Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Masyarakat adat Dalem Tamblingan terganggu oleh pembangunan fasilitas wisata di kawasan Hutan Mertajati.
Pelibatan masyarakat dalam konservasi kawasan hutan sudah menjadi keharusan.
Upaya konservasi lingkungan tidak bisa dipisahkan dari masyarakat lokal.
PERKAMPUNGAN itu dihuni oleh masyarakat adat Dalem Tamblingan. Lokasinya berada di lereng sebelah utara Gunung Lesung yang masuk wilayah Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali. Pemandangan di tempat itu terasa eksotis. Pegunungan dan perairan seakan-akan menyatu, dihiasi bangunan pura yang menyebar di sekitar danau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut masyarakat adat Tamblingan, danau merupakan kawasan suci. Begitu juga dengan hutan yang berada di sekeliling danau. “Filosofi dasar kami, memuliakan air dan menjaga harmoni dengan alam,” kata pemimpin masyarakat adat Tamblingan, Putu Ardana, 20 April 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Danau Tamblingan memiliki luas 160 hektare. Danau itu dikelilingi pepohonan yang lebat dan kawasan ini disebut dengan Alas (Hutan) Mertajati. Menurut Putu, masyarakat Tamblingan yakin air dan hutan merupakan satu kesatuan yang menjadi sumber kehidupan. Keyakinan ini sejalan dengan Piagem Gama Tirta atau tata cara memuliakan air.
Menurut Putu, masyarakat adat Dalem Tamblingan sudah berabad-abad tinggal di kawasan itu. Prasasti tertua yang menyebutkan eksistensi masyarakat adat ini adalah Prasasti Ugrasena bertarikh 922 M. Pada abad ke-14, leluhur warga Tamblingan sudah menjadikan hutan dan danau sebagai kawasan suci. “Pesannya, kawasan suci ini tidak boleh diutak-atik,” kata dia. “Untuk mengambil sumber kehidupan, hanya boleh mengambil secukupnya.”
Danau Tamblingan di kawasan hutan suci masyarakat Adat Dalem Tamblingan, di Buleleng, Bali. Dok. Werdiasa
Salah satu upaya masyarakat Tamblingan menjaga hutan adalah membiarkan hutan tumbuh dengan sendirinya. Tidak boleh ada upaya untuk menanam tanaman, apalagi bukan pohon asli.
Setelah Indonesia lepas dari tangan penjajah, pemerintah menetapkan Hutan Mertajati menjadi milik negara. Masyarakat menyambut baik keputusan itu karena beranggapan bahwa negara akan melindungi hutan mereka. Namun kepemilikan oleh negara ini belakangan membuat masyarakat adat tidak bisa berbuat apa-apa ketika terjadi penebangan pohon secara diam-diam. “Kami hanya bisa melaporkan ke polisi hutan,” kata Putu.
Bahkan, kata Putu, kondisi Hutan Mertajati semakin parah setelah pemerintah menetapkan kawasan itu sebagai Taman Wisata Alam pada 4 April 1996. Kawasan hutan sedikit demi sedikit rusak dan terdegradasi. Flora endemis banyak yang hilang. Misalnya saja anggrek Vanda tricolor Lindl. var. Pallida yang sudah sulit ditemukan.
Pembangunan infrastruktur pariwisata di tempat itu turut memberi andil terhadap kerusakan hutan. Investor dengan leluasa membangun berbagai fasilitas karena mengantongi izin dari pemerintah pusat. Bagi investor, tradisi turun-temurun di Tamblingan merupakan tontonan yang menarik bagi wisatawan. “Kami sakit mendengarnya. Kami melakukan tradisi, kok, jadi tontonan. Kami dianggap sebagai topeng monyet,” ujar Putu.
Putu berharap kawasan Hutan Mertajati segera dikembalikan menjadi kawasan hutan adat. Masyarakat sudah mengajukan permohonan sejak Januari 2021 ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun, sampai saat ini, permohonan itu belum ada tindak lanjutnya.
Warga Desa Kubung menanam bibit pohon buah di lahan mereka di Lemandau, Kalimantan Tengah, Januari 2023. Dok. FNPF/Reggaenius Karya Meladi
Desa Penyangga Taman Nasional
Dalam versi lain, merawat hutan juga dilakukan warga Desa Kubung, Kecamatan Delang, Kabupaten Lemandau, Kalimantan Tengah. Dimotori oleh Friends of the National Parks Foundation (FNPF), masyarakat menanam pohon buah di area batas antara permukiman dan kawasan Taman Nasional Tanjung Puting. Tujuannya agar masyarakat memiliki pendapatan dari buah-buahan sehingga hutan tetap terjaga.
Pelestarian hutan yang melibatkan FNPF berjalan sejak 1990-an. Awalnya, FNPF hadir di tempat itu untuk menyiapkan makanan dan obat-obatan bagi orang utan. Belakangan, pengelola Taman Nasional Tanjung Puting meminta mereka merestorasi 70 persen lahan kawasan hutan yang terdegradasi.
Adapun luas wilayah taman nasional itu adalah 415.040 hektare, yang terdiri atas Suaka Margasatwa Tanjung Puting seluas 300.040 hektare dan hutan produksi seluas 90 ribu hektare (kawasan eks hak pengusahaan hutan). Dalam melakukan restorasi itu, FNPF merekrut masyarakat sekitar. Mereka diminta menanam tanaman hutan demi menjaga kawasan hutan. “Ini juga untuk mengurangi maraknya warga yang mengubah lahan menjadi kebun sawit,” kata koordinator Desa Kubung FNPF, Reggaenius Karya Meladi.
Baca: Terancam Tergusur dari Tanah Leluhur
Manajer FNPF Kalimantan, Basuki Budi Santoso, mengatakan program yang mereka jalankan ini bertujuan melibatkan masyarakat dalam merawat hutan. Apalagi, belakangan, banyak warga yang menjual atau mengubah lahannya menjadi perkebunan sawit. FNPF kemudian mengusulkan agar warga menanam 10 persen lahannya untuk pohon buah. “Dengan adanya tanaman itu, diharapkan akan menjadi hutan pohon buah. Jadi, ada tutupan hutan,” kata Basuki.
Warga Desa Kubung membuka lahan untuk menanam pohon buah di Lemandau, Kalimantan Tengah, Januari 2023. Dok. FNPF/Reggaenius Karya Meladi
Namun kerja sama antara FNPF dan pengelola Taman Nasional Tanjung Puting dihentikan pada 2022. Basuki tidak mengetahui alasannya. Hanya, beberapa bulan sebelum kerja sama itu diputus, ada beberapa kejadian yang dianggap tidak menyenangkan.
Menurut Basuki, metode restorasi dan konservasi seharusnya mudah, murah, dan efektif. Tujuannya agar masyarakat tidak terbebani dalam melakukan restorasi. Tapi, beberapa bulan terakhir, metode itu dipermasalahkan. Pengelola mewajibkan warga menggunakan ajir dan pupuk yang telah ditentukan. “Itu kan mempersulit masyarakat karena harus keluar biaya untuk ajir dan pupuk,” katanya.
Peneliti dari Auriga Nusantara, Rizki Is Hardianto, mengatakan pelibatan masyarakat dalam merestorasi kawasan hutan sudah menjadi kebutuhan. Tanpa pelibatan masyarakat, restorasi diyakini tidak akan berhasil. “Masyarakat berdedikasi tinggi untuk menjaga hutan mereka,” katanya. “Pelibatan masyarakat juga mengurangi kerusakan lingkungan.”
Rizki mencontohkan proyek restorasi Rawa Kadut di kawasan Taman Nasional Way Kambas, Kecamatan Labuhan Ratu, Lampung Timur. Hutan di kawasan itu terdegradasi karena sering terjadi kebakaran hutan, terutama pada 1990-2014.
Dalam program restorasi, masyarakat dilibatkan untuk menanam pohon tahan api, seperti mentru. Kebakaran pun tidak pernah terjadi lagi karena masyarakat berperan sebagai penjaga hutan. “Jadi, kalau ada titik api, bisa cepat diketahui dan tim pemadam segera datang untuk mengatasi,” katanya. “Deteksi dini itu menentukan kesuksesan restorasi.”
Petugas memadamkan kebakaran di Taman Nasional Way Kambas, Labuhan Ratu, Lampung Timur. Dok. Auriga
Pelibatan Masyarakat Adat dan Lokal dalam Konservasi
Program Manager Working Group ICCAs Indonesia, Cindy Julianty, mengatakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem memang belum memberikan ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam penyelenggaraan konservasi. Regulasi tersebut masih menggunakan pendekatan ekosentris. “Seperti memaksakan satu disiplin ilmu tertentu dalam pendekatan scientific forestry,” katanya. “Tidak interdisipliner, masih berwatak kolonial.”
Undang-undang itu, kata Cindy, belum memasukkan manusia sebagai bagian dalam dimensi konservasi. Jadi, manusia dan konservasi seperti menjadi dua hal yang berbeda. Padahal manusia juga merupakan bagian dari konservasi itu. “Ini yang membuat banyak konflik berkepanjangan,” kata Cindy.
Konflik muncul karena wilayah adat sering dijadikan area konservasi tanpa ada persetujuan dari masyarakat. Dengan demikian, masyarakat adat tidak bisa mengakses sumber daya keanekaragaman hayati di kawasan itu. “Padahal wilayah yang dijadikan konservasi bukan tanah kosong, melainkan sudah ada orang sebelum ditetapkan (sebagai kawasan konservasi),” katanya. “Penetapan itu tidak ada persetujuan awal dari masyarakat adat atau komunitas lokal.”
Cindy menyambut baik pembahasan Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (RUU KSDAHE) yang berjalan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan sebelum RUU itu disahkan. Di antaranya tentang adanya pelibatan masyarakat adat dan lokal dalam setiap pengambilan keputusan yang berhubungan dengan penyelenggaraan konservasi. Keputusan itu harus berbasis pada partisipasi penuh, setara, efektif, responsif gender, serta akses adil.
Masyarakat Adat Dalem Tamblingan melakukan salah satu rangkaian ritual Lilitan Karya, 'Mekiis', di Buleleng, Bali. Dok. Putu Ardana
Selain itu, konsep konservasi harus disesuaikan dengan tradisi masyarakat setempat yang sudah berjalan secara turun-temurun. Sebab, masing-masing daerah memiliki tradisi berbeda. Misalnya di kawasan yang dihuni oleh masyarakat adat Dalem Tamblingan. Masyarakat di sana memahami konservasi sebagai tanggung jawab sosial dan spiritual. “Jadi, konservasi adalah upaya untuk menyampaikan rasa syukur itu karena mendapatkan sumber daya dari alam untuk bertahan hidup,” kata Cindy.
Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Muhammad Arman, berpendapat RUU KSDAHE belum mengakomodasi hak masyarakat adat untuk berpartisipasi secara penuh dalam law-making process ataupun dalam penyelenggaraan konservasi. “RUU ini justru berpotensi memperluas wilayah konflik dengan memasukkan wilayah konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya meliputi kawasan hutan (hutan lindung, hutan produksi, dan hutan adat) dan bukan kawasan hutan,” katanya.
Anggota Komisi IV DPR, Yohanis Fransiskus Lema, menegaskan, semangat dasar konservasi yang dimaksudkan dalam RUU KSDAHE adalah konservasi berbasis komunitas. Pihaknya setuju pelibatan masyarakat tercantum secara eksplisit dalam undang-undang tersebut. “Kalau bicara komunitas, ada masyarakat lokal dan masyarakat adat,” kata Yohanis.
Untuk itu, tanggung jawab harus dibagi-bagi. Perlu adanya skema ihwal pengaturan distribusi kewenangan, baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat lokal. Kewenangan yang ada tidak bisa dimonopoli, termasuk menyangkut bagaimana mendamaikan antara kepentingan ekonomi dan ekologis agar kepentingan konservasi bisa berjalan.
HENDRIK YAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo