Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Lenyapnya Sebuah Tempat Rendezvous

Restoran "Dago Tea Hhouse" di Bbandung yang dibangun sejak zaman Belanda, dibongkar.Di atasnya akan dibangun taman budaya Jawa Barat.Dari segi lingkungan pembangunan baru tsb mendapat banyak kritik.

10 Februari 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lenyapnya Sebuah Tempat Rendezvous Restoran tua Dago Tea House digusur. Gantinya akan dibangun Taman Budaya Jawa Barat. Ketentuan penanganan kawasan Bandung Atas masih simpang-siur? TANYAKAN pada orang-orang Bandung tentang tempat yang istimewa untuk bersantai di kota sejuk itu. Dari sejumlah nama yang disodorkan, niscaya Dago Tea House akan ditempatkan pada nomor terhormat. Tempat itu, "Hawanya adem bersih, suasananya tenang, dan panoramanya mah..., romantis" kata Priyanto, kartunis beken asal Bandung. Komentar Pri, nama panggilan dosen Desain Grafis ITB itu, agaknya banyak disetujui barudak Bandung lainnya. Restoran tua itu berada di ketinggian 700 m dari permukaan laut, di bagian utara Bandung. Lokasinya pun "tersembunyi" di balik Jalan Juanda. Sepi. Dari tempat itu, pada malam hari, orang bisa menikmati kerlap-kerlipnya cahaya lampu Kota Bandung. Tak mengherankan jika selama puluhan tahun, Dago Tea House -- dari nama Dago Thee Huise yang lahir pada zaman pendudukan Belanda dulu -- sering dipilih sebagai tempat rekreasi ringan bagi keluarga pada siang hari. Di malam hari taman itu terkenal sebagai tempat anak muda rendezvous. Tapi, setelah memancangkan riwayat panjang, tempat rekreasi itu, sejak awal 1990 lalu, resmi tinggal menjadi kenangan. Bangunan restoran beratap sirap itu telah runtuh rata dengan tanah. Beberapa pohon rindang ambruk ditebang. Di situ akan muncul cerita baru bernama Taman Budaya Jawa Barat. "Ini telah menjadi keputusan Pemda Jawa Barat," ujar Ruswandi Zarkasih, Kepala Bidang Kesenian Pemda Ja-Bar, yang memimpin proyek itu. Dago Thee Huise dikitari taman dan belukar yang hijau seluas 5,3 ha. Di bawah pohon rindang yang bertebaran di situ, ada beberapa sarana permainan anak-anak dan bangku-bangku taman. Areal hijau itu sebagian dimiliki oleh Universitas Padjadjaran. Selama perjalanan sejarahnya, kawasan Dago Tea House sendiri telah mengalami banyak perubahan. Sedikit demi sedikit, areal teduh itu terkikis pula untuk permukiman, termasuk untuk perumahan dosen Unpad. Menurut Ruswandi, luas lantai bangunan yang ada di situ secara keseluruhan mencapai 2,5 ha, alias 47%. Dengan proyek baru itu, luas lantai bangunan utama dan sarana penunjangnya akan menyita 60% dari permukaan tanah yang ada. Itu belum termasuk pelataran parkir. Bangunan sentral pada kompleks Taman Budaya Dago itu nantinya berupa bangunan teater tertutup berkapasitas 800 kursi, dan teater terbuka dengan panggung kolosal 25 x 50 meter dan 1.500 tempat duduk. Tempat duduk dalam teater terbuka itu dibangun bertrap-trap dan menghadap ke arah pusat Kota Bandung. Pada pertunjukan malam hari, warna-warni cahaya lampu kota bakal menjadi latar belakang panggung. Pembangunan taman budaya itu membuat banyak orang merasa kehilangan. "Nilai nostalgia Dago Tea House sulit tergantikan," ujar Priyanto. Rasa kehilangan menghinggapi pula Djoko Sujarto, dosen fakultas teknik sipil dan perencanaan. Namun, dalam seminar tentang "Kota Modern" di Hotel Panghegar, Bandung, akhir bulan lalu, Djoko tak cuma mempersoalkan taman budaya tersebut. Ia juga menanyakan rencana pembangunan sebuah hotel berbintang tidak jauh dari taman budaya itu. "Saya heran, mengapa Pemda mengizinkan," ujarnya. Djoko menatap persoalan itu dari segi tata lingkungan. Bandung Utara, atau sering disebut Bandung Atas, menurut Djoko, merupakan kawasan rawan yang perlu dijaga. Maka, "sejak zaman Belanda dulu, orang tahu bahwa arah pengembangan kota tidak boleh mengarah ke Bandung Atas," tambahnya. Wilayah Bandung Utara, yang berada pada ketinggian di atas 700 meter -- termasuk Dago Tea House -- menurut Djoko, telah dipatok sebagai daerah preservasi alias penyangga. Wilayah ini memiliki lereng-lereng yang curam, maka perlu dijaga oleh pohon-pohon yang rimbun. "Agar tak mudah longsor," ujar Djoko. Soal air pun tak kalah pentingnya. Fungsi preservasi Bandung Atas itu, "meliputi pula peran sebagai daerah resapan air hujan," kata Djoko. Maka, menurut dosen planologi itu, lantai bangunan di kawasan ini tak boleh menutupi tanah lebih dari 10% dari luas tanah. Masih ditambah lagi, beban bangunan jangan terlalu tinggi. Jadi, bangunan tak boleh lebih dari dua lantai. Ketentuan lama itu, menurut Djoko, sebetulnya telah diperbarui dalam sebuah SK Gubernur Ja-Bar yang lahir 1982. Maka, rencana pembangunan hotel berbintang dan "pembetonan" kompleks taman Dago Tea House itu, "mestinya ditinjau kembali, karena terang bertentangan dengan SK gubernur tadi," kata Djoko. Tudingan itu tentu saja ditampik oleh Pemda Ja-Bar. "Tidak benar kalau dikatakan proyek taman budaya itu menyita lahan untuk peresapan air," kata H.S.A. Jussac, Kepala Humas Pemda Ja-Bar. Pihak Pemda mengklaim bahwa daerah sekitar Dago Tea House tidak termasuk kawasan preservasi. Ruswandi Zarkasih, yang memimpin pembangunan taman wisata itu, yakin betul bahwa proyek tersebut tak menabrak SK Gubernur. "Masa iya, sih, Pemda melanggar peraturan yang dibikin sendiri," ujarnya. Yang terang, pihaknya berjanji akan menjaga kesejukan dan kehijauan kawasan tersebut. Pakar lingkungan Unpad, Prof. Otto Soemarwoto, agak meragukan tanah Dago Tea House diperuntukkan sebagai daerah resapan air. Sebab, ketika dia datang pada 1972, "di sana sudah banyak bangunan perumahan," ujarnya. Namun, untuk menjamin keamanannya, Otto sependapat dengan Djoko Sujarto, bahwa luas lantai bangunan, jalan aspal, atau pelataran bersemen, harus dibatasi. Otto menyebut tanah terbuka yang harus disisakan sebesar 70%, jauh dari keinginan Djoko yang 90%. Tapi itu masih mendingan dibanding rencana Pemda, yang cuma menyisakan 40% dari areal semula. Putut Tri Husodo, Ida Farida, dan Riza Sofyat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus