Pusat Kesenian Kaum Swasta Pemda DKI Jakarta menyerahkan pengelolaan Taman Ismail Marzuki kepada Yayasan Kesenian Jakarta. Untuk merenovasi gedung saja dianggarkan Rp 5 milyar. AKHIRNYA, setelah hampir satu dasa warsa hidup merana, pengelolaan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) diserahkan kepada swasta. Senin pekan lalu, seluruh tanggung jawab administrasi pengelolaan PKJ-TIM diserahkan oleh Pemda DKI Jakarta kepada Yayasan Kesenian Jakarta (YKJ), yang dibentuk pada Agustus lalu. Yayasan yang diketuai Omar Abdalla, bekas Direktur Utama Bank Bumi Daya, ini kemudian menunjuk Bur Rasuanto sebagai Direktur PKJ-TIM. Diharapkan, di tangan swasta itulah pamor TIM akan kembali jaya, sebagaimana tahun-tahun awal berdirinya. Dan agaknya, itu bukan perkara gampang. Bur sendiri menggambarkan, keadaan TIM jauh lebih kompleks dan lebih mendasar ketimbang dugaannya semula. Hampir tiga minggu sebelum ia dilantik, ia sudah mempelajari "penyakit" yang diderita TIM. "Suatu daftar penyakit, keluh kesah, dan duka cita yang tak akan saya lampirkan di sini," kata Bur pada pidato pelantikannya. Dan Omar Abdalla pun bilang, pusat kesenian ini sudah saatnya diurus dengan manajemen modern dan oleh orang-orang yang profesional. "Saya tak menyalahkan pengelola yang lama. Dan saya percaya, Bur Rasuanto akan mampu membenahi TIM," kata bankir ini. Bur sendiri tak mau bicara banyak, karena sedang menunggu masukan dari kalangan seniman. TIM berdiri pada 1968 atas prakarsa Gubernur Ali Sadikin. Pada awal-awalnya, TIM sempat menjadi tolok-ukur kesenimanan di Indonesia. Di sana, ramai digelar produk-produk terbaik dari berbagai cabang seni, yang modern maupun yang tradisi. Bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta -- yang menyusun program kesenian -- TIM bagai ajang untuk karya-karya yang memenuhi standar kualitas dan syarat kreatif tertentu. Para seniman, tak cuma di Jakarta tapi juga di daerah, berlomba untuk merebut predikat terbaik. Itu artinya, bisa pentas di TIM. Kompetisi kreatif pun terjadi. "Dan itu positif. Sebentar-sebentar orang dibikin kaget oleh terobosan-terobosan baru," kenang Taufiq Ismail, penyair yang pernah memimpin TIM. Taufiq menyebutkan banyak contoh. Dari pergelaran Rendra, Putu Wijaya, sampai Sardono W. Kusumo. Juga, misalnya, lahirnya "Puisi Konkrit" yang dibidani Danarto. Atau kelahiran Seni Rupa Baru oleh Hardi dan kawan-kawannya. Masih banyak gebrakan yang lain. "Menggairahkan dan segar," begitu kata Taufiq. Pembinaan terhadap kelompok-kelompok seni pun dilakukan dengan hasil yang tidak mengecewakan. Ambil contoh, pemberian dana dan kesempatan pentas cuma-cuma kepada pemenang Festival Teater Remaja se-DKI. Itu merangsang tumbuhnya puluhan kelompok teater remaja di berbagai sudut Jakarta. Mereka bersaing ketat lewat gelanggang-gelanggang remaja untuk merebut tiket unjuk gigi di TIM. Penonton berbondong-bondong ke TIM. Juga untuk melihat kesenian tradisi, misalnya, lenong, topeng Betawi, atau ludruk. "Di samping kualitasnya memang unggul, karcisnya pun murah," kata Asrul Sani, Ketua Dewan Kesenian Jakarta 1977-1981. "TIM, yang semula cuma bertujuan membantu Pemerintah DKI dalam membina dan mengembangkan kesenian, meningkat jadi tolok-ukur kualitas kesenian di Indonesia. Dan itu memang wajar, sebab TIM berada di Ibu Kota, tempat seniman-seniman ternama bermukim." Memasuki dekade 1980-an, kejayaan TIM lambat laun sirna. Dana pembinaan semakin ketat. Sementara itu, di luar muncul pusat-pusat kesenian baru, sebutlah seperti Pasar Seni Ancol, Taman Mini, Taman Ria, dan belakangan ini Gedung Kesenian Jakarta. Galeri swasta yang memajang seni rupa pun semakin banyak. Akan halnya TIM, "Kursi-kursinya sudah usang, akustiknya ketinggalan zaman, ruangannya tanpa AC. Penonton pun lari ke tempat yang lebih nyaman," ujar Asrul. TIM merana. Pengelola TIM tak bisa berbuat apa-apa. "Untuk mengelola TIM secara profesional dibutuhkan biaya operasional Rp 2 milyar per tahun," ujar Soeparmo, bekas Kepala Badan Pengelola TIM. Menurut dia. selama ini TIM hanya memasukkan dana sebesar Rp 700 juta setahun, termasuk subsidi Pemda DKI Rp 100 juta. Hal itu pun disadari Gubernur Wiyogo. "Setelah saya pikir masak-masak, memang sudah saatnya TIM dikelola swasta. Meski bukan berarti Pemda DKI lepas tangan begitu saja. DKI akan tetap mengikuti perkembangannya," ujar Wiyogo. Ia tampak optimistis terhadap kehadiran YKJ badan yang ia kukuhkan keberadaannya Agustus tahun lalu. Dalam badan itu, selain Omar Abdalla, duduk sejumlah tokoh bisnis dan perbankan sebagai dewan penyantun. Di antaranya, H. Abdul Gani (Dirut Bank Duta), Robby Djohan (Dirut Bank Niaga), William Suryajaya (Astra Group), Probosutedjo (Mercu Buana Group), Somala Wiria (bekas Dirut BNI), dan Ir. Ciputra (Jaya Group). Menurut Omar Abdalla, untuk membenahi bangunan di TIM dibutuhkan biaya sekitar Rp 5 milyar. Dan itu akan dikerjakan dalam waktu lima tahun ini. YKJ sudah membuat master plan, yang arsitekturnya dikerjakan oleh Adi Mursid. "Kita pun minta masukan-masukan para seniman untuk melakukan relokasi dan renovasi sarana-sarana. Sehingga orang yang datang ke sini seperti sedang mengunjungi sahabatnya," kata Omar Abdalla, seusai rapat yayasan Senin kemarin. Perkara uang, sudah dipikirkan. "YKJ dan dewan penyantunnya yang mencari. Nantinya, diharapkan yayasan bisa memiliki dana abadi untuk membiayai pementasan-pementasan kesenian." Banyak kalangan menunggu-nunggu, apa yang terjadi setelah TIM dibenahi pihak swasta. Turun tangannya para pelaku bisnis tentu diharapkan tidak mematikan kreativitas seni. Seperti harapan Asrul Sani, "TIM hendaknya tetap sebagai pembina dan penjaga standar kualitas seni." Artinya, YKJ tidak menargetkan dan bicara keuntungan. Tampaknya, Omar Abdalla sudah menyadari itu. "Tidak semua pementasan seni diharapkan untung. Kalau ada surplus, ya, bagus," katanya. Priyono B. Sumbogo dan Muchsin Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini