Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Hanae mori yang klasik

Pameran mode di hotel mandarin, karya perancang hanae mori yang mempunyai julukan ratu gaya klasik dari timur. (ils)

9 Juni 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FASHION itu tak ada, kecuali kalau dia banyak dipakai di jalan-jalan. Itu kata perancang pakalan terkenal Coco Channel dari Paris. Dia berkata begitu, ketika menyaksikan di kotanya terjadi demam baju potongan kedodoran gaya samurai, hasil rancangan Keno, Issey Miyake, Yamamoto (dengan merk Y), atau Rei Kansai. Itu terjadi sekitar lima tahun lalu, tapi demam itu masih berjalan sampai sekarang. Di Jakarta, seperti biasanya, demam pakaian kedodoran, yang melukiskan siluet si pemakai tanpa bentuk tubuh yang jelas, tampak juga akhir-akhir ini. Sehingga, di benak kebanyakan orang, desainer Jepang adalah busana dengan Iengan longgar gaya kimono, Ieher baju berbentuk V dengan ikat pinggang (besar) atau beberapa buah yang kecil-kecil di pusar atau Iebih ke bawah sedikit. Baju-baju ciptaan Keno yang demikian sangat digemari anak-anak muda di sini. Tetapi Hanae Mori yang dijuluki Ratu Gaya Klasik dari Timur bcrbeda. Namanya bisa disejajarkan dengan pcrancang busana sealiran, seperti Christian Dior, Pierre Cardin, atau Yves Saint Laurent. Bentuk-bentuk garis klasik itulah yang dipamerkan di Hotel Mandarin minggu lalu. Akibatnya, penggemar mode Jakarta banyak yang kecele. Hanae Mori bukan Keno atau perancang yang gemar mode kimono yang serba kcdodoran itu. Hanae Mori Iebih menekankan pada kualitas tinggi bahan baju yang dipadu dengan garis-garis sederhana. Lekuk-lekuk tubuh dimanfaatkan dengan aksentuasi khas Hanae Mori. Dengan ikat pinggang mirip obi (ikat pinggang Jepang), kerutan, atau draperi, tercipta suatu keanggunan tersendiri kepada pemakainya. Belum lagi busana yang disulam dengan mote-mote atau pallete, yang menjadikan baju itu selangit harganya. Pameran kali ini juga berbeda dengan pameran busana yang biasa dilakukan di sini Tanpa koreografer, pameran cukup dengan latar belakang musik saja. Cara para peragawati berjalan meliuk-liuk gaya lama bukan gaya "disko" yang tengah populer Semua itu tidak mengurang kesemarakan suasana.Justru penampilan baju-baju lebih tampak, karena pameran busana tidak dibawa ke suasana hiburan . "Tadinya, saya pun bersikap skeptis dan tidak mau nonton," ujar Peter Sie, yang hadir pada malam gala dinner dengan tiket seharga Rp 60.000 per orang. Peter Sie mengenal model Hanae Mori hanya Iewat foto-foto atau sketsa busananya di majalah-majalah. Ternyata, yang keluar adalah, "Bentuk bentuk Hollywood Glamour dengan selera yang Iebih chic," kata Peter. Koleksi musim panas 1984 yang dipamerkan itu sebagian besar memang sekadar pengulangan garis-garis desain yang pernah muncul pada tahun 1950-an. Tentu ada yang khas dari Hanae Mori: jahitannya yang halus - karena orang Jepang memang terkenal tidak menyukai jahitan kasar. Juga mutu tekstilnya ditambah lagi dengan keahlian Hanae Mori mendalami sifat tekstil. Ada lagi yang khas. Bukan hanya bagian punggung dijahit rangkap atau isi, tetapi guntingan lengannya khas Hanae Mori: sedikit melebihi pundak, kemudian garis lurus bagai kimono tanpa membuat tubuh si pemakai kedodoran . Singkatnya, rancangan disajikan dengan pembaruan aris-garis kuno dengan elegansi yang cukup menarik. Terutama dalam merancang bahan batik Iwan Tirta. Potongannya sederhana, tapi justru bisa menonjolkan motif-motif batik lebih eksotis. Misalnya motif Kembang Setaman atau Jawa Hokokai dari Pekalongan yang dipotong gaya kimono atau kaftan - dijual seharga US$ 1.500 tanpa celana panjang! Atau batik Parang Kencana asal Yogya yang diberi aksen ikat pinggang mirip obi tanpa merusakkan keindahan motif. "Untuk menggarap batik, dia lebih lihai dari rekannya dari Barat," kata Peter Sie. Rahasianya? Bukan saja Hanae Mori menguasai sifat tekstil, ia juga melapis batik sutera Iwan Tirta itu dengan kain lain yang serasi. Sehingga, dia akan jatuh dengan baik kalau dipakai. Lahir di Provinsi Shimane 58 tahun yanglalu, Hanae Mori kini banyak mondar mandir dari istana mode di Tokyo ke Paris. Pendesain seragam Japan's Airline ini memulai kariernya ketika masih berusia 24 tahun. Waktu itu, tahun 1950, dia mulai merancang kostum untuk film-film yang disutradarai Kurosawa dan Misogushi. Tamatan Tokyo's Women Christian University ini kemudian mencoba peruntungannya di Paris pada tahun 1962, setelah Kenzo berada di Paris enam tahun terlebih dahulu. Empat tahun setelah itu, ketika dia memulai bisnis pakaian jadi (ready to ear), cabang New York dibuka. Tahun 1977, istana modenya pindah ke tempat yang lebih terhormat: Avcnue Montaigne di Paris. Tahun berikutnya, hokinya lebih besar. Sambil merancang pakaian seragam pegawai negeri di RRC, dia bekerja sama dengan dua pabrik sutera di Shanghai. Lebih dari 50.000 kemeja Hanae Mori China memacu di pasaran pakaian jadi di Jepang dan Amerika Serikat. Kini, Harnae Mori merupakan sebuah kerajaan busana yang besar dengan pusat bisnis di Tokyo, Paris, dan New York. Januari lalu, pemerintah Prancis memberinya bintang kebudayaan Chevalier des Arts des Lettres. Bisnis pakaian jadinya yang terbesar ada di Amerika Serikat. Dibuka pula Hanae Mori Monsieur di Italia. Sedangkan untuk pasar busana tingginya "Bisnis terbaik ada di Tokyo dan Arab Saudi," ujar Henry Berghauer, presiden direktur Hanae Mori Paris, yang memimpin rombongan ke Jakarta. ROMBONGAN 14 orang ini, yang sembilan orang di antaranya peragawati, selanjutnya akan mengadakan pameran di Bangkok dan Singapura. "Kami coba-coba pasar di Jakarta," kata Berghauer, "sekadar promosi perkenalan." Dijual? "Ya," sahut Berghauer, "tapi harus dipesan di Paris." Dia mengatakan, untuk desain sederhana, harga Fr 28.000 sampai Ir 60.000 atau Rp 3 juta sampai Rp 7 juta. Konon, koleksi musim panas Hanae Mori di Jakarta ini sepi pembeli, meski itu bukan berarti tak ada yang menggemari. Berbeda dengan Eropa, Indonesia tidak mengenal musim untuk berbusana. Padahal, sebentar lagi musim panas di Eropa akan berakhir. "September-Oktober nanti sudah ada sale musim panas," ujar seorang nyonya yang mengunjungi pameran di Hotel Mandarin itu. Rupanya, dia akan menunggu sampai ada sale di Eropa saat harga akan Jatuh sekitar 40%. Menurut Henry Berghauer, kunjungan ke Jakarta juga karena kemungkinan dia akan menjual lisensi dan bekerja sama dengan pabrik tekstil lokal. "Tinggal pabrik tekstil Indonesia sanggup tidak melayani permintaan Hanae Mori," ujar Iwan Tirta, yang banyak "membantu" pameran ini. Tapi kerumitan pertama cukup dialami oleh si penyelenggara, Hotel Mandarin. Bukan saja waktu persiapan terlalu mendesak. Tapi kantor Bea & Cukai Jakarta minta garansi bank 150% dari nilai barang yang akan dipamerkan. Padahal, menurut Berghauer, nilai barang ada sekitar US 250 ribu alias Rp 250 juta. Caransi bank yang bcrbunga ini nyaris mcmbatalkan pameran. Untung, ada sehelai surat disposisi yang tiba dua hari sebelum pameran diselenggarakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus