Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MANSUETUS Darto mengeluhkan meluasnya perkebunan sawit yang seakan-akan tanpa batas. Pendiri sekaligus Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) itu khawatir ekspansi bisnis perkebunan sawit yang tak terkontrol justru akan memukul balik industri. Nilai minyak sawit bisa jeblok akibat berlimpahnya pasokan belum tentu terserap oleh pasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sampai sekarang ekspansi terus terjadi karena kita tak pernah menghitung kebutuhan secara holistik,” kata Mansuetus kepada Tempo pada Senin, 14 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saban tahun, perkebunan sawit bertambah luas. Merujuk pada pemutakhiran data yang dilakukan Badan Informasi Geospasial dan Kementerian Pertanian, luas tutupan sawit per akhir 2023 mencapai 17,3 juta hektare atau sekitar 1,5 kali luas Pulau Jawa. Luas tersebut bertambah sekitar 500 ribu hektare—sekitar delapan kali wilayah Jakarta—dibanding pada 2022 yang seluas 16,8 juta hektare.
Menurut Mansuetus, potensi banjir pasokan minyak sawit di pasar global amat besar. Dia mengingatkan, Indonesia bukan satu-satunya negara penghasil crude palm oil (CPO). Sejumlah negara di kawasan Afrika dan Amerika Latin juga mengembangkan produk hasil pengolahan tanaman Elaeis guinensis ini.
Persoalannya, tuntutan pasar terhadap produk minyak sawit yang memenuhi prinsip-prinsip berkelanjutan juga meningkat. Regulasi Anti-Deforestasi Uni Eropa (EUDR), misalnya, mulai awal tahun depan memastikan berbagai komoditas yang masuk ke negara-negara Uni Eropa tidak dihasilkan dari kegiatan usaha yang memicu deforestasi di negara asal. Pengetatan kebijakan serupa juga mulai ditiru oleh negara-negara importir CPO di kawasan lain.
Meningkatnya persaingan di antara negara eksportir dan pembatasan di negara-negara importir berpotensi memukul produk minyak sawit Indonesia. Dampaknya bisa merembet ke pelaku usaha perkebunan sawit, termasuk petani swadaya.
Pekerja memanen tandan buah sawit segar di Jambi. ANTARA/ Wahdi Septiawan
Sementara itu, Mansuetus menilai pemerintah juga tidak pernah serius meningkatkan produktivitas perkebunan sawit, yang dinilai lebih mendesak. Program peremajaan sawit rakyat, misalnya, bertahun-tahun seakan-akan berjalan di tempat dan kalah pamor dibanding program biodiesel.
“Sebetulnya pemerintah dapat meningkatkan produksi CPO menjadi 80 juta ton per tahun bila program peremajaan sawit rakyat dijalankan,” katanya.
Per akhir 2023, produksi CPO Indonesia ditaksir mencapai 50,07 juta metrik ton. Artinya, dengan tutupan sawit seluas 17,3 juta hektare, produktivitas rata-rata perkebunan sawit hanya 2,89 ton CPO per hektare per tahun.
Pemerintah sebetulnya sudah lama menyadari rendahnya produktivitas perkebunan sawit di Indonesia, yang hanya 2,5-4,8 ton CPO per hekare per tahun. Karena itu, sedekade terakhir, pemerintah menggeber program peremajaan sawit rakyat. Pendanaan program ini ditopang oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) ataupun Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Namun realisasi program peremajaan sawit rakyat selalu tak mencapai target. Dana BPDPKS justru lebih banyak dialokasikan untuk insentif program biodiesel. Adapun petani swadaya juga masih kesulitan memenuhi berbagai persyaratan untuk mengakses KUR, yang alokasi anggarannya dinaikkan per Mei 2024 dari Rp 30 juta menjadi Rp 60 juta per hektare.
Petani memindahkan kelapa sawit yang baru dipanen di Nagari Katapiang, Padang Pariaman, Sumatera Barat, Senin 2 September 2024. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Pentingnya Membatasi Ekspansi Kebun Sawit
Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan Giorgio Budi Indrarto juga menyoroti kecenderungan untuk mendorong perluasan kebun sawit ketimbang peningkatan produktivitas lahan existing. Dia menilai kondisi ini mengkhawatirkan lantaran hasil riset menunjukkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sejumlah wilayah di Indonesia terus berkurang.
“Ke depan, pemerintah perlu memberlakukan ambang batas atas luas kebun sawit nasional,” kata Giorgio seraya mencontohkan Malaysia yang telah menerapkan kebijakan batas atas (cap) luas kebun sawit 6,5 juta hektare.
Riset yang dimaksudkan Giorgio disusun oleh Koalisi Madani, Satya Bumi, Sawit Watch, dan Yayasan Lokahita. Dalam studi yang baru dirilis pada 1 Oktober 2024 tersebut, koalisi menganalisis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, serta Papua—wilayah yang selama ini telah dirambah perkebunan sawit.
Tim riset menggunakan berbagai data, seperti klasifikasi penggunaan lahan, kondisi fisik lahan, dan fungsi lahan sebagai variabel pembatas. Studi permodelan kelak akan menunjukkan seberapa luas lahan yang tersedia untuk pengembangan kebun sawit sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup setiap wilayah.
Hasilnya, tim riset koalisi masyarakat sipil mendapati luas kebun sawit yang masih memenuhi aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan di Indonesia hanya 18,15 juta hektare. Angka ini pula yang diusulkan oleh koalisi agar ditetapkan oleh pemerintah sebagai batas atas luas kebun sawit nasional.
Pekerja menggunakan alat berat untuk menumbangkan pohon sawit di Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, 29 April 2023. ANTARA/Budi Candra Setya
Giorgio berharap penetapan batas atas tersebut akan mendorong upaya untuk mengoptimalkan perkebunan sawit yang telah ada. Dengan begitu, kata dia, wajah industri sawit nasional menjadi lebih ramah lingkungan. “Pemerintah perlu berfokus mengubah wajah sawit menjadi lebih baik, tidak merusak lingkungan, dengan cara mengoptimalkan perkebunan yang sudah ada,” kata Jojo—panggilan Giorgio.
Peneliti Yayasan Madani Berkelanjutan, Sadam Afian Richwanudin, menilai pengabaian terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan amat mengkhawatirkan. Jika tak dibatasi, luas perkebunan sawit di masa mendatang bakal terus bertambah hingga menembus 20 juta hektare. Padahal hasil riset menunjukkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di sejumlah wilayah tak lagi mencukupi, bahkan defisit.
Sadam mencontohkan hasil analisis di Pulau Sumatera. Hasil analisis menunjukkan perkebunan sawit di Sumatera seharusnya dibatasi seluas 10,69 juta hektare. Pada kenyataannya, luas tutupan sawit di Sumatera per 2022 telah menembus 10,7 juta hektare. Tanpa pembatasan luas, ekspansi perkebunan sawit dikhawatirkan akan merambah ke kawasan yang tak semestinya.
“Dampaknya, perluasan perkebunan sawit akan makin mendorong alih fungsi lahan, termasuk pada kawasan dengan fungsi lindung,” ujar Sadam.
Persoalannya, kendati luas tutupan sawit saat ini masih di 17,3 juta hektare, rencana pengembangan kebun sawit di masa mendatang bisa lebih luas lagi. Merujuk pada laporan bertajuk "Urgensi Perpanjangan Moratorium Sawit untuk Mempercepat Perbaikan Tata Kelola Sawit Indonesia" yang dipublikasikan Koalisi Moratorium Sawit pada 23 Juni 2021, luas izin perkebunan sawit di Indonesia mencapai 27,4 juta hektare. Izin perkebunan tersebut tersebar di 26 provinsi.
Peneliti Sawit Watch, Hadi Saputra, khawatir ekspansi tanpa batas lahan perkebunan sawit akan memicu kerusakan lingkungan yang amat masif. Dalam jangka panjang, ekspansi perkebunan sawit yang melebihi ambang batas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dapat memicu bencana alam. “Ketika pembangunan kebun sawit melewati kemampuan lingkungan, jasa lingkungan untuk menopang kehidupan manusia akan turun,” tutur Hadi.
Deforestasi untuk pembukaan lahan perkebunan sawit di Kalimantan Tengah. Dok. Auriga Nusantara
Sementara itu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya memaparkan industri sawit Indonesia telah menguasai 60 persen pangsa pasar produsen CPO dunia. Sepanjang tahun ini, total nilai ekspor CPO mencapai US$ 40 miliar—sekitar 14,2 persen dari total ekspor non-migas.
Selain itu, menurut dia, industri sawit menyerap tenaga kerja langsung ataupun tidak langsung sebanyak 16 juta jiwa, sebanyak 2,4 juta orang di antaranya adalah pekebun swadaya. “Jadi industri sawit berkontribusi positif dalam pertumbuhan produk domestik bruto di sektor perkebunan,” kata Airlangga pada Rabu, 2 Oktober 2024.
Kendati begitu, dia memastikan pemerintah terus berupaya mengintegrasikan kebijakan tata kelola kelapa sawit berkelanjutan. "Antara lain akan diterbitkan Peraturan Presiden tentang Strategi dan Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan (SANAS KSB) Tahun 2025-2029," ucap Airlangga.
Hingga saat ini, belum terang seperti apa rancangan peraturan presiden yang dimaksudkan Airlangga. Namun regulasi anyar tersebut disiapkan untuk menggantikan Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB) 2019-2024.
Bergulir lima tahun lalu lewat penerbitan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2019, RAN KSB mengamanatkan sejumlah langkah perbaikan tata kelola industri sawit. Hal utama yang disasar adalah penguatan data, penguatan koordinasi dan infrastruktur, peningkatan kapasitas dan kapabilitas pekebun, pengelolaan dan pemantauan lingkungan, tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa, percepatan pelaksanaan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), serta peningkatan akses pasar produk sawit. Masih banyaknya persoalan di industri itu sejauh ini agaknya cukup untuk menggambarkan realisasi rencana aksi tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo