Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Berantam, Berembuk Dan (Jangan)

Perkelahian antar pelajar sekolah lanjutan di beberapa kota sudah menjurus ke kriminalitas. gejala ini sebagai akibat sistem pendidikan, latar belakang keluarga, pengaruh lingkungan.

24 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKANKAH harapan terwujud: para pelajar tak lagi berkelahi? Ini idam-idaman khusus untuk Jakarta -- ibukota Republik, yang memang masa-masa terakhir ini menjadi ajang paling menyolok kerusuhan antar pelajar. Dua sekolah yang selama ini menjadi pusat perhatian terbesar, SMAN IX dan SMAN XI, sudah disatukan. Dan setidaknya sampai laporan ini ditulis, belum ada kasus baru yang mereka ciptakan. Maka inilah sebuah evaluasi, kalau bukan kritik diri. Sebab dua SMAN itu, yang sekarang menjadi SMAN 70, tentu saja bukan satu-satunya ajang. Bahkan setelah mereka diam, peristiwa baru tetap saja muncul dari sudut-sudut lain. Menyedihkan, memang, bahwa selama tujuh bulan terakhir ini telah terjadi--menurut catatan Kodak Metro Jaya-119 kasus. Berarti pukul rata dalam sebulan 17 kali. Atau sekali dalam 2 hari. Siapa yang tak merasa runyam? Banyak pihak yaag sudah dari harihari kemarin angkat bicara. Tapi anakanak itu bertingkah terus. Hampir tanpa banyak omong, mereka menggasak, menghadang, menyerbu dan bahkan, sedih, membunuh. Awal bulan, Zainal Arifin tewas dikeroyok para pelajar kelas III SMA 26 Filial di pompa bensin Cililitan -- hanya gara-gara rokok (lihat box). Dua bulan lalu, siswa kelas II STM III bersama tiga orang kawannya juga menusuk orang sampai mati--kali ini seorang pelari pagi di Matraman. Dan itu dilakukan hanya untuk mengambil sepatu si pelari. Di Bogor, 9 Oktober kemarin Pengadilan Negeri menjatuhkan vonis 8 « tahun penjara kepada seorang siswa kelas III SMA yang membunuh bibinya sendiri. Lagi, menurut Letkol Pol. Silalahi, komandan Satuan Pembinaan Remaja Pelajar Pemuda dan Mahasiswa (Binramarda) Kodak Metro Jaya, seorang pelajar telah terbunuh dalam perkelahian massal antar siswa di Kebayoran Baru baru-baru ini. Jumlah perkelahian massal sendiri, antar sekolah, dalam tujuh bulan tercatat 32 kali. Antar murid satu sekolah 16 kali. Perkelahian yang berakhir dengan pengrusakan gedung sekolah 13 kali. Sedang kasus perlawanan terhadap guru lima kali. Ada juga percobaan membakar gedung sekolah--empat kali. Penggunaan senjata tajam 26 kali. Kecuali itu, menjadi makin banyak saja kasus yang tergolong kriminalitas yang dilakukan pelajar di Jakarta. Antara April dan September kemarin terjadi 102 pencurian ringan. Pencurian berat hampir sama jumlahnya: 101 kali. Penodongan 22. Percobaan pembunuhan dan pembunuhan betulan, dua kasus.Penganiayaan ringan/berat 11 kasus. Pemerasan lima. Dan perkosaan tiga kasus. Apa kabar kota-kota lain? Ini. Dari Bandung dalam tiga bulan terakhir, alhamdulillah baru terdengar satu kasus perkelahian saja. Yakni pengeroyokan terhadap Teddy oleh teman teman satu sekolah, SMPN 11, 14 Agustus. Untunglah pengeroyokan balasan oleh Teddy, yang dibantu 10 anak dari luar sekolah, keburu dicegah. Dan sekarang mereka sudah berbaikan kembali. Anak-anak SMAN I Medan, yang 1979 pernah main tembak-tembakan sediri dan Oktober tahun lalu tawur dengan anak-anak SMA Imanuel, dalam pada itu ternyata tak bikin ribut lagi. Direktur SMAN 1, A. Sinaga, malah memberi jaminan: "Tak bakal ada keributan lagi di sini." Syukur. Di Padang Sidempuan, Sum-Ut, kecuali peristiwa 1979, sampai saat ini juga tak terdengar perkelahian pelajar. Yang terjadi tiga tahun lalu itu perkelahian massal siswa Sekolah Guru Olahraga melawan siswa Sekolah Perawat RSU setempat. Gara garanya saling mengejek. Dan akibatnya fatal. Beberapa orang luka berat, puluhan luka ringan, gedung kedua sekolah ditimpuki batu--bahkan rumah penduduk sekitar jadi korban. Yang hampir sama panasnya dengan Jakarta agaknya Ujungpandang. Agustus lalu, para siswa SMPN VII bentrok dengan siswa SMPN VI. nilanjutkan lagi ketika mereka sama-sama menyambut kedatangan Presiden, 17 September. Penyebabnya biasa: saling ledek. Dua hari kemudian, kakak-kakak mereka siswa SMAN I mengikuti jejak si adik: berantem dengan siswa SGO. Justru ketika pelajar kedua sekolah tersebut sedang latihan olahraga di Stadion Mattoanging. Dan, sebagaimana adik-adik mereka, perkelahian massal itu berulang lagi--21 September. Para pelajar SMA I itu pun seakan masih gatal: mereka menggasak anak-anak SMA V. Dan beberapa bulan sebelumnya, Februari, mereka juga keroyokan dengan anak-anak STM Negeri. Nah. Seperti di Jakarta, walaupun rembukan telah dilakukan berulangulang serta berbagai upaya penyelesaian telah dicoba, anak-anak itu tetap saja brengsek. Di Jakarta sendiri, cara penyelesaian yang dicobakan di SMA IX dan XI, yang baru berumur sebulan, terbilang unik juga. Bayangkan: yang tercipta adalah sebuah sekolah dengan 4.708 murid dalam 49 kelas. Dikelola seorang kepala sekolah dan sembilan orang wakil serta 91 wali kelas. Tentu saja tak gampang mengatur sekolah yang jadi mirip perahu Nabi Nuh itu. Sehingga, kecuali untuk menjaga agar para siswa tak berkelahi lagi, untuk melayarkan pendidikan diperlukan "perlengkapan khusus". Di sana misalnya akan dibentuk 'Usaha Ketahanan Sekolah'--sekalian menguji-coba konsep yang telah diresmikan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah lewat surat keputusannya 8 Agustus. Program itu dimaksud untuk meningkatkan ketangguhan sekolah agar mampu menghadapi gangguan luar. Antara lain mengetatkan disiplin dan tata tertib serta menyerasikan hubungan sekolah keluarga-masyarakat. Sedang orangtua murid nantinya akan diminta jadi koordinator kelas--dua atau tiga orang sehari, bergiliran. Maksudnya agar si orangtua ikut menghayati suasana pendidikan anak mereka. Di sana pun, dalam masa transisi ini, telah dibentuk Presidium BP-3 (Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan) dari kedua sekolah lama. Juga OSIS-nya. Masih ada lagi. Yakni akan dilakukan percobaan konsep Persatuan Orangtua Murid dan Guru (POMG) Gaya Baru. Kabarnya, POMG-GB itulah kelak yang akan menggantikan fungsi BP-3 yang sekarang berlaku di seluruh negeri. Pokoknya, percayalah, semua konsep itu -juga yang mungkin masih akan disusun -- tujuannya bagus. Hasilnya: mudah-mudahan. Hanya, Senin pekan lalu sejumlah siswa SMA 70 itu beramai-ramai datang ke Kantor Wilayah Departemen P&K di Jalan Gatot Subroto. Mereka--terutama pelajar eks SMA XI, kelasnya dipindahkan ke lokal-lokal eks SMA IX--protes karena merasa tak nyaman belajar. Kelas terasa panas, sumpek, tak ada angin, bangkunya jelek, muridnya terlalu banyak, apa sajalah. Maklum. Dan mereka nyelonong ke Kanwil karena konon kepala sekolah mereka yang baru, Drs. Darmadi, tak bisa ditemui. Tapi akhirnya semua beres--dengan janji. Yang penting, mereka tak menambah jumlah kasus perkelahian--taruhlah untuk tahun ini. Bandingkan saja. Perkelahian yang terjadi 1975 cuma 40 kali. Tahun 1976, 70 kali. Tahun 1978, 25 kali. Tahun 1979, 11 kali. Tahun 1980, 30 kali. Tahun ini?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus