Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Peringatan tanah kritis

Menteri Kehutanan Soedjarwo meresmikan monumen tanah kritis di desa sukosari, kec. Jumantoro, kab. Karanganyar, Ja-Teng. Tanah dibiarkan tandus & kering, warnanya kuning mencoklat pada lokasi 2 hektar.

5 Maret 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERINGATAN itu kadang-kadang perlu seperti juga saling mengingatkan. Maka, tanah mirip bukit lebih dari 1.000 m2, dan tebing seluas sekitar 500 m2, itu dibiarkan gersang. Warnanya kuning mencokelat. Tandus dan kering. "Orang biar melihat, kalau tanah tidak dikelola dengan baik, jadinya seperti itu," ujar Soedjarwo, Menteri Kehutanan. Itulah monumen tanah kritis, yang pekan lalu diresmikan Soedjarwo, di Desa Sukosari, Kecamatan Jumantoro, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Monumen? Ya, dan ini konon pertama yang ada di Indonesia. "Monumen ini tak dibikin, tak dibeli, tak dicarikan seniman untuk menciptakannya," tambah Soedjarwo. Tanah jelek di lereng Gunung Lawu itu sisa tanah kritis sejak lebih dari 17 tahun silam. Erosilah yang menggundulinya. Pepohonan yang dibabat penyebabnya. Dan masyarakatlah pelakunya. Pada lokasi 2 hektar itu, pemandangan monumen tersebut dilengkapi dengan gambaran penanggulangannya. Itu berupa bangunan dam pengendali, terasering model bangku, saluran pembuangan air yang berparit-parit, dan arboratum kumpulan berbagai tanaman kayu-kayuan. Nah, umpama ada yang lelah melihat-lihat, di situ disediakan bangunan joglo, untuk istirahat. Ada pula bangunan tanpa atap, seperti teater. arena kuno Yunani. Untuk penjaga monumen dibuat pula rumah Jaganya. Tak lupa: ada sumur plus WC-nya. Monumen itu, menurut Menteri Kehutanan, bisa menjadi ajang penyuluhan tentang bahaya erosi, sekahgus pencegahannya. Sang monumen, harap dimaklumi juga, itu menjadi cermin kecerobohan. Di situ terkandung gambaran nyata untuk generasi sekarang dan mendatang. Tanpa konservasi tanah yang baik, kata Soedjarwo, tanah subur bakal berubah kritis seperti tampang monumen itu. Sedangkan tanah di Jumantoro, selain yang dijadikan monumen, dulunya memang kntls. Tiap tahun lapisan tanah setebal 2,5 cm terkupas dan dihanyutkan air. Namun, setelah dikonservasi dan direhabilitasi, sekarang sudah subur. "Ini bukti sejarah bahwa kita punya prestasi merehabilitasi tanah-tanah kritis di daerah ini," tambah Menteri. Buktinya, sebagian besar lahan''di daerah itu, dari sekitar 1.100 hektar, sudah pulih kesuburannya. Tinggal sekitar 16 hektar lagi yang masih parah. Lahan-lahan miring di lereng Gunung Lawu itu sekarang tampak rapi teraseringnya. Sejak 1969, memang, pemerintah dengan bantuan FAO dan UNDP telah melakukan rehabilitasi dan konservasi tanah di sana. Berhasil. "Sesudah tanah subur, saya bisa mencukupi kebutuhan anak istri," kata Sugeng, 52 tahun. Ia petani yang kini tenang menggarap sawahnya. Jagung, padi, kacang, semua itu tumbuh subur mencukupi kebutuhan masyarakat di Jumantoro. Barangkali para petani di sana benar-benar sadar, mau tak mau harus mempertahankan lahan, yang makin lama rasanya makin habis. Gaya nomaden, berladang pindah-pindah, tempatnya bukan di Pulau Jawa. Tapi, perusakan hutan di Jawa, sayang, masih berlangsung juga. Tahun lalu misalnya. Hasil operasi Tim Khusus Kehutanan mampu mengumpulkan barang bukti berupa kayu bulat hampir 765 ribu m3, kayu olahan sekitar 57 ribu m3, belum termasuk barang bukti nonkayu termasuk rotan--yang jumlahnya hampir 16 ribu ton. Maklum, harga kayu itu kian hari meningkat. Dan, salah satu kerja tanpa modal, dan tanpa pikiran, adalah menebangi kayu itu. Sedangkan penjualan kayu asal luar Jawa, jangan heran kalau yang masuk di Jawa cuma tercatat antara 20% dan 40% saja. Memang, pembabatan hutan lebih leluasa di luar Jawa, seperti Kalimantan yang masih banyak hutannya itu. "Penyelundupan juga sering terjadi di perbatasan negara tetangga," kata Inspektur Jenderal Departemen Kehutanan, R.P. Hendri Santoso. Akibatnya, maka selalu ada berita tentang banjir, tanah longsor, masih sulit dihindari. Lapisan tanah bagian atas (top soil) yang subur terhanyut. Tinggal tanah merah kecokelat-cokelatan yang tersisa, dan tidak mudah tanaman palawija, misalnya, tumbuh memberi hasil memuaskan petani. Lahan jadi kritis. Misi monumen di Jumantoro itu sebagai peringatan terhadap kondisi kerusakan lahan di Indonesia, yang menuntut kesadaran masyarakat - termasuk para pengusaha yang langsung atau tidak--memodali para penebang liar ltu. Juga dlharapkan tumbuhnya keinginan menjaga kelestarian daya guna lahan, dan memperbaiki tanah-tanah rusak. Sedangkan monumen lahan kritis itu sendiri, sesuai dengan sifat kritisnya, dipertahankan tetap kritis - walau sebenarnya berlawanan dengan perjuangan konservasi dan rehabilitasi lahan. Jadilah, mcmpertahankan lahan kritis sebagai monumen? Untuk mempertahankan monumen yang dibikin Pemda Tingkat II Karanganyar dibantu Universitas Sebeias Maret di Solo, itu Departemen Kehutanan menjalin kerja sama dengan ahli-ahli geologi dari Fakultas Pertanian UGM di Yogyakarta. Pada pengawetan lahan kritis tersebut, menurut Afandy Mangkudikoro, yang mewakili Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, sudah disemprotkan Gat kimia "vionil alkohol" dua bulan lalu. Tapi belum memuaskan. Sebab. Lahan kritis sebagai monumen rupanya warnanya berubah dari merah bata kekuningan menjadi cokelat. Lapisan "vionil alkohol" malah mengelupas, permukaan tanah tampak berlak karena mengkerut, dan pecah-pecah. Sampai kini upaya melestarikan tanah kritis sebagai monumen itu terus diteliti. Tetapi untuk sebuah monumen itu telah menghabiskan sekitar Rp 80 juta--kendati yang "kritis" itu tidak dibuat-buat. Di antara biaya itu dipakai untuk membebaskan 2 hektar tanah lokasi monumen. Menurut Soedjanvo, nanti, tiap provinsi diharapkan memiliki monumen seperti di Karanganyar itu. Sementara, jika petani setempat gembira, bukanlah lantaran diresmikannya sang monumen. Melainkan, tanah yang mereka garap sudah subur. "Kita telah hidup dengan baik, cuma listrik belum juga masuk ke desa kami," ujar Slamet, petani yang lebih mendambakan penerangan malam itu. Tapi ihwal listrik ini, memang belum ada monumennya. Suhardjo Hs., Kastoyo Ramelan (Ja-Teng)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus