Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pidato kenegaraan pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada Jumat, 16 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada pidato kenegaraan terakhir tersebut Jokowi mengklaim selama 10 tahun pemerintahannya telah mencapai sejumlah keberhasilan, seperti pembangunan merata dan berkeadilan yang ‘indonesiasentris’, peningkatan pertumbuhan ekonomi, ketahanan pada perubahan iklim, ekonomi hijau dan transisi energi berkeadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi juga menyebut keberhasilan pemerintah menyusun kebijakan strategis seperti Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang IKN, Undang-Undang DKJ, dan Undang-Undang ITE.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai klaim keberhasilan tersebut kontradiktif dengan kondisi faktual yang menunjukkan bahwa pembangunan era Jokowi adalah pembangunan berwatak kolonial.
Kepala Divisi Kampanye Walhi Fanny Tri Jambore menyebutkan beberapa klaim keberhasilan seperti pembangunan adil, merata dan indonesiasentris justru menyebabkan kerusakan lingkungan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) melalui misalnya Proyek Strategis Nasional (PSN).
"Kebijakan strategis yang disebut sebagai modal transisi pemerintahan seperti UU Cipta Kerja dan UU IKN justru menyebabkan perampasan ruang dan membebani APBN. Sementara UU ITE menjadi alat pembungkaman dan pemberangusan kebebasan berekspresi dan berpendapat," kata Fanny kepada Tempo, Jumat, 16 Agustus 2024.
Walhi memberikan catatan kritis pada beberapa bagian kunci pidato kenegaraan Presiden Jokowi. Menurut Fanny, pembangunan adil, merata dan indonesiasentris tidak benar-benar terjadi. Pembangunan nasional di era Jokowi adalah pembangunan yang terpusat (Jakartasentris) dalam proses pengambilan keputusan (top-down approach).
"Melalui ratusan PSN, pemerintah mendorong kerusakan lingkungan, memicu letupan konflik agraria yang merata ke berbagai wilayah lain, mulai dari proyek Rempang Eco-City di Kepulauan Riau, pertambangan dan kawasan industri nikel di Pulau Halmahera, Maluku Utara, Food Estate di Kalimantan Tengah, hingga Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Labuan Bajo di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur," ucap dia.
Fanny menyebutkan pembangunan dari desa, pinggiran, dan terluar dalam praktiknya adalah perampasan tanah untuk PSN dan Bank Tanah, perluasan industri ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan dari Sumatera sampai Tanah Papua.
Menurut dia, pembangunan dengan dalih pemerataan infrastruktur ini juga dinikmati oleh segelintir elit dan korporasi-korporasi besar, bukan oleh rakyat biasa.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat selama tahun 2020-2023 terdapat 115 konflik agraria yang disebabkan oleh PSN. "Beberapa PSN seperti proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) dan IKN justru menambah utang dan menguras APBN," ungkapnya.
Fanny juga mengkritik pertumbuhan ekonomi nasional rerata sebesar 5 persen, Papua dan Maluku sebesar 6 persen dan Maluku Utara sebesar 20 persen. Pertumbuhan ekonomi ini tidak dinikmati oleh rakyat biasa dan ditebus dengan kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM yang sama masif.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 10 tahun terakhir belum mampu mengatasi angka ketimpangan ekonomi antara 1 persen penduduk terkaya dan 99 persen penduduk lainnya.
World Inequality Database menyebut kelompok penduduk terkaya mengalami peningkatan kekayaan berlipat, sementara kelompok penduduk lainnya stagnan. Beberapa tahun terakhir, menurut Fanny, masyarakat kelas menengah-bawah makin rentan menjadi miskin karena peningkatan harga kebutuhan pokok yang menyebabkan penurunan daya beli. "Sementara pemerintah justru mendorong peningkatan pendapatan negara melalui kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)."
Situasi ekonomi Indonesia juga dibayangi dengan peningkatan jumlah utang yang per April 2024 mencapai Rp 8.338 triliun dengan Rp 800 triliun di antaranya akan jatuh tempo pada 2025. Pertumbuhan ekonomi Papua, Maluku, dan Maluku Utara yang ‘meroket’ dibayar dengan eksploitasi sumber daya alam dan mengorbankan keselamatan rakyat.
Secara khusus di Maluku Utara misalnya, Walhi Maluku Utara mencatat dalam 10 tahun terakhir terjadi deforestasi seluas 26.100 hektare akibat pertambangan.
Fanny menyebutkan pencemaran lingkungan, kerusakan sumber penghidupan rakyat dan bencana ekologis dengan kerugian sangat besar harus ditanggung oleh warga. "Keuntungan ekonomi dari industri-industri ekstraktif ini juga dinikmati segelintir orang, sementara kerugian ekonomi, sosial dan lingkungan ditanggung oleh rakyat."