Annuntio vobis gaudum magnum. Habemus Papam! (Ada berita besar
bagi kita. Kita telah memiliki Paus baru).
MATAHARI baru mulai sembunyi ke balik bukit Vatikan, ketika
rumus klasik itu diucapkan seorang kardinal tua dari atas balkon
basilika St. Petrus. Nama paus baru: Johannes Paulus I.
Serta merta, meledaklah sorak kegembiraan ribuan umat Katolik
yang sejak pagi hari sudah menunggu di alun-alun gereja maha
besar itu. Klakson mobil dan motor, tak mau kalah. Begitu pula
lonceng gereja.
Albino Luciani, 65 tahun, berperawakan tinggi ramping dan
berkacamata tebal. Terpilih dalam konklaf tersingkat sejak
pemilihan Pius ke 12 (1939), sebelumnya namanya sama sekali tak
disebut-sebut sebagai papabili. Ia bukan cendekiawan, tapi dekat
dengan rakyat jelata di keuskupan asalnya, Venesia. Ditambah
dengan pribadinya yang sederhana, faktor itu membuat para
kardinal senior tertarik padanya. Dia juga belum pernah terlibat
dalam birokrasi pemerintahan Vatikan sebelumnya.
Berasal dari keluarga miskin, ayahnya seorang buruh pabrik gelas
dan aktivis sosialis yang militan. Ibunya bekerja di ladang.
Kedua orang tuanya sudah meninggal, sementara kedua saudaranya
-- Edoardo dan Nina -- masih hidup di Venesia dan masing-masing
sudah berkeluarga. Muncul di balkon basilika, sambutannya
singkat saja: "Saya tak memiliki kebijaksanaan hati Johannes
ke-23. Persiapan dan kecerdasan Paulus ke-6 juga tak ada pada
diriku. Makanya saya harapkan doa-doa kalian akan membantu
saya."
Mengapa dia memilih nama gabungan kedua pendahulunya? Selain
alasan yang agak romantis -- Johannes ke-23 menasbihkannya
menjadi uskup, sedang Paulus ke-6 mengangkatnya jadi
Kardinal-ada juga sebab yang lebih prinsipiil. Dalam Missa
Konselebrasi di Kapela Sistina, Minggu esoknya, Paus baru itu
menyatakan tekadnya untuk melaksanakan uarisan Konsili Vatikan
II yang dicetuskan oleh Johannes ke-23. Tapi ia juga bertekad
menjaga tradisi Gereja yang dipegang teguh oleh Paulus ke-6.
Himbauan awal itu tampaknya berhasil memuaskan semua pihak.
Pietro Parente, seorang kardinal tua yang tak ikut konklaf
karena sudah berhasil melewati batas umur 80 tahun memberi
komentar begini: "Ternyata dia jauh dari pada seorang ekstremis.
Orangnya sed ana, punya integritas, demokratis dan erdas.
Sungguh suatu pilihan yang tepat."
Sementara itu Dr Hans Kueng, ahli theologi yang pernah bertikai
pendapat dengan Vatikan menyatakan "cukup puas" dengan pilihan
para kardinal. Katanya lagi kepada wartawan AP yang datang
menemuinya di Swiss: "Paus baru ini terbuka bagi dunia. Dia
seorang kristen sejati. Sebagian besar sekarang akan tergantung
kepada para pembantu dan penasehatnya. "
Komentar Kueng ini dapat ditafsirkan sebagai sindiran ke alamat
Kuria, dewan pemerintahan Vatikan yang sudah bertahan menghadapi
beberapa kali penggantian Paus. Lembaga yang disebut sebagai
gerontocracy atau pemerintahan orang tua-tua oleh novelis
Katolik Morris West itu hanya mengalami perubahan sedikit kalau
ada yang meninggal.
Di masa Paulus ke-6, dewan itu mulai kemasukan unsur non-Italia
-- walaupun sebagian yang diangkat itu tergolong mereka yang
sangat patuh pada garis konservatif Kuria. Misalnya Kardinal
Gantin dari Benin (d/h Dahomey) dan Kardinal Franjo Seper dari
Yugoslavia, yang pernah melarang Hans Kueng menyebarkan
ajarannya yang kontroversial bahwa Paus "bisa sesat."
Dalam keputusannya yang keluar Senin 28 Agustus lalu, para
penjaga benteng tradisi Katolik itu diangkat kembali seluruhnya
oleh Johannes Paulus I. Termasuk Sekneg Vatikan, Kardinal Jean
Villot dari Perancis, yang sejak Paulus ke-6 praktis menjadi
'orang No. 2' di Vatikan.
Keputusan ini dikhawatirkan akan menambah ketidakpuasan Gereja
Katolik Amerika Latin. Di benua yang dihuni separuh dari umat
Katolik sedunia, para waligereja sudah 10 tahun lamanya mencoba
menempuh haluan baru yang lebih "kerakyatan". Dasar pemikirannya
banyak bertitik-tolak dari 'theologi pembebasan' dari para
pemikir Katolik "kiri" seperti Ivan Illich dan Uskup Helder
Camara.
Inkwisisi
Orang-orang Kuria sendiri tak terlalu berkenan dengan gerakan
pembaharuan itu. Pastor Ivan Illich yang menetap di Mexico,
maupun Dom Helder Camara yang berkedudukan di Brazil Timur-Laut,
telah terkena larangan berbicara. Ivan Illich malah pernah mau
diinterogasi oleh Kongregasi Doktrin Iman, suatu badan baru yang
dibentuk oleh Paulus ke-6 setelah Mahkamah Inkwisisi
(Pengusutan) yang lama dibubarkan. Dari daftar pertanyaan yang
dibocorkan oleh Illich kepada pers di Roma tampak jelas
kecurigaan sementara pejabat Kuria bahwa pastor kelahiran Wina
Austria) itu berideologi Marxis-Leninis.
Sesungguhnya, Illich maupun Camara belum tentu Komunis. Namun
simpati mereka kepada almarhum Camillo Torres, itu 'pastor
merah' yang ditembak oleh tentara Colombia karena membantu para
gerilyawan, membuat sesepuh-sesepuh Kuria agak mengernyitkan
kening mereka.
Uskup Helder Camara malah terangterangan mengecam eksploitasi
ekonomi AS di Amerika Latin, sambil menghimbau
pemerintah-pemerintah Amerika Latin untuk mengakhiri pengucilan
terhadap Kuba. Dan bertolak dari berbagai keputusan Konsili
Vatikan II serta seabad ajaran sosial para paus, Illich dan
Camara tegas-tegas mendesak perlunya land-reform, pembentukan
Mahkamah Perburuhan, serta pendidikan politik bagi rakyat
jelata.
Tapi awal tahun ini Kardinal Gantin .lari Komisi Kepausan untuk
Keadilan dan Perdamaian menolak restunya bagi pendirian pusat
studi keadilan sosial oleh Konferensi Uskup Amerika Latin
(CELAM). Sikap Kuria ini, seperti biasanya, didukung oleh Dubes
Vatikan di Washington, Jean Jadot. Akibatnya Gereja Katolik AS
jadi ragu-ragu membantu membiayai pusat studi CELAM seperti
diberitakan National Catlolie Reporter, 24 Maret lalu.
Boleh jadi, diplomasi Vatikan terhadap negara-negara kaya
seperti AS - yang tak terlalu populer di Amerika Latin --
mau-tak-mau terpaksa agak lunak, sebab di situlah salah satu
sumber keuangan Vatikan yang terus-menerus defisit.
Namun apapun sebabnya bisakah Johannes Paulus I ini merangkum
pelbagai pendapat umat dan para imamnya, sambil memberi harapan
baru bagi kebeibasan berfikir?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini