Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mereka yang berjuang menjaga kelestarian sungai di berbagai daerah.
Ikhtiar komunitas sungai dari memungut sampah sampai edukasi pentingnya tak membuang sampah di kali.
Tak mudah mengubah kebiasaan masyarakat bantaran kali agar tak buang sampah sembarangan.
Sungai Pelang di Dusun Tanen, Hargobinangun, Pakem, Sleman, DI Yogyakarta, tampak meriah, Kamis, 16 Mei lalu. Sungai yang biasanya hening, kini ramai oleh puluhan siswa Sekolah Menengah Pertama Kolese Kanisius Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para remaja ini sedang memungut dan mengumpulkan sampah di sela bebatuan serta hamparan lumut di sungai yang menghilir ke Kali Gajahwong, Gunung Merapi, itu. Aksi bersih-bersih menjadi salah satu agenda darmawisata mereka. Sampah sudah beres, siswa bersama sejumlah warga lantas menyusun gunungan berisikan hasil bumi, seperti sayur dan buah, untuk diarak ke sungai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi tersebut bagian dari upacara merti umbul sebagai wujud syukur warga Sleman atas melimpahnya mata air Umbul Selorejo. Adapun merti umbul adalah bagian dari tradisi merti dusun, yang digelar untuk mensyukuri hasil panen pertanian.
Umbul Selorejo bukan cuma menjadi sumber air yang mengalir ke Sungai Pelang. Umbul tersebut menjadi sumber kehidupan warga di beberapa desa lantaran digunakan sebagai sumber air minum, mandi, dan kebutuhan pokok lainnya. "Merti umbul berlangsung setiap tahun sebagai wujud terima kasih kami kepada alam," kata Kepala Dusun Tanen Suhardi saat ditemui di Dusun Tanen, Kamis lalu.
Menariknya, Dusun Tanen merupakan bagian dari Forum Komunitas Sungai Sleman, sebuah wadah berbagai komunitas berbasis dusun yang bergerak di bidang konservasi dan pelestarian sungai. Penggiat Forum Komunitas Sungai Sleman, Ag. Irawan, mengatakan saat ini forum yang berdiri sejak 2018 itu sudah menaungi 34 komunitas yang tersebar di dusun-dusun di wilayah Sleman.
Kegiatan mereka antara lain membersihkan sungai dari sampah setiap pekan, menjalankan tradisi merti umbul dan merti kali, hingga memitigasi bencana secara periodik. Bagi mereka, sungai ibarat urat nadi bumi.
Seperti tubuh manusia, jika sungai yang menjadi nadi terganggu, kesehatan atau keseimbangan bumi ikut terganggu. Jika aliran sungai tidak sehat, aliran air yang melimpah dari hulu tidak akan bisa dinikmati warga yang berada di hilir.
Siswa Sekolah Menengah Pertama Kolese Kanisius Jakarta sedang membersihkan sampah di sela kegiatan darmawisata di Sungai Pelang di Dusun Tanen, Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, 16 Mei 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Irawan mengatakan Forum Komunitas Sungai Sleman bekerja menjaga 16 sungai dari total 72 sungai di Kabupaten Sleman. Sungai-sungai tersebut antara lain Sungai Bedok, Winongo, Boyong, Gajahwong, dan Kali Opak.
Selain membersihkan sungai dari sampah, forum tersebut berupaya mengubah cara pikir masyarakat yang salah dalam memperlakukan sungai. Selama ini tak sedikit masyarakat di bantaran yang menganggap sungai sebagai ruang publik tanpa aturan hingga bebas membuang sampah dan sebagainya.
Berkat edukasi dari komunitas-komunitas dusun, masyarakat mulai paham cara yang tepat memperlakukan sungai. Misalnya tidak lagi membuang sampah berupa jeroan ternak yang dipotong, seperti sapi, ke sungai. Sebelumnya, saat Idul Adha banyak warga yang asal melempar jeroan sapi sisa pemotongan ke sungai.
Sebagai gantinya, forum tersebut menggandeng Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sleman untuk mengolah jeroan sapi, seperti usus, menjadi pupuk kompos. Jeroan sapi memiliki kandungan protein yang tinggi sehingga berisiko merusak kualitas air. “Lima tahun lalu pencemaran sungai-sungai di Sleman tergolong berat,” ujar Irawan.
Selain mengolah sampah, anggota komunitas menyelamatkan keberadaan rumah-rumah ikan, yakni batu dan kerikil. Sungai-sungai di Sleman dihuni ikan endemik, misalnya wader dan udang jaran. Konservasi dan pelestarian sungai itu, kata Irawan, setidaknya membawa perubahan pada kualitas air sungai di sejumlah titik.
Komunitas ini mendata empat titik di Kali Kuning yang memiliki kualitas air kategori pencemaran skala sedang. Ada satu titik mata air di sungai tersebut yang jernih dan tidak terkontaminasi pencemar.
Mereka juga mengidentifikasi pencemaran sungai dengan cara menyusuri 1.000 titik sumber pencemaran air pada 2021. Temuan mereka menunjukkan berbagai sumber pencemar, yakni sampah domestik, bakteri E. coli di mata air yang datang dari pupuk organik untuk lahan pertanian yang diolah secara tak sempurna, limbah dari pasar, bisnis cuci sepeda motor, dan usaha cuci baju.
Forum Komunitas Sungai Sleman bersuara menolak penambangan pasir di kawasan Gunung Merapi yang makin masif. Menurut mereka, aktivitas tersebut makin membahayakan kualitas air sungai lantaran oli dari alat berat para penambang dengan mudah meracuni sungai.
Aktivitas komunitas Cagar Urip menanam pohon di sekitar mata air di Kecamatan Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta. Dok. Cagar Urip
Jika di Sleman ada Forum Komunitas Sungai Sleman, di Kabupaten Kulon Progo terdapat komunitas Cagar Urip yang juga bergerak dalam konservasi mata air. Komunitas yang beranggotakan warga Kampung Kecamatan Samigaluh sejak 2021 itu berfokus pada penanaman pohon di sekitar mata air.
Anggota komunitas ini rutin menelusuri mata air, baik yang hidup maupun yang berhenti mengalir di dusun-dusun. Mereka mendeteksi vegetasi pendukung mata air dan memeriksa tingkat keasaman atau Ph tanah dengan menggunakan alat serta metode yang sederhana.
Salah satunya dengan mengidentifikasi pepohonan yang berada di sekitar mata air yang hilang ataupun yang masih hidup. Dari data yang mereka kumpulkan itu, anggota komunitas kemudian menanam pohon pada lahan di sekitar mata air.
Sayangnya kegiatan mereka tidak selalu berjalan mulus. Ada juga sebagian warga yang berkeberatan lahannya ditanami pohon. “Pendekatan kami ala dusun dan sekreatif mungkin. Tujuannya meruwat sumber kehidupan,” kata penggiat komunitas Cagar Urip, Purnomo Widyo Nugroho.
Pendekatan ala dusun yang dimaksudkan adalah jagongan atau berbincang dengan warga tentang pentingnya menanam pohon sebagai pelindung mata air. Sejak 2021, anggota komunitas ini mulai mengidentifikasi vegetasi pendukung mata air dan menanam pohon di dua desa di Kecamatan Samigaluh, yakni Desa Gerbosari serta Pagerharjo. Pendataan dan penanaman pohon mereka lakukan saban Jumat.
Jenis pohon yang mereka tanam berbasis bebatuan induk penyusun mata air dan ketinggian. Setiap mata air minimal ditanami tiga jenis pohon yang akarnya menyimpan air dan memberikan manfaat lainnya. Contohnya pohon beringin, gayam, pucung, kluwih, bendo, dan sukun. Pohon beringin dengan cengkeraman akar yang kuat mampu menyimpan air dengan baik. Pohon bendo membantu pemurnian air dan gayam punya kandungan mineral yang tinggi.
Komunitas yang beranggotakan 20 orang ini juga tergabung dalam grup WhatsApp dan berjejaring dengan individu-individu ataupun komunitas yang peduli terhadap konservasi air. Mereka rutin menggelar diskusi bertema ekologi dan berkumpul setiap bulan untuk berefleksi serta mengevaluasi aktivitas mereka.
Purnomo menyebutkan jaringan komunitas dari luar Yogyakarta punya andil membantu gerakan mereka. Mereka banyak memberikan bibit untuk ditanam di dekat mata air. Cagar Urip berkawan dengan berbagai komunitas konservasi dari berbagai kota, di antaranya Kediri, Jawa Timur; Magelang dan Purworejo, Jawa Tengah; Kalimantan; serta Sumatera.
Mereka juga punya agenda yang diberi nama saba wanua, yakni mengunjungi tuk atau mata air. Hingga kini sudah ada 100 mata air yang mereka susuri selama musim hujan dan kemarau. Mereka menemukan sebagian pohon berusia tua yang sengaja ditebang warga. Dampaknya, debit air di mata air tersebut berkurang.
Kecamatan Samigaluh yang berada di kawasan bukit Menoreh juga mengalami perubahan besar-besaran akibat pertanian monokultur dan pembangunan proyek pariwisata yang eksploitatif dalam beberapa tahun terakhir. “Debit air menurun drastis. Ikan-ikan besar di sungai hanya jadi kisah romantis,” tutur dia.
Usaha mereka menghijaukan mata air membuat sebagian masyarakat di sejumlah dusun tergerak melakukan hal serupa. Contohnya warga Dusun Clumprit di Samigaluh yang membuat gerakan bersama menanam pohon. “Kami mengandalkan kekuatan lokal, berjejaring, dan belajar dari sumber lokal,” ujar Purnomo.
Salah satu koordinator Komunitas Peduli Ciliwung, Suparno Jumar, menunjukan tumpukan sampah yang mencemari aliran sungai. TEMPO/M. Siddik Permana
Sejauh 590 kilometer ke arah barat Kulon Progo, terdapat Komunitas Peduli Ciliwung yang juga punya semangat besar memperjuangkan sungai mereka. Bukan rahasia lagi bahwa Ciliwung masuk ke daftar sungai yang tercemar berat di Indonesia.
Salah satu aktivis Komunitas Peduli Ciliwung, Suparno Jumar, mengatakan sejak dibentuk pada Maret 2009, mereka rajin menggelar aksi bersih-bersih sungai. Suparno sudah tak ingat lagi berapa kali ia dan rekan-rekannya mengangkat berkarung-karung sampah dari dalam Sungai Ciliwung yang mengalir di wilayah Kota Bogor. "Sampai saat ini kegiatan rutin KPC Bogor adalah memulung sampah saban Sabtu mulai pukul 08.00 hingga 11.00 WIB," kata Suparno, Jumat lalu.
Selain memulung sampah, edukasi menjadi senjata Suparno dan kawan-kawan. Namun kegiatan ini terasa sangat berat lantaran tak mudah mengubah perilaku masyarakat di bantaran Ciliwung yang selama ini sudah terbiasa membuang sampah dalam bentuk apa pun ke aliran Ciliwung.
Tak jarang, Suparno dan kawan-kawan harus bersitegang dengan warga yang tak terima saat diimbau agar tidak membuang sampah ke Sungai Ciliwung lagi. Tak mau bekerja sendiri, Suparno dan rekan-rekan kerap mengajak berbagai kalangan masyarakat untuk ikut turun ke Ciliwung.
Suparno kaget bukan main lantaran cukup banyak masyarakat yang bersedia ikut basah-basahan di sungai untuk memanen sampah. "Ternyata ini menjadi kegiatan yang menyenangkan dan menarik warga sekitar," kata dia.
Suparno makin bangga ketika peserta bersih-bersih Ciliwung juga diikuti aktivis lingkungan dari kota lain hingga luar negeri. Menurut dia, kepedulian ini mampu meningkatkan minat dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian Ciliwung.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Shinta Maharani dari Yogyakarta dan M. Sidik Permana dari Bogor berkontribusi dalam penulisan artikel ini.