Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LINDA Rosalina terkejut mendapati pengakuan sejumlah bank yang menganggap laporan keberlanjutan perusahaan alias environmental, social, and corporate governance (ESG) serupa bungkus kacang. Sekadar syarat formal yang tak menjadi indikator untuk mendanai korporasi dalam menjalankan bisnis berkelanjutan. “Hampir semua bank tidak menggunakan ESG untuk menilai kelayakan perusahaan mendapatkan layanan perbankan,” ucap Direktur Eksekutif Transparansi untuk Keadilan itu, Jumat, 14 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laporan ESG yang dimaksudkan Linda sejatinya menjadi syarat bagi setiap perusahaan untuk mengungkap informasi operasi bisnis yang berkaitan dengan bidang lingkungan, sosial, dan tata kelola. Tujuannya untuk menjamin bisnis yang berkelanjutan dan meminimalkan risiko. Dalam ESG, misalnya, perusahaan mesti mencegah polusi dan memiliki pengelolaan limbah, melakukan konservasi keanekaragaman hayati, mengelola sumber daya alam dan melakukan efisiensi energi, serta memberikan perlindungan ketenagakerjaan dan lingkungan kerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penerapan ESG juga bertalian pada sektor perbankan. Pemerintah meluncurkan Taksonomi Hijau atau sistem klasifikasi yang menetapkan daftar kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan. Sistem ini menjadi alat bagi perbankan sebelum mendanai bisnis korporasi dengan menjamin pelindungan lingkungan hidup dan pengurangan emisi gas rumah kaca. Diharapkan industri keuangan tidak mendanai perusahaan kotor yang masuk kategori merah atau kuning.
Persoalannya, menurut Linda, perbankan tak menggunakan pelbagai indikator ESG tersebut dalam mendanai korporasi. Dia mengatakan bank-bank besar atau dalam kategori kelompok bank bermodal inti (KBMI) 4 dan 3 justru menerapkan indikator konservatif. Di antaranya memastikan perusahaan yang memohon pinjaman pendanaan terafiliasi dengan korporasi raksasa, memiliki laporan keuangan yang bagus, dan catatan atas sentimen publik.
Ilustrasi laporan environmental, social, dan governance (ESG). FREEPIK
Selain ketiga indikator tersebut, perbankan tidak akan mempedulikannya. Bahkan, menurut Linda, selama ini industri keuangan hanya menerapkan laporan ESG sebagai syarat prosedural. “Mereka mengeluarkan biaya untuk menyewa konsultan untuk menyusun laporan ESG,” tuturnya. Walhasil, perbankan tetap mendanai perusahaan yang melakukan pembabatan hutan alam secara ilegal atau terlibat konflik dengan masyarakat.
Linda membuat kajian tentang bank-bank yang banyak mendanai eksploitasi perkebunan sawit. Di antaranya Bank Mandiri yang mencapai US$ 3,4 juta; Bank Negara Indonesia US$ 2,3 juta; Bank Rakyat Indonesia US$ 1,34 juta; Malayan Banking US$ 4,4 juta; OCBC US$ 3,4 juta; CIMB Group US$ 3 juta; dan Bank Central Asia US$ 2,2 juta. “Penelitian ini memetakan aliran keuangan dari bank dan investor untuk 300 perusahaan yang mendorong terjadinya deforestasi hutan tropis,” katanya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Februari lalu menerbitkan laporan tentang kriteria teknis bagi perbankan untuk mendanai perusahaan. Di antaranya mewajibkan melakukan penilaian kriteria hijau. “Terdapat 2.733 sektor dan subsektor yang telah dikaji, di antaranya telah terklarifikasi mengenai ambang batas hijau dan tidak hijau oleh kementerian teknis terkait,” demikian tertulis dalam dokumen OJK tersebut.
Contoh perusahaan yang masuk kategori merah adalah badan usaha skala menengah dan besar, tapi tidak memiliki nomor induk berusaha. Juga tak memiliki syarat lain, seperti surat persetujuan kegiatan pemanfaatan ruang dan persetujuan lingkungan. Adapun perusahaan kategori kuning adalah perusahaan yang tidak memiliki komitmen untuk melakukan usaha secara hijau.
Kantor Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, 6 Desember 2023. Tempo/Tony Hartawan
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar tak memungkiri bahwa keterbatasan dan kapasitas sumber daya manusia menjadi salah satu tantangan bagi sektor jasa keuangan untuk mengimplementasikan ESG. “Beberapa hal yang menjadi tantangan dalam pengembangan implementasi ESG ini adalah keterbatasan dan kapasitas SDM yang memang memahami dengan baik dan mumpuni bidang yang penting ini. Juga keterbatasan data, seperti data terkait emisi ataupun perubahan iklim,” kata Mahendra.
Menurut dia, masalah ini harus direspons dengan tepat sehingga ESG dapat dilaksanakan dengan lebih baik di Indonesia. Dalam konteks internasional, Mahendra mengingatkan bahwa Indonesia juga ikut dalam proses penetapan ESG di tingkat regional dan global sehingga Indonesia berkepentingan untuk menerapkan standar itu secara lebih efektif.
Ihwal pengimplementasiannya, OJK terus berupaya meningkatkan kapasitas SDM di sektor jasa keuangan. OJK juga bekerja sama dengan para pemangku kepentingan, baik di dalam maupun luar negeri. Tujuannya, memberikan pendampingan kepada lembaga jasa keuangan yang ingin menerapkan instrumen-instrumen keuangan yang mendukung aspek berkelanjutan.
“Secara paralel, tentu OJK melakukan koordinasi yang baik dengan kementerian dan lembaga terkait untuk menutup kekurangan ataupun menyediakan data dan informasi pendukung yang masih kurang,” kata Mahendra.
Ilustrasi laporan environmental, social, dan governance (ESG). FREEPIK
Hal yang sudah dilakukan OJK adalah mengembangkan taksonomi keuangan berkelanjutan Indonesia sebagai pedoman klasifikasi aktivitas ekonomi yang mendukung upaya dan tujuan pembangunan berkelanjutan Indonesia.
“Untuk pengembangan selanjutnya, beberapa inisiatif lain, termasuk upaya untuk menetapkan disclosure standard yang dicanangkan secara internasional oleh International Sustainability Standards Board (ISSB) dan International Financial Reporting System (IFRS), sehingga apa yang kita lakukan di Indonesia ini memiliki standar dan kemampuan interoperability dengan internasional,” kata Mahendra.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyebutkan sebetulnya industri perbankan memiliki kontribusi dalam mencapai target net zero banking atau net zero emission pada sektor perbankan. Namun kendalanya adalah biaya yang digunakan untuk beralih dari pembiayaan energi berbasis fosil menuju energi berkelanjutan. “Karena kita harus beralih dari energi berbasis fosil ke sustainable energy,” kata Dian.
Associate Director Climate Policy Initiative (CPI) Tiza Mafira mengatakan lembaganya telah melakukan studi pembiayaan perbankan. Hasilnya, 73 persen pendanaan perbankan diberikan untuk kegiatan sosial usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM. “Temuan CPI Indonesia menunjukkan bahwa, walaupun terus bertumbuh, porsi yang dialokasikan sektor perbankan untuk pendanaan 11 kategori hijau, tapi hanya 27 persen dari alokasi,” kata Tiza.
Adapun pendanaan hijau lebih banyak digelontorkan untuk perkebunan sawit berkelanjutan dengan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) atau Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). International Financial Reporting SystemMereka paling banyak mendapatkan pembiayaan, yang diikuti oleh transportasi rendah karbon, energi terbarukan, dan efisiensi energi,” tuturnya. Dia mendorong perbankan memberikan pendanaan hijau kepada sektor lain.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo