SELASA, 8 Agustus lalu, Dirjen Perhubungan Udara Marsekal Madya
Kardono agak tersentak ketika membaca koran paginya. "Landasan
Selaparang Perlu Diperiksa Kembali terhadap Pendaratan F-28",
begitu bunyi judul berita Kompas. Di situ disebutkan, bahwa
landasan Pelud Selaparang, Lombok (NTB) diliputi retak-retak
seperti rambut dan seperti cakar ayam. Dikhawatirkan, Kapelud
Soerono akan terpaksa menutup lapangan terbang itu lagi seperti
awal Januari lalu, ketika satu lubang besar menganga di
tengah-tengah landasan.
Tak sabar lagi, dalam perjalanan naik mobil ke kantor Dirjen
Kardono lewat radio mobilnya segera mengontak Surabaya. Petugas
Wilayah Perhubungan Udara III di sana disuruhnya mencek
kebenaran berita koran pagi itu.
Bisa dimaklumi keresahan sang Dirjen. Propinsi Nusa Tenggara
Barat terkenal sebagai penyumbang ONH yang cukup besar. Musim
haji mendatang ada 2800 orang yang mau berangkat naik haji dari
kedua pulau Lombok dan Sumbawa. Semuanya bakal bertolak dari
Selaparang menuju pelabuhan udara Juanda, Surabaya, bulan depan.
Berarti keadaan landasan di ibukota NTB itu harus dalam keadaan
baik. Malah harus mampu mendukung frekwensi penerbangan Fokker
F-28 Garuda yang lipat dua ketimbang biasanya.
Akhir Agustus, Kardono terbang dengan pesawat King Air Ditjen
Perhubungan Udara ke NTB. Sambil meresmikan pemakaian landasan
Pelud Sumbawa Besar untuk pesawat sejenis F-28, ia menginspeksi
keadaan landasan Selaparang -- yang tampaknya sudah dicat lagi
dengan aspal dan ter. Tapi retak-retak masih tampak di
sana-sini, walaupun menurut Staf Direktorat Pelabuhan Udara dan
Subdit Landasan yang menyertai Kardono, itu tak akan mengganggu
keamanan landasan bagi penerbangan calon jemaah haji bulan
depan.
"Landasan ini memang sudah tua," kata Kardono. Sekitar 20 tahun
lebih. Tahun 1958, tutur Kardono, dia pertama kali mendarat
dengan pesawat Heron, bertolak dari Morotai, Maluku Utara. Waktu
itu pemberontakan Permesta sedang berkecamuk di Indonesia Timur.
Kardono yang masih aktif di AURI terbang ke Lombok sebagai
kopilot, mendampingi kapten-pilot Omar Dhani (kini tahanan
G-30-S).
Bertolak dari pengalaman itu, Kardono tahu benar bahwa landasan
Selaparang (d/h Rembiga) hanya mampu mendukung pesawat Dakota
(DC-3) dan sejenisnya. "Baru tahun 1964 landasan ini
diperpanjang untuk menampung pesawat sejenis Electra," kata sang
dirjen.
Mengikuti perkembangan zaman, landasan Selaparang itu dipertebal
lagi, sehingga diperhitungkan dapat menampung beban pesawat
Fokker-F-28 sampai sekitar 30 ton. Berarti pesawat pengangkut
penumpang dan barang itu tak boleh diisi sampai penuh, karena
beban mendarat dan lepas-landasnya (sekitar 64 ribu lbs) jadi
jauh melebihi kemampuan landasan.
Betulkah landasan Selaparang sekarang masih mampu mendukung
beban F-28 sampai 30 ton dengan frekwensi pendaratan dan
take-off 2 x sehari?
Staf Subdit Landasan yang datang bersama Kardono, tak juga
berani memastikan hal itu -- untuk jangka panjang. Katanya
kepada TEMPO: "Kalau mau pasti akan kekuatan landasan itu, harus
diadakan plate-bear1ng test, yang bisa menelan biaya jutaan
rupiah."
Sampai sekarang, baru landasan-landasan yang besar dan ramai
dikenakan test itu. Misalnya landasan Hasanuddin (Ujungpandang)
dan Polonia (Medan).
Penetrasi Air
Bagi Kardono sendiri, yang lebih dikhawatirkannya adalah
penetrasi air dibawah landasan. Lubang besar yang menganga
ditengah-tengah landasan, Januari lalu, menurut stafnya
disebabkan oleh bekas saluran air yang melintang di bawah
landasan. Air menggerogoti pasir dan kerikil, fundasi landasan
pun jebol, dan aspal pelapisnya pun ikut ambrol.
Tapi itu hanya di satu tempat. Lebih berbahaya lagi, adalah
sungai kecil yang mengalir kira-kira 10 meter di sisi landasan.
Di musim kemarau, airnya memang sedikit. Tapi di musim hujan,
atau setelah hujan keras, air bisa naik sehingga sungai pun
tambah lebar beberapa kali lipat. Nah, "air luberan sungai itu
kalau merembes ke bawah landasan bisa berbahaya sekali," ujar
Marsekal Madya Kardono. Itu sebabnya, dia memerintahkan kepada
anak-buahnya agar membuat tembok bronjong (batu padas yang
dibungkus kawat kasa) untuk melindungi fundasi landasan dari
rembesan air sungai.
Itulah berbagai tantangan yang dihadapi Dirjen Perhubungan Udara
-- di darat. Kendati demikian, Kardono tetap juga bergembira,
bahwa aparatnya telah berhasil membangun dan memperbaiki banyak
landasan terbang di seluruh Indonesia. Berpidato di depan
Muspida NTB ketika meresmikan landasan Pelud Sumbawa Besar, dua
minggu lalu, dia menceritakan betapa tiga landasan baru telah
dibangunnya dan berpuluh-puluh landasan lama ditinkatkan.
"Lima tahun yang lalu," tuturnya tanpa teks, "dalam bearing
dengan DPR saya masih bercerita, bahwa di dunia penerbangan pun
kita mengenal istilah tadah-hujan." Maksudnya, ada landasan yang
tak dapat dipakai di musim hujan, atau setelah hujan keras.
Lapangan terbang Sumbawa Besar, dua tahun lalu masih tergolong
kategori "tadah hujan". Namun sekarang, hujan tak perlu lagi
dirisaukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini