Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan sering kita mendengar frasa cuaca ekstrem, terkadang diikuti dengan frasa kekeringan ekstrem, panas ekstrem, badai ekstrem, dan segala sesuatu berkaitan dengan iklim. Namun, mungkin kita memaknainya sebagai sesuatu yang tidak biasa saja. Apakah hal tersebut sesuai dengan faktanya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari climate.nasa.gov, cuaca ekstrem berkaitan dengan perubahan iklim. Oleh karena itu, pertama-tama kita harus memahami apa itu hal tersebut. Perubahan iklim adalah perubahan jangka panjang dalam pola cuaca rata-rata yang menentukan iklim lokal, regional, dan global di bumi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tren perubahan iklim menjadi perhatian lebih sejak pertengahan abad ke-20. Hal tersebut karena pada masa itu mulai menjadi kebiasaan untuk menggunakan bahan bakar fosil yang meningkatkan kadar gas rumah kaca sehingga terperangkapnya panas lebih banyak di atmosfer bumi. Keadaan tersebut meningkatkan suhu rata-rata permukaan bumi.
Dampak nyata perubahan iklim bukan sekadar kenaikan suhu permukaan bumi, lebih dari itu juga menyebabkan La Nina, El Nino, dan Osilasi Dekadal Pasifik. Bahkan lebih jauh lagi memengaruhi aktivitas gunung berapi dan variasi orbit bumi. Barangkali semua itu tidak dirasakan langsung oleh kita, tetapi cuaca ekstrem yang membuat kita tidak nyaman beraktivitas pun salah satu dampak perubahan iklim.
Cuaca ekstrem merupakan wujud nyata perubahan iklim. Fenomena-fenomena cuaca ekstrem di antaranya adalah gelombang panas, hujan deras, banjir besar, kekeringan menahun, kebakaran hutan ekstrem, dan segala hal hebat yang menyiksa manusia. Semua itu harus kita sadari sebagai dampak aktivitas mayoritas manusia yang tidak ramah lingkungan.
Berdasarkan Laporan Penilaian Keenam Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) pada 2021, peningkatan gas rumah kaca yang disebabkan manusia sudah meningkatkan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem.
Tentu ini adalah hal yang mengancam kehidupan manusia, mulai dari sekarang dan nanti ke depannya. Dua hal yang dapat dilakukan manusia ke depannya adalah mitigasi dan adaptasi. Mitigasi adalah upaya pengurangan dampak perubahan iklim, sedangkan adaptasi adalah upaya penyesuaian diri dengan perubahan iklim. Mau tidak mau, semua itu harus dilakukan sejak saat ini.
Upaya mitigasi yang paling perlu dilakukan adalah mengurangi produksi gas rumah kaca yang dapat memerangkap panas di atmosfer bumi. Tindak nyata yang dapat dilakukan di antaranya mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, menjaga kelestarian kawasan penyerap gas kaca yang baik seperti hutan, lautan, dan tanah.
Upaya adaptasi lebih menekankan pada kesiapan manusia terhadap bencana yang datang, tentu dimulai dengan mengenali lingkungan sekitar. Misalnya mengamati pola cuaca ekstrem agar tidak terdampak terlalu berat dan lain sebagainya.