Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
J.J. Rizal
SALAH besar jika menganggap ondel-ondel sekadar boneka raksasa. Di balik tampang seram dan kemayu serta badan tambun sepasang ondel-ondel, terdapat kearifan tradisi untuk menjunjung hidup bersih dari kejahatan yang merusak kehidupan bersama.
Ondel-ondel yang terlihat saban ulang tahun Jakarta sudah dikenal berabad-abad sebagai bagian dari tradisi masyarakat aslinya. Hidup di kampung-kampung Betawi pinggiran, ondel-ondel hanya masuk kota pada saat-saat pesta rakyat, seperti tahun baru Belanda dan Cinaalias Sin Tjia. Orang menyambutnya dengan gembira, bahkan memberi persenan uang. Namun semua berubah pada 1954, ketika Wali Kota Sudiro mengeluarkan larangan karena menganggap tradisi itu tak pantas dan merendahkan pribumi.
Setelah lebih dari 30 tahun, datanglah Gubernur Ali Sadikin. Ia tidak hanya menghidupkan kembali ondel-ondel yang sudah terpojok itu, tapi juga menjadikannya ikon Jakarta. Ali tak paham dunia Betawi. Namun, dalam memoarnya, Bang Ali Demi Jakarta 1966-1977, ia mengaku tergetar oleh pesan Sukarno bahwa kosmopolitan bukan sekadar physical face yang wardig atau wajah penampilan yang berharga, tapi juga identitas kultural. Saat itulah, Ali menemukan pada budaya Betawi basis kultural yang mampu mendukung Jakarta menjadi kosmopolitan sekaligus ibu kota negara. Dalam konteks itu, ondel-ondel adalah salah satu yang terpenting. Mengapa?
Ali menjadi gubernur dengan mewarisi persoalan bestuursvoering, alias pelaksanaan pemerintahan yang tengah dijangkiti kebobrokan tata susila dan akhlak. Selain defisit keuangan, terjadi rupa-rupa korupsi yang disebutnya imoralitas. Kenyataan buruk ini tidak hanya terjadi dalam pemerintahan tingkat lokal, tapi juga nasional. Ali pun segera ikut dalam barisan Mohammad Hatta yang pada akhir 1960-an terang-terangan menyatakan: Korupsi telah menjadi kebudayaan Indonesia.
Untuk memperbaikinya, Ali mengikuti saran Hatta. Ia mereformasi birokrasi dan menambahkannya dengan mencari media penakbiran nilai etik antikejahatan moral yang sudah menyejarah serta diakrabi wujudnya oleh masyarakat Jakarta. Saat itulah ondel-ondel menjadi penting, karena merupakan simbolisasi budaya antikekuatan dan perbuatan jahat, busuk tak bermoral sebagaimana yang menjadi asal kata korupsi itu, corruptusatau perbuatan buruk.
Meskipun banyak versi sejarah ondel-ondel, semua mengarah pada satu kesimpulan bahwa ondel-ondel lahir dan tumbuh dari riwayat panjang hasrat-hasrat terkuat untuk mengingatkan pentingnya terus memerangi laku yang merusak kehidupan masyarakat. Fungsi ondel-ondel sebagai simbol pengusir keburukan memang telah mengemuka sejak keberadaannya dilaporkan oleh Edmund Scott, seorang pedagang Inggris yang selama 1603-1605 berada di Banten. Namun asal-usul ondel-ondel Jakarta sukar dikatakan hasil adaptasi dari Banten, biar kata kerajaan itu pernah membawahkan dan memberi banyak pengaruh kepada Sunda Kalapa.
Ditemukan data antropologis yang menunjukkan ondel-ondel tumbuh dari kebudayaan agraris Betawi yang masih berjejak dalam upacara baritan atau bersih desa di beberapa pinggiran Jakarta, terutama di Cireundeu dan Ciputat. Lagi pula Th. Piageud dalam Javaanse Volkvertoningen (1934) menyebutkan boneka raksasa yang disebut Scott een reuse en een monster yang tampil pada pesta khitanan Pangeran Abdul Mufakhir itu lazim ditemukan di daerah-daerah berkebudayaan agraris sebagai manifestasi kekuatan pelindung kampung, penolak malapetaka.
Keberadaan dan tempat ondel-ondel sebagai simbol antikekuatan jahat semakin kukuh di masyarakat Jakarta dengan kehadiran bangsa Tionghoa yang juga punya tradisi mengarak boneka raksasa. Surat-surat kabar 1880-an memberitakan iring-iringan pengoesir iblis, iaitoe satoe bonnekka tjina amat besar, jang diseboet Kai-losin ketika di Betawi dilaksanakan upacara besar-besaran pemakaman bekas Luitenan Titulair Khouw Tjeng Tjoan yang juga sohor sebagai orang Cina terkaya di Betawi.
Beberapa laporan koran dan foto dari paruh pertama abad ke-20 memperlihatkan ondel-ondel mengalami perluasan dalam banyak acara rites de passage orang Betawi. Bahkan hadir dalam tradisi perayaan Cap Gow Meh kaum Cina dan tahun baru Masehi orang Belanda. Pada kebangkitannya kembali, ondel-ondel tinggal boneka hiburan belaka yang terlupakan makna kehadirannya sebagai medium kultural tumbuhnya whistleblowing attitude alias budaya berani mengusir segala kekuatan jahat yang akan mendorong kehidupan bersama masuk lubang bencana.
Rupanya Ali Sadikin sudah keburu purnatugas dan tidak punya penerus sebelum akhirnya ondel-ondel yang sengaja dihadirkan pada hampir setiap kantor pemerintah DKI Jakarta dan banyak tempat di ibu kota itu dikenali arti kehadirannya yang azali itu. Akibatnya, di Jakarta korupsi sudah sepertipinjam lagu legendaris ngarak ondel-ondel dari 1970-an karya Benyamin S.kepale anak ondel-ondel yang ditaroin puntungan, nyale bekobaran.
Ondel-ondel akhirnya adalah kisah material culture yang alasan keberadaannya terlupakan sebagai counter-culture atas korupsi yang kata Hatta sudah membudaya itu. Mungkin ini bukan kehilangan yang berarti. Tapi, seperti kata pakar korupsi Syed Hussain Alatas, saat iblis pembela korupsi (defentio diabolica) telah memenuhi atmosfer kehidupan, seluruh kekuatan penentangnya harus dikumpulkan. Kehilangan kekuatan itu yang sangat kecil sekalipun adalah suatu kekalahan besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo