang hampir sama panasnya dengan Jakarta agaknya Ujungpandang.
Agustus lalu, para siswa SMPN VII bentrok dengan siswa SMPN VI.
nilanjutkan lagi ketika mereka sama-sama menyambut kedatangan
Presiden, 17 September. Penyebabnya biasa: saling ledek.
Dua hari kemudian, kakak-kakak mereka siswa SMAN I mengikuti
jejak si adik: berantem dengan siswa SGO. Justru ketika pelajar
kedua sekolah tersebut sedang latihan olahraga di Stadion
Mattoanging. Dan, sebagaimana adik-adik mereka, perkelahian
massal itu berulang lagi--21 September. Para pelajar SMA I itu
pun seakan masih gatal: mereka menggasak anak-anak SMA V. Dan
beberapa bulan sebelumnya, Februari, mereka juga keroyokan
dengan anak-anak STM Negeri.
Nah. Seperti di Jakarta, walaupun rembukan telah dilakukan
berulangulang serta berbagai upaya penyelesaian telah dicoba,
anak-anak itu tetap saja brengsek.
Di Jakarta sendiri, cara penyelesaian yang dicobakan di SMA IX
dan XI, yang baru berumur sebulan, terbilang unik juga.
Bayangkan: yang tercipta adalah sebuah sekolah dengan 4.708
murid dalam 49 kelas. Dikelola seorang kepala sekolah dan
sembilan orang wakil serta 91 wali kelas. Tentu saja tak gampang
mengatur sekolah yang jadi mirip perahu Nabi Nuh itu. Sehingga,
kecuali untuk menjaga agar para siswa tak berkelahi lagi, untuk
melayarkan pendidikan diperlukan "perlengkapan khusus".
Di sana misalnya akan dibentuk 'Usaha Ketahanan
Sekolah'--sekalian menguji-coba konsep yang telah diresmikan
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah lewat surat keputusannya 8
Agustus. Program itu dimaksud untuk meningkatkan ketangguhan
sekolah agar mampu menghadapi gangguan luar. Antara lain
mengetatkan disiplin dan tata tertib serta menyerasikan hubungan
sekolah keluarga-masyarakat. Sedang orangtua murid nantinya akan
diminta jadi koordinator kelas--dua atau tiga orang sehari,
bergiliran. Maksudnya agar si orangtua ikut menghayati suasana
pendidikan anak mereka.
Di sana pun, dalam masa transisi ini, telah dibentuk Presidium
BP-3 (Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan) dari kedua
sekolah lama. Juga OSIS-nya.
Masih ada lagi. Yakni akan dilakukan percobaan konsep Persatuan
Orangtua Murid dan Guru (POMG) Gaya Baru. Kabarnya, POMG-GB
itulah kelak yang akan menggantikan fungsi BP-3 yang sekarang
berlaku di seluruh negeri. Pokoknya, percayalah, semua konsep
itu -juga yang mungkin masih akan disusun -- tujuannya bagus.
Hasilnya: mudah-mudahan.
Hanya, Senin pekan lalu sejumlah siswa SMA 70 itu beramai-ramai
datang ke Kantor Wilayah Departemen P&K di Jalan Gatot Subroto.
Mereka--terutama pelajar eks SMA XI, kelasnya dipindahkan ke
lokal-lokal eks SMA IX--protes karena merasa tak nyaman belajar.
Kelas terasa panas, sumpek, tak ada angin, bangkunya jelek,
muridnya terlalu banyak, apa sajalah. Maklum. Dan mereka
nyelonong ke Kanwil karena konon kepala sekolah mereka yang
baru, Drs. Darmadi, tak bisa ditemui. Tapi akhirnya semua
beres--dengan janji.
Yang penting, mereka tak menambah jumlah kasus
perkelahian--taruhlah untuk tahun ini. Bandingkan saja.
Perkelahian yang terjadi 1975 cuma 40 kali. Tahun 1976, 70 kali.
Tahun 1978, 25 kali. Tahun 1979, 11 kali. Tahun 1980, 30 kali.
Tahun ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini