Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Setelah heboh selaparang

Bandar udara selaparang di lombok, ntb, retak-retak & pernah ditutup untuk penerbangan karena terdapat lubang besar pada landasan. ntb, propinsi yang banyak calon jemaah haji, sehingga perlu perbaikan bandar udara. (tek)

9 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELASA, 8 Agustus lalu, Dirjen Perhubungan Udara Marsekal Madya Kardono agak tersentak ketika membaca koran paginya. "Landasan Selaparang Perlu Diperiksa Kembali terhadap Pendaratan F-28", begitu bunyi judul berita Kompas. Di situ disebutkan, bahwa landasan Pelud Selaparang, Lombok (NTB) diliputi retak-retak seperti rambut dan seperti cakar ayam. Dikhawatirkan, Kapelud Soerono akan terpaksa menutup lapangan terbang itu lagi seperti awal Januari lalu, ketika satu lubang besar menganga di tengah-tengah landasan. Tak sabar lagi, dalam perjalanan naik mobil ke kantor Dirjen Kardono lewat radio mobilnya segera mengontak Surabaya. Petugas Wilayah Perhubungan Udara III di sana disuruhnya mencek kebenaran berita koran pagi itu. Bisa dimaklumi keresahan sang Dirjen. Propinsi Nusa Tenggara Barat terkenal sebagai penyumbang ONH yang cukup besar. Musim haji mendatang ada 2800 orang yang mau berangkat naik haji dari kedua pulau Lombok dan Sumbawa. Semuanya bakal bertolak dari Selaparang menuju pelabuhan udara Juanda, Surabaya, bulan depan. Berarti keadaan landasan di ibukota NTB itu harus dalam keadaan baik. Malah harus mampu mendukung frekwensi penerbangan Fokker F-28 Garuda yang lipat dua ketimbang biasanya. Akhir Agustus, Kardono terbang dengan pesawat King Air Ditjen Perhubungan Udara ke NTB. Sambil meresmikan pemakaian landasan Pelud Sumbawa Besar untuk pesawat sejenis F-28, ia menginspeksi keadaan landasan Selaparang -- yang tampaknya sudah dicat lagi dengan aspal dan ter. Tapi retak-retak masih tampak di sana-sini, walaupun menurut Staf Direktorat Pelabuhan Udara dan Subdit Landasan yang menyertai Kardono, itu tak akan mengganggu keamanan landasan bagi penerbangan calon jemaah haji bulan depan. "Landasan ini memang sudah tua," kata Kardono. Sekitar 20 tahun lebih. Tahun 1958, tutur Kardono, dia pertama kali mendarat dengan pesawat Heron, bertolak dari Morotai, Maluku Utara. Waktu itu pemberontakan Permesta sedang berkecamuk di Indonesia Timur. Kardono yang masih aktif di AURI terbang ke Lombok sebagai kopilot, mendampingi kapten-pilot Omar Dhani (kini tahanan G-30-S). Bertolak dari pengalaman itu, Kardono tahu benar bahwa landasan Selaparang (d/h Rembiga) hanya mampu mendukung pesawat Dakota (DC-3) dan sejenisnya. "Baru tahun 1964 landasan ini diperpanjang untuk menampung pesawat sejenis Electra," kata sang dirjen. Mengikuti perkembangan zaman, landasan Selaparang itu dipertebal lagi, sehingga diperhitungkan dapat menampung beban pesawat Fokker-F-28 sampai sekitar 30 ton. Berarti pesawat pengangkut penumpang dan barang itu tak boleh diisi sampai penuh, karena beban mendarat dan lepas-landasnya (sekitar 64 ribu lbs) jadi jauh melebihi kemampuan landasan. Betulkah landasan Selaparang sekarang masih mampu mendukung beban F-28 sampai 30 ton dengan frekwensi pendaratan dan take-off 2 x sehari? Staf Subdit Landasan yang datang bersama Kardono, tak juga berani memastikan hal itu -- untuk jangka panjang. Katanya kepada TEMPO: "Kalau mau pasti akan kekuatan landasan itu, harus diadakan plate-bear1ng test, yang bisa menelan biaya jutaan rupiah." Sampai sekarang, baru landasan-landasan yang besar dan ramai dikenakan test itu. Misalnya landasan Hasanuddin (Ujungpandang) dan Polonia (Medan). Penetrasi Air Bagi Kardono sendiri, yang lebih dikhawatirkannya adalah penetrasi air dibawah landasan. Lubang besar yang menganga ditengah-tengah landasan, Januari lalu, menurut stafnya disebabkan oleh bekas saluran air yang melintang di bawah landasan. Air menggerogoti pasir dan kerikil, fundasi landasan pun jebol, dan aspal pelapisnya pun ikut ambrol. Tapi itu hanya di satu tempat. Lebih berbahaya lagi, adalah sungai kecil yang mengalir kira-kira 10 meter di sisi landasan. Di musim kemarau, airnya memang sedikit. Tapi di musim hujan, atau setelah hujan keras, air bisa naik sehingga sungai pun tambah lebar beberapa kali lipat. Nah, "air luberan sungai itu kalau merembes ke bawah landasan bisa berbahaya sekali," ujar Marsekal Madya Kardono. Itu sebabnya, dia memerintahkan kepada anak-buahnya agar membuat tembok bronjong (batu padas yang dibungkus kawat kasa) untuk melindungi fundasi landasan dari rembesan air sungai. Itulah berbagai tantangan yang dihadapi Dirjen Perhubungan Udara -- di darat. Kendati demikian, Kardono tetap juga bergembira, bahwa aparatnya telah berhasil membangun dan memperbaiki banyak landasan terbang di seluruh Indonesia. Berpidato di depan Muspida NTB ketika meresmikan landasan Pelud Sumbawa Besar, dua minggu lalu, dia menceritakan betapa tiga landasan baru telah dibangunnya dan berpuluh-puluh landasan lama ditinkatkan. "Lima tahun yang lalu," tuturnya tanpa teks, "dalam bearing dengan DPR saya masih bercerita, bahwa di dunia penerbangan pun kita mengenal istilah tadah-hujan." Maksudnya, ada landasan yang tak dapat dipakai di musim hujan, atau setelah hujan keras. Lapangan terbang Sumbawa Besar, dua tahun lalu masih tergolong kategori "tadah hujan". Namun sekarang, hujan tak perlu lagi dirisaukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus