Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH sejarah kecil dimulai di ruangan yang besarnya kirakira sepertiga lapangan bulu tangkis. Senin dua pekan lalu ruangan itu tertutup rapat. Setelah satu setengah jam, empat lelaki necis keluar dari tempat itu dan tampak penuh keakraban. Mereka dari lembaga yang berseberangan. Yang satu dari ”polisi” lingkungan pengawas pabrik, yakni tim Proper Kementerian Lingkungan Hidup. Yang satu lagi adalah perusahaan yang selama ini disorot masyarakat karena limbahnya—lumpur sisa tambang—dinilai sebagian orang mencemari sungai di Papua, yakni PT Freeport Indonesia.
”Kami membahas perkembangan pengelolaan lingkungan di Papua,” kata Rasio Ridho Sony, ketua tim Proper.
Pertemuan Freeportpemerintah itu adalah sebuah sejarah. Sebab, untuk pertama kalinya PT Freeport Indonesia mau dimasukkan ke perusahaan yang diteliti oleh tim Proper (Program Penilaian Pemiringkat Kinerja Perusahaan). Tim ini bertugas menilai apakah sebuah perusahaan bisa dikategorikan pencemar atau ramah lingkungan. Ada lima cap yang dikeluarkan tim ini, yakni hitam, merah, biru, hijau, dan emas. Cap hitam adalah kategori terburuk dan emas adalah perusahaan yang paling ramah lingkungan.
Pertemuan itu akan berlanjut dengan mengirimkan tim investigasi Proper ke Tembagapura, Mimika, Papua. Ini merupakan salah satu bagian dari proses penilaian yang akan dilakukan tim itu. Mereka akan melihat cara perusahaan ini menangani limbah (tailing) tambang emasnya. Kunjungan ini untuk mencari tahu apakah komplain banyak kalangan tentang tailing itu benar dan mencari cara mengatasinya.
Sejak 1997, banyak kalangan menilai ampas tambang Freeport bermasalah. Salah satu organisasi pejuang lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), telah menyuarakan keberatan terhadap operasi perusahaan ini. Mereka langsung mengirimkan nota protes ketika Menteri Lingkungan Hidup waktu itu, Sarwono Kusumaatmadja, menyetujui analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) Freeport.
Pengesahan ini membuat perusahaan asal Amerika Serikat itu boleh menaikkan produksi tambangnya dari 160 ribu ton bijih tambang per hari menjadi 300 ribu ton. Bagi Walhi, peningkatan produksi yang hampir dua kali lipat itu memperparah kerusakan lingkungan di Papua. Apalagi sampai sekarang penempatan ampas tambang tembaga dan emas ke sungai masih menimbulkan kontroversi.
Selama ini, lumpur sisa penambangan ini dibuang melalui Sungai Agawagon sekitar mil 74, yang bertemu dengan Sungai Otomona di sekitar mil 50, dan Sungai Ajkwa di mil 3234, tepatnya di Otomona Brige. Dari atas langit bandara Timika, hamparan pengendapan tailing ini tampak nyata.
Masnellyarti Suherman, Deputi Penegakan Hukum semasa Menteri Negara Lingkungan Hidup dijabat Sony Keraf, telah mempersoalkan cara pembuangan limbah ini serta ketiadaan izinnya. Pada 2001 Masnellyarti telah mengirim surat peringatan karena pembuangan limbah tambang ke sungai itu menyalahi aturan. Soalnya, yang boleh dibuang ke sungai hanyalah limbah cair—itu pun dengan catatan tak boleh menurunkan kualitas air. Ini sesuai dengan Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991, yang berisi larangan membuang bahan padat dan/atau cair serta yang bisa mencemari dan menurunkan kualitas air. ”Di manamana tailing itu kan tergolong limbah padat, jadi tak bisa dibuang ke sungai,” ujar Masnellyarti.
Laporan Status Lingkungan Hidup Provinsi Papua pada 2003 juga menunjukkan adanya perubahan lingkungan dengan hadirnya ampas jutaan ton yang mengalir ke sungai di sana. Laporan itu menyebut bahwa 60 persen limbah Freeport mengendap di atas tanggul, 35 persen mengendap di daerah rawa gambut, dan 5 persen tertinggal dan terbawa ke muara Ajkwa dan Laut Arafura.
Hasil uji karakteristik sifat racun dengan memakai prosedur toxicity characteristic leaching procedure (TCLP) yang dilakukan Badan Pengelola Dampak Lingkungan Papua juga menunjukkan tailing Freeport itu masuk limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Dari penelitian pada 2003, ditemukan tingginya kadar magnesium dan kalsium, yaitu 12,5 sampai 620 miligram per liter, di sepanjang sungai.
Bahkan di air sumur juga ditemukan kadar kalsium yang tinggi, yakni 8,83 miligram per liter. Kadar keasaman (pH) juga tinggi, yakni 7,4 hingga 9,96. Padahal kadar keasaman air normal adalah 6 sampai 7. ”Tailing ini mengandung trace metal (zat pengotor dan sisa bahan kimia), karena itu bisa mengancam kehidupan biota sungai dan laut,” tulis laporan Kementerian Lingkungan Hidup dalam buku Status Lingkungan Hidup 2003.
PT Freeport Indonesia membantah anggapan limbah tambangnya tergolong beracun. Menurut Senior Manager Corporate Communications Freeport Indonesia, Siddharta Moersjid, penggerusan bijih mineral di tambangnya dilakukan dengan cara menggiling dan mengapungkan. ”Tanpa menggunakan sianida ataupun merkuri,” katanya.
Ihwal penggunaan Sungai Agawagon untuk membuang limbah, Freeport mengaku punya argumen kuat. Kata Siddharta, berdasarkan audit internal PT Freeport oleh konsultan Montgomery Watson, pengangkutan limbah dengan menggunakan sistem managed deposition area atau sistem pengendapan mengikuti aliran sungai ke dataran rendah dan pesisir adalah alternatif paling tepat untuk kondisi Freeport. Menurut mereka, tambang ini ada di Gunung Grasberg yang tinggi. Lagi pula, gununggunung di sana sangat aktif, jadi sering terjadi gempa.
Dengan kondisi geoteknik, topografi, iklim, dan seismologi seperti itu, Freeport beranggapan mustahil dilakukan metode pembuangan limbah dengan cara lain. Penimbunan, pembuatan bendungan, dan penyaluran menggunakan pipa dinilai Freeport tak cocok untuk daerah Mimika, yang kerap diguncang gempa dan punya curah hujan tinggi. Medan yang terjal serta jarak antara daerah pengendapan dan pabrik penggilingan rawan menimbulkan dampak lingkungan hidup terhadap sistem ngarai (canyon). ”Keutuhan jaringan pipa terancam peristiwa alam yang ekstrem seperti tanah longsor, air bah, dan gempa bumi,” ujar Siddharta.
Hasil studi uji risiko lingkungan (environmental risk assessment atau ERA) selama empat tahun, menurut Siddharta, menunjukkan hal yang sama. Pembuangan limbah melalui Sungai AgawagonOtomonaAjkwa dan pengendapan di dataran rendah menjadi opsi terbaik sesuai dengan analisis dampak lingkungan yang diteken Sarwono.
Prokontra kotoran sisa tambang milik perusahaan tambang yang beroperasi sejak 1967 ini terus bergulir. Menteri Negara Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar mengaku tak mau main gebuk dalam kasus Freeport. Menurut menteri yang selalu tampak kalem ini, tudingan sejumlah pihak terhadap Freeport perlu dibuktikan lagi secara ilmiah. Untuk mendapatkan bukti ilmiah itulah, upaya mengajak Freeport masuk ke daftar uji Proper dinilai pemerintah sebagai alternatif terbaik. ”Ini bukan debat anakanak. Harus ada bukti ilmiah bila ia memang benar mencemari,” ujar Rahmat.
Menteri dari Partai Demokrat itu membantah anggapan dirinya tidak bertindak tegas terhadap para pengusaha tambang nakal. ”Masalahnya, mereka memegang izin, jadi tak bisa dilarang begitu saja.”
Koordinator lembaga swadaya Jaringan Advokasi Tambang, Siti Maimunah, menganggap pemerintah terlalu lembek menindak perusahaan itu. Padahal, kata Siti, dari kadar logam yang terlarut dalam air sungai, sudah cukup bagi pemerintah untuk mengambil tindakan. ”PT Freeport juga harus menghentikan penambangan selama keabsahan izin tempat pembuangan limbah dipertanyakan,” ujarnya.
Tim Proper kini sedang melakukan proses penelitian, pengujian, dan penilaian. Apakah pemerintah tetap kritis dalam memberikan rapor kepada Freeport? Sejarah akan mencatat.
Purwanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo