Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Rindu Codot Juragan Iding

Keberadaan kelelawar kian terancam. Hilangnya beberapa spesies menyebabkan paceklik beberapa jenis buah.

20 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TATAPAN pria paruh baya itu kosong. Melamun, dia memikirkan kebun dua hektarenya di Kampung Cengal RT 5 RW 6, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Bogor, Jawa Barat, berisi 100 pohon manggis dan 10 pohon durian. Dari agendanya, deretan pohon yang berjejer tegak dan kekar itu bakal panen raya menjelang Lebaran, Agustus mendatang. ”Yang ada malah gagal panen,” kata Iding Fahrudin, 50 tahun.

Durian, yang jadi andalannya, makin pelit berbuah. Dulu satu pohon bisa memberikan 300 buah per tahun. Sekarang, menurut dia, bisa dapat 30 saja ”sudah alhamdulillah”.

Manggis lebih parah: tidak berbuah sama sekali. Padahal, dua tahun lalu, satu pohon masih menghasilkan manggis sebanyak dua keranjang berdiameter 40 sentimeter dengan kedalaman satu meter. Dengan pasaran Rp 250 ribu per keranjang, pendapatannya sekali panen mencapai Rp 50 juta. Kini hanya ada satu-dua pohon yang masih berbaik hati memberikan tiga butir manggis. ”Cuma cukup untuk tetangga yang lagi ngidam,” kata Iding, tersenyum kecut.

Cengal, sentra penjualan durian di Bogor selain Parung, jadi sepi. Biasanya ada puluhan lapak di sana. Pertengahan pekan lalu, hanya Uki, 32 tahun, yang menggelar dagangan. Dia mengatakan durian makin sulit didapat di kebun-kebun di Leuwiliang. Dampaknya, kata pria yang sudah lima tahun berdagang durian ini, harga melonjak. Dua-tiga tahun lalu, dia cukup mengeluarkan Rp 6.000 per durian dari petani, kini rata-rata Rp 15 ribu per buah.

Tidak ada yang tahu penyebab turunnya produksi durian di sana. Iding menduga seringnya hujan pol-polan mengakibatkan bunga-bunga durian, juga manggis, berguguran. Tapi dia mengakui klaimnya lemah. Sebab, kebunnya hanya berjarak 20 kilometer ke arah barat dari Bogor, kota yang tinggi curah hujannya.

Ibnu Maryanto, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, punya jawabannya: pohon-pohon jadi mandul karena kelelawar raib. Menurut dia, mamalia terbang itu jadi kunci pembuahan di banyak jenis pohon, di antaranya pisang, jambu, kapuk, petai, terung, kelapa, nangka, juga durian dan manggis.

Bunga pohon-pohon itu mulai mekar malam hari, saat kelelawar berkeliaran mencari makanan. Kelelawar, selain memakan buah, mengisap sari dari bunga satu ke yang lain. ”Liurnya mempertemukan benang sari dan putik,” katanya. Contohnya Eonycteris spelaea yang membuat durian berbuah dan Macroglossus minimus pada pisang.

Serangga pembuah, seperti kupu-kupu, sulit berperan pada pohon-pohon itu karena aktif di siang hari. Saat itu bunga sudah hampir 12 jam mekar. ”Tidak lagi segar dan menarik untuk serangga,” kata Ibnu, yang meneliti kelelawar selama 25 tahun di 42 pulau Indonesia.

Indonesia merupakan rumah bagi 225 dari total 1.200 spesies kelelawar. Dari jumlah itu, 148 jenis merupakan pemakan serangga dan 77 lainnya pemakan buah. Panggilannya dari codot, kubu, prokbruk, paniki, sampai kampret. Yang bertubuh besar, dengan rentang sayap lebih dari sejengkal, biasa disebut kalong.

Jenis pemakan serangga dikenali dari mata yang superkecil dan hampir tidak berguna, Microchiroptera. Saat berkelana, mereka mengeluarkan suara infrasonik yang memantul di suatu obyek dan ditangkap telinganya—atau ekolokasi. Mereka mampu mendeteksi nyamuk di saat gelap total. Saudaranya yang memakan buah, berciri mata besar, Megachiroptera. Dalam semalam mereka bisa terbang lebih dari 60 kilometer. Ibnu mencontohkan, koloni kelelawar di Kebun Raya Bogor bisa mencari makanan sampai Kepulauan Seribu dan kembali ke peraduan sebelum matahari terbit.

Selain sebagai penyerbuk, kelelawar berperan sebagai agen penyebar biji. Menurut Ibnu, mereka memakan buah bukan di pohon asal. Nah, sepah dan biji sisa makan jatuh ke tanah dan menumbuhkan pohon baru beberapa tahun kemudian.

Dengan berat rata-rata 40 gram, codot makan empat kali sehari, dengan total konsumsi sampai seperempat bobotnya. Artinya, pemakan serangga, seperti Hipposideros diadema, menelan 10 gram, setara dengan seribu serangga kecil, termasuk nyamuk dan kumbang hama padi, saban malam. ”Bayangkan satu koloni, sekitar seribu kelelawar, dalam semalam bisa menghabiskan sejuta nyamuk dan hama,” kata doktor biologi lingkungan lulusan Universitas Hokkaido, Jepang, itu.

Sayang, Ibnu melanjutkan, karena ”jam kerja” berbeda, manusia kerap tak menyadari fungsi kelelawar sebagai pemelihara keseimbangan ekosistem.

Menurut Ibnu, paceklik buah di Leuwiliang berkaitan dengan kerusakan gua-gua tempat tinggal codot di kawasan karst di Gunung Cibodas, Kecamatan Ciampea, yang berjarak sekitar 10 kilometer. Penambangan kapur, baik penggalian tradisional maupun dengan bahan peledak, membuat codot berjenis Rousettus amplexicaudatus, Eonycteris spelaea, dan Macroglossus minimus kabur. Populasi di 50 gua di sana anjlok dari ribuan jadi puluhan, bahkan nihil. Bahkan Cipanas, gua terbesar dan paling banyak penghuninya, runtuh terkena ledakan tiga tahun lalu. ”Isinya ribuan kelelawar, mati semua,” kata Johari, 52 tahun, anggota perlindungan masyarakat setempat.

Ancaman terhadap mamalia bersayap ini juga datang dari perburuan. Menurut Johari, lokasi itu sering kedatangan pemburu kalong dari Cileungsi. Mereka menggunakan senapan dan jaring. Kadang warga setempat juga diminta bantuan dengan upah Rp 1.000 per ekor. Dalam satu sesi perburuan, lebih dari seratus kelelawar jadi ”almarhum”. ”Katanya sih buat obat sakit asma,” ujar Johari. Wisatawan, seperti di Kebun Raya Bogor, dan penelusur gua juga menyebabkan kelelawar tidak betah dan minggat.

Ancaman serupa muncul di Sukolilo, Jawa Tengah, dan Cipatat, Padalarang, Jawa Barat. Di Sukolilo, petani makin sering dipusingkan oleh hama tanaman. Sedangkan di Cipatat, peran kelelawar dalam membasmi nyamuk terganggu, seiring dengan agresifnya penambangan batu. Dia yakin Bandung bakal terserang wabah malaria jika codot di Padalarang habis.

Ibnu mengatakan kerusakan habitat dan pemburuan juga terjadi di banyak tempat di Indonesia. Akibatnya, 16 spesies mulai langka. Sulit menghitung jumlah pastinya. Populasi mereka dihitung dengan menebar jaring di hutan. Misalnya di Sukolilo. Sepuluh tahun lalu, dalam empat jam, dia bisa menangkap 20-an kelelawar dengan empat jaring berukuran 2,5 meter persegi. Dua tahun kemudian, jumlahnya menyusut jadi hanya empat ekor. Bahkan Neopteryx frosti diperkirakan sudah punah. ”Terakhir ditemukan dijual di sebuah pasar di Manado, Sulawesi Utara, pada 1980-an,” katanya.

Dua pekan lalu, 80 peneliti dari 20 negara ngeriung di Konferensi Kelelawar Internasional di Bogor. Ibnu, ketua konferensi, meminta pemerintah melindungi codot. ”Jangan beri izin penambangan dekat gua kelelawar,” ujarnya. Menurut dia, selama ini kelelawar berjasa membantu pemerintah menghemat anggaran pemberantasan hama. Tammy Mildenstein dari Universitas Montana, Amerika Serikat, mengatakan kerusakan habitat dan perburuan merupakan ancaman utama bagi kelelawar di Asia Tenggara. Dengan umur maksimal tujuh tahun, kawin tiga kali setahun, dan maksimal dua anak sekali melahirkan, laju populasi mereka minus. Dia menekankan perlunya pembuatan area konservasi codot.

Petani bisa mengundang kelelawar dengan membuat rumah. Bentuknya sederhana, kotak kayu berukuran sekitar 40 x 25 x 25 sentimeter, dengan satu lubang melebar sebagai pintu. Rumah ini ditempatkan di ketinggian empat meteran. Bisa juga dengan mengikat beberapa pelepah dan daun kelapa, sehingga membentuk atap, di tengah pohon kelapa. ”Harus di tempat lembap, dan tidak banyak kena matahari,” ujar Ibnu.

Dari Bogor, kabar itu bergaung, melewati gua-gua kosong di Gunung Cibodas dan pohon-pohon sonder buah di Kampung Cengal. Juragan Iding baru ngeh akan jasa codot, yang selama puluhan tahun memberinya nafkah. Sedikit-banyak dia merasa bersalah karena sering mengutuki makhluk yang menggerogoti manggis dan duriannya itu, meski cuma seujung jari dari ratusan buah hasil penyerbukannya. Kini Iding merindui codot, yang makin jarang mampir di sana.

Reza M., Arihta Utama (Bogor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus