Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Data dari Uni Eropa menunjukkan suhu udara di wilayah Arktik Siberia melonjak hingga mencapai rekor tertinggi pada Juni lalu. Gelombang panas memicu kebakaran hutan terparah di kawasan yang termasuk kutub utara itu sepanjang sejarah.
Uni Eropa melalui Copernicus Climate Change Service mencatat temperatur rata-rata di kawasan itu lebih dari lima derajat Celsius di atas normal. Atau, satu derajat lebih tinggi dibandingkan Juni 2018 dan 2019. Suhu hangat yang tak biasa di wilayah Siberia itu disebut telah menjadi bagian dari tren “warning cry”.
Organisasi Meteorologi Dunia juga tengah berupaya untuk mengkonfirmasi laporan yang menyebut suhu udara di Siberia sempat melampaui 38 derajat Celsius. Suhu udara setinggi ini di Indonesia pun sangat terasa panas.
“Yang mengkhawatirkan adalah bahwa Arktik menghangat lebih cepat dibandingkan wilayah dunia lainnya,” kata Direktur Copernicus, Carlo Buontempo.
Menurutnya, suhu lebih panas yang tak biasa itu menyedot kelembapan wilayah hutan dan tundra di bumi bagian utara, sehingga meningkatkan kebakaran hutan yang meluas sejak pertengahan Juni. Badan Kehutanan Rusia menyebutkan bahwa per Senin lalu terdapat 246 titik kebakaran hutan yang melingkupi 140.073 hektare lahan, dan situasi darurat sudah diumumkan di tujuh area.
Data Copernicus juga telah memberi peringatan bahwa kebakaran kali ini telah melampaui catatan jumlah titik api pada Juni tahun lalu. Emisi karbon dioksida akibat kebakaran hutan di kawasan itu diperkirakan mencapai 59 mega ton, meningkat dibandingkan tahun lalu sebesar 53 mega ton
“Temperatur yang lebih tinggi disertai permukaan yang kering merupakan kondisi ideal bagi api untuk menyulut dan terus menyala dalam waktu yang lama di area yang luas,” kata ilmuwan senior Copernicus, Mark Parrington.
Sumber: Reuters
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini