Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Orang-orang tanpa pamrih

Pemenang hadiah kalpataru, waras subroto, 39, sebagai pengabdi lingkungan di banyuwangi, johannis boloy di jayawijaya dan beberapa pemenang lainnya sebagai perintis lingkungan. (ling)

9 Juni 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERKALI-kali menangkap pemburu Iiar dan pencuri kayu , Waras Soebroto, 39. juga menjaga keselamatan ratusan anak penyu. Tahun ini, pria bertubuh sedang, ayah empat putri, itu memenangkan Hadiah Kalpataru sebagai "pengabdi lingkungan". "Masa! Saya menang?" katanya dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca, pertama kali mendengar kabar kemenangannya itu, pertengahan minggu lalu. Tahun 1984 adalah tahun ke-13 Waras mengabdi untuk lingkungan hidup. Sebagai petani miskin yang sering diajak keluar masuk hutan oleh petugas Balai PPA (Perlindungan dan Pengawetan Alam) Candrian Segoro Anak, Banyuwangi, Jawa Timur, Waras mulai menyenangi pekerjaan itu sejak 1971. Setahun kemudian dia ditawari bekerja sukarela sebagai penjaga keamanan hutan. Tujuh tahun lamanya Waras mengawasi pemburu liar dan pencuri kayu, sama sekali tanpa gaji. Yang ada cuma uang "lelah" dari staf PPA sebesar Rp 3.000 sebulan. Rabu pekan ini Waras menerima Hadiah Kalpataru serta uang Rp 2,5 juta dari Presiden Soeharto di Istana Negara, Jakarta, bersama tujuh pemenang lainnya. Waras yang lahir di Sambirejo, Banyuwangi, bersama anak, istri, ibu, dan dua saudaranya selama ini hidup dari penghasilan setengah hektar sawah. Karena itu, sekarang dia berniat membeli rumah dan sawah dengan uang hadiah tersebut. "Anak saya yang di SD akan saya lanjutkan sekolahnya," katanya lugu. Dua anak tertuanya sama sekali tak pernah mengecap bangku pendidikan. Alasan Waras: tak ada biaya. Ketika bekerja sebagai tenaga sukarela di PPA Candrian Segoro Anak selama tujuh tahun - hingga 1979 - Waras hanya sempat menengok rumahnya dua hari dalam seminggu. Sisanya dia habiskan di hutan. Karena itu pula, tahun 1974, tubuhnya dihantam malaria. Antara 1979 dan 1980 Waras, yang cuma lulusan SD, bekerja sebagai pegawai harian di PPA Jawa Timur II. Penghasilannya mulai meningkat, Rp 20.000 sebulan. Setelah itu dia dipindahkan ke PPA Blambangan. Kemudian, awal 1982, Waras ditempatkan di PPA Sembulungan dengan honor Rp 25.000 sebulan. Tapi pertengahan tahun dia dipindahkan lagi ke PPA Purwo Timur. Di sinilah Waras berinisiatif mengembang biakkan penyu Belimbing yang kian langka itu. Dengan rajin, setiap hari Waras menelusuri pantai Purwo Timur, yang panjangnya 18 kilometer, dan selama enam bulan itu dia dapat menghimpunkan 1.399 telur penyu yang kemudian dibiakkannya di Pondok Tringgulasri. Yang menetas 952 butir, tapi anak penyu yang bertahan hidup cuma 856 ekor. Penyu Belimbing ini sekarang dilindungi oleh undang-undang. Kini Waras sudah ditarik lagi PPA Segoro Anak. Honornya meningkat menjadi Rp 35.000 sebulan. Setelah ia memenangkan Hadiah Kalpataru tahun ini, petugas PPA di tempatnya bekerja sekarang mengharapkan Waras diangkat menjadi pegawai negeri. Sebagai "pengabdi lingkungan", Waras punya kawan di Irian Jaya, Johannis Boloy dari Desa Asatipo, Wamena, Jayawijaya, yang juga menang tahun ini. Selain itu, ada dua "perintis lingkungan" lain: Adnan Sutan Masik dari Desa Kamang Hilir, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, dan San Munadi dari Desa Gunung Tiga, Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Untuk kategori "penyelamat lingkungan", tahun ini terpilih kelompok Pesantren Hidayatullah, Kalimantan Timur Kelompok Tani Desa Pongkei, Kampar, Riau, Kelompok Tani Desa Getasanyer, Magetan, Jawa Timur, dan Kelompok PKK Desa Kalibaja, Pekalongan, Jawa Tengah. Sementara Waras menyelamatkan penyu langka, San Munadi dari Desa Gunung Tiga, 54 kilometer di selatan Pemalang, yang luasnya cuma tiga kilometer persegi, mengubah desa menjadi rindang. Satu dasawarsa lampau, desa berpenduduk sekitar 2.200 jiwa itu tergolong daerah kritis. Jika kemarau datang, tumbuh-tumbuhan mati, penduduk diancam kelaparan. "Sekarang kami hidup berkecukupan," kata Gunanto, 32, carik (juru tulis desa) Gunung Tiga. Kalau bukan karena San Munadi, mungkin keadaan tak akan jadi begitu. San Munadi, 66, bukanlah orang luar biasa. Ayah dua anak, kakek enam cucu ini hanya belajar sampai di kelas III sekolah dasar pada zaman Belanda dulu. Tapi dia adalah satu dari warga kampung itu yang tahu sekali bahwa mata air Rati, tiga kilometer dari desanya. dapat dimanfaatkan untuk pengairan. Pikiran itu terlintas di kepalanya tahun 1973. Tahun itu juga dia menyerahkan uang Rp 300.000 kepada camat Belik, Raswadi, minta dibelikan pipa besi dan dibuatkan bak di mata air Rati itu. Dari bak itu,lewat pipa besi, San Munadi mengairi kebunnya dan sebagian kebun tetangganya. "Semua sawah dan tegalan di kampung ini dapatdibasahi oleh mata air Rati," kata Munadi kepada Slamet Subagyo dari TEMPO. Itulah awal kesuburan padi, jagung, kopi, cengkih, dan bahkan kelapa yang ditanam penduduk Desa Gunung Tiga. Padahal kebun-kebun itu dulunya ditumbuhi bambu belaka. Kemakmuran desa itu pun mulai terlihat. Dari hasil kebun, penduduk telah mengganti rumah-rumah kayu beratap lalang dengan bangunan-bangunan tembok. Bahkan sekarang, Desa Mendelem, tetangga Gunung Tiga, juga mendapatkan air Iewat pipa San Munadi tadi. Kesuburan seperti yang tampak di Gunung Tiga sekarang juga terlihat di Desa Kaliboja, Paninggaran, 61 kilometer di selatan Pekalongan.. Desa ini adalah kampung terpencil, di lereng yang tlngginya hampir satu kilometer di atas permukaan laut. Sembilan tahun silam, desa ini boleh dikatakan gundul. Tanahnya yang miring sangat mudah hanyut erosi. Keadaan inilah yang mendorong ketua PKK Kaliboja, Ny. Erilah, mengajak para wanita desa itu menanam pohon sengon laut. Pekerjaan itu semakin lancar setelah Ny. Erliah, 39, menjadi lurah Kaliboja, tahun 1976. Selain menjadi desa yang bersih, Kaliboja kini Juga subur. Jagung, makanan pokok, yang dulunya berbuah kecil-kecil, kata Ny. Erliah, sekarang bertambah subur berdampingan dengan pohon sengon. BEKAS guru lulusan SGB itu pun berkata, "Tujuan kami hanya mengabdi pada rakyat." Usaha PKK itu tahun ini menghasilkan Hadiah Kalpataru. Tapi seorang guru di desa itu berkata, "Itu bisa tercapai, karena kaum wanita di sini sanggup bekerja seperti laki-laki." Pesantren Hidayatullah, Kalimantan Timur, tahun ini muncul sebagai pemenang Kalpataru "penyelamat lingkungan", setelah dua kali menolak untuk diusulkan sebagai pemenang. Didirikan di bekas rawa seluas 80 hektar, kini pesantren yang menghimpunkan 400 santri itu menanam pohon akasia, pinus, dan buah-buahan di sekitar tempat mereka belajar. Di situ juga ada masjid dan kolam ikan, hasil kerja santri sendiri. "Kami di sini bukan hanya menuntut ilmu agama," kata Mansyur Salbun, 42, salah seorang pembina Pesantren Hidayatullah. Kelompok ini dijadikan contoh oleh masyarakat di sekitarnya. Baik Pesantren Hidayatullah, 28 kilometer di selatan Balikpapan, maupun Waras Soebroto dari Banyuwangi dan pemenang-pemenang lainnya adalah mereka yang terpilih di antara 110 calon tahun ini. "Syarat yang harus dipenuhi," kata Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim, "adalah perbuatan itu dilakukan mandiri, tidak diperintah, dan tanpa pamrih." Pemeliharaan lingkungan, katanya, bukan mode. Tapi, "Ibarat lari maraton, jangka panjang dan daya tahannya lama. Harus tumbuh dari masyarakat sendiri."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus