Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat adat Kepulauan Aru, Maluku, Indonesia, menyerukan perlindungan keanekaragaman hayati di tanah leluhur mereka. Mereka melakukan demonstrasi damai ini bertepatan dengan perundingan konservasi keanekaragaman hayati global di COP16 CBD di Cali, Kolombia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mewakili masyarakat Aru, Monika Maritjie Kailey hadir di Cali untuk mengadvokasi urgensi perlindungan keanekaragaman hayati di tanah kelahirannya. Sementara itu, di Pulau Kumareri, Kepulauan Aru, para pemimpin adat dan pemuda juga menggelar demonstrasi damai untuk mendukung upaya perlindungan keanekaragaman hayati global, khususnya di Maluku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepulauan Aru merupakan salah satu wilayah dengan keanekaragaman hayati terkaya di Indonesia, terdiri dari 832 gugusan pulau dengan luas daratan 800.000 hektare yang dikelilingi oleh 4 juta hektare laut dan selat. Wilayah ini meliputi 156.000 hektare hutan bakau, 550.000 hektare hutan tropis dataran rendah, 22.000 hektare sabana, 19.000 hektare padang lamun, dan 53.000 hektare terumbu karang. Laut Aru sendiri menyumbang 21 persen potensi perikanan nasional Indonesia (771.600 ton per tahun).
Meskipun kaya akan ekologi, Kepulauan Aru terus menghadapi ancaman terhadap keanekaragaman hayati, karena sebagian besar wilayahnya diklasifikasikan sebagai hutan produksi konversi. Sejak tahun 1970-an, setidaknya empat gelombang izin telah dikeluarkan di Aru, termasuk untuk eksploitasi hutan (1970-2000), perkebunan tebu, eksploitasi berlebihan wilayah laut, izin penebangan (IUPHHK-HA, 2007-2013), peternakan sapi (2014-2021), dan izin pemanfaatan hutan lainnya (izin karbon dan hutan alam, 2022-sekarang). Sejarah ini telah memotivasi masyarakat Aru untuk terus mempertahankan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati di tanah leluhur mereka.
Presentasi oleh Monika Maritjie Kailey. Dok FWI
“Masyarakat adat telah menunjukkan kemampuan mereka untuk melestarikan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati melalui praktik tradisional dan kearifan lokal,” kata Monika, seorang advokat adat dari Aru yang menghadiri COP16 dikutip dari siaran pers, Senin, 28 Oktober 2024..
“Kami telah berulang kali mempertahankan hutan dan laut kami dari ancaman industri ekstraktif. Sudah saatnya bagi pemerintah Indonesia dan masyarakat global untuk mengakui peran masyarakat adat dalam melindungi keanekaragaman hayati dengan memastikan mobilisasi sumber daya yang adil,” ucap Monika.
Seruan untuk perlindungan keanekaragaman hayati di Kepulauan Aru juga datang dari pemuda adat di pulau tersebut. Melalui aksi damai, mereka menuntut komitmen serius pemerintah untuk melindungi keanekaragaman hayati, termasuk mencabut izin ekstraktif yang mengancam keanekaragaman hayati dan mempercepat penerapan peraturan daerah yang mengakui hak-hak masyarakat adat.
Johan Djamanmona, koordinator aksi damai di Kepulauan Aru, mengatakan menjadi warga Aru bukan sekadar hak, tetapi kewajiban. Menurutnya, melindungi Aru berarti menjaga kehidupan masyarakat Aru. "Aksi hari ini merupakan pernyataan perjuangan masyarakat adat Aru dan pemuda untuk menolak investasi yang merusak lingkungan di Aru dan mendesak pemerintah pusat untuk mencabut semua izin eksploitasi hutan yang ada di Kepulauan Aru,” ujarnya.
Di COP16 CBD, diskusi tentang pengakuan kontribusi masyarakat adat terhadap konservasi keanekaragaman hayati telah menjadi hal yang kompleks, terutama menyangkut penghormatan terhadap Hak Masyarakat Adat dan Lokal, yang penting dalam Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal (KM-GBF) yang disepakati dua tahun lalu.
Masyarakat adat di COP16 mendesak negara-negara untuk sepenuhnya mengakui kontribusi mereka terhadap konservasi keanekaragaman hayati dan untuk membentuk Badan Pendukung permanen yang berfokus pada Pasal 8j, yang mencakup pengetahuan tradisional, inovasi, dan praktik dalam konservasi keanekaragaman hayati. Namun, beberapa negara, termasuk delegasi Indonesia, telah menentang usulan ini, meskipun Masyarakat Adat dan Lokal memberikan kontribusi yang signifikan terhadap target KM-GBF.
Advokasi Monika menggarisbawahi peran penting masyarakat adat sebagai penjaga keanekaragaman hayati yang membutuhkan dukungan pemerintah. Sayangnya, kebijakan yang mendukung perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman hayati oleh masyarakat adat belum menghasilkan dampak nyata.
“Dua kebijakan utama perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia—Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2023 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2024—masih belum memenuhi kebutuhan dan hak masyarakat adat. Inpres tersebut tidak memiliki kewenangan mengikat secara hukum, oleh karena itu Peraturan Presiden akan menjadi instrumen yang lebih kuat,” kata Bimantara, peneliti di Perkumpulan HuMA Indonesia.
“Di masa mendatang, akan bermanfaat juga untuk merevisi kebijakan ini agar selaras dengan struktur dan tanggung jawab kebijakan keanekaragaman hayati setelah pemerintahan baru menjabat,” katanya.
Selain peran penting mereka dalam pelestarian keanekaragaman hayati, masyarakat adat sangat rentan terhadap dampak langsung perubahan iklim. “Kebijakan pemerintah tentang keanekaragaman hayati, seperti IBSAP (Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia) dan komitmen iklim seperti NDC (Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional), harus menghormati dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat,” kata Salma Zakiyah, Program Officer untuk Hutan dan Iklim di MADANI Berkelanjutan.
Sejarah telah menunjukkan dengan jelas bahwa masyarakat adat yang telah menjaga keanekaragaman hayati di Kepulauan Aru. Oleh karena itu, pengakuan atas kontribusi mereka terhadap perlindungan keanekaragaman hayati di wilayah mereka sudah sepantasnya. “Tidak ada alasan untuk mengabaikan keberadaan masyarakat adat dan kontribusi mereka terhadap perlindungan sumber daya alam,” kata Ogy Dwi Aulia dari Forest Watch Indonesia.