Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI itu gedung Ciputra Artpreneur Centre di Jakarta dipenuhi banyak seniman, kurator, dan kolektor. Di antara para perupa tampaklah Handiwirman Saputra, Edo Pillu, dan Haris Purnomo. Mereka bergerombol di tepi kolam dekat pintu masuk ruang pameran dan mengobrol ngalor-ngidul tentang karya mereka atau rencana pameran berikutnya.
Eun Young Kim, direktur proyek pameran, menghampiri mereka dan membagikan bunga mawar kepada para seniman yang karyanya dipajang dalam pameran Indonesian Eye: Fantasies & Realities itu. Pameran seni rupa kontemporer yang menampilkan 41 karya dari 18 seniman ini dibuka pada Kamis dua pekan lalu dan berlangsung hingga 10 Juli nanti. Handi, apakah kamu punya karya lain yang lebih kecil? ujar Kim.
Karya Handiwirman, Tak Berakar, Tak Berpucuk No. 6, berupa sepotong kain yang tersangkut di akar pohon, memang berukuran besar. Instalasi yang diilhami oleh sampah di sungai itu terbuat dari fiber dan baja dan besarnya hampir setara dengan mobil VW kodok. Rekannya sesama seniman bercanda bahwa karya itu terlalu besar, sehingga tidak diletakkan di dalam ruang pameran, tapi di dekat lobi gedung.
Ada, saya baru bikin yang setinggi ini, kata Handi seraya mengangkat tangannya setinggi dada.
Oh, oke, bisa kita bicarakan itu? kata Kim seraya mengajak Handi menemui Nigel Hurst, CEO Saatchi Gallery.
Nigel akan memboyong karya-karya dalam pameran ini ke Saatchi Gallery, galeri ternama di London, Inggris, pada Agustus mendatang. Karena itu, ukuran besarnya karya menjadi salah satu pertimbangan penting. Kami mesti mempertimbangkan bahwa karya itu harus sangat menarik bagi penonton internasional dan seberapa praktis dibawa ke London, katanya.
Pameran ini mengajak pengunjung menikmati sebuah tamasya singkat tentang khazanah seni rupa mutakhir negeri ini. Tampil sebagian karya perupa yang sudah muncul di pameran berskala internasional, seperti Heri Dono, Edo Pillu, Eddie Hara, Nindityo Adipurnomo, Jompet Kuswidananto, Mella Jaarsma, Rudi Mantofani, Ay Tjoe Christine, dan Agung Mangu Putra. Tapi ada pula beberapa seniman muda, kelahiran 1980-an, seperti Wiyoga Muhardanto, Julius Ariadhitya Pramuhendra, Wedhar Riyadi, dan Samsul Arifin.
Karya-karya itu meliputi lukisan hingga instalasi, yang masing-masing menunjukkan body of work para senimankekhasan tema dan bahan yang menjadi ciri karya mereka. Haris Purnomo, misalnya, dikenal suka mengolah bayi. Kali ini dia menampilkan Waiting for the Signal, instalasi puluhan patung bayi yang diselimuti bedung putih dengan ujung kaki berupa bilah belati. Bayi-bayi itu tergantung di udara dalam berbagai ketinggian.
Sebagian besar adalah karya lama. Heri Dono, misalnya, menampilkan The King Who is Afraid of Approaching Barong (tahun 2000), berupa lukisan di atas kanvas yang menggambarkan orang di atas kereta yang ditarik makhluk serupa sapi yang sedang mendaki gunung. Di puncak gunung itu ada orang dengan dada berjendela dan Burung Garuda Pancasila terbang keluar dari jendela itu. Seperti biasa, gambar-gambar Heri seperti kartun wayang yang penuh fantasi tapi simbolik.
Samsul Arifin menggunakan ikonnya, sosok boneka manusia unik yang hanya punya sepasang mata besar seperti kodok, tanpa mulut, hidung, dan lainnya. Boneka itu berbadan, berkaki, dan bertangan, tapi tanpa jari. Ikon itu menjadi semacam bentuk boneka manusia yang paling sederhana. Lewat Collective Success, dia mendudukkan lima boneka itu di atas tube cat minyak raksasa, sepanjang sekitar dua meter, seakan sedang bersampan dengan dayung dari kuas.
Pameran yang ditaja Prudential Corporation Asia ini diprakarsai David dan Serenella Ciclitira, pendiri dan kurator Parallel Contemporary Arts, yang mempromosikan seni kontemporer ke seluruh dunia. Mereka telah memprakarsai pameran Korean Eye, yang memikat 250 ribu pengunjung, di Saatchi Gallery tahun lalu, dan tahun ini menggelar pameran lanjutannya. Kini kami menampilkan seni Indonesia karena kami ingin membantu seniman kontemporer lokal mendapat akses ke dunia internasional, kata David.
Sebuah buku luks setebal 375 halaman juga diluncurkan bersamaan dengan pameran. Buku Indonesian Eye: Indonesian Contemporary Art itu diterbitkan SKIRA dan disunting Serenella Ciclitira, pengamat seni yang mendapat gelar kehormatan untuk sejarah seni dari Trinity College, Dublin, dan gelar honorary fellow dari The Royal College of Art di London. Buku ini menjadi semacam perluasan dari pameran karena memuat 500 karya dari 74 seniman, termasuk yang ikut pameran.
Karya yang dipamerkan adalah hasil pilihan tim kurator, yakni Serenella, Nigel Hurst, serta Tsong-zung Chang, profesor tamu di China Art Academy, Hangzhou, dan Direktur Hanart TZ Gallery di Hong Kong. Mereka dibantu tiga kurator Indonesia, yakni Jim Supangkat, kritikus dan kurator dari CP Foundation; kurator independen Asmudjo Jono Irianto; dan Farah Wardani, Direktur Eksekutif Indonesian Visual Art Archive.
Nigel mengakui proses pemilihan karya adalah langkah yang sulit. Tim kurator bekerja sejak setahun lalu dan menyeleksi segunung karya dari 400 lebih seniman. Saya empat kali ke Indonesia dan melihat pameran serta menemui para seniman di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, kata Serenella.
Tahap awal pemilihan itu berangkat dari foto karya yang dikirim para seniman. Tentu saja langkah ini bermasalah karena tak semua seniman memiliki foto karyanya yang bagus. Beberapa seniman muda bisa punya foto yang sangat bagus, tapi seniman yang sudah matang kadang tak punya. Ini yang harus dijaga, kata Jim Supangkat. Selain itu, dipertimbangkan soal besarnya karya.
Tim kurator Indonesia, kata Jim, tidak campur tangan dalam pemilihan karya. Mereka hanya membantu menjelaskan atau memberikan informasi mengenai hal-hal yang perlu diketahui tim kurator pameran. Proses perundingan kedua tim bukanlah sebuah perdebatan atas karya, karena yang memilih tetap tim Nigel.
Pada mulanya tim Nigel memilih sejumlah karya, lalu menyodorkan daftarnya kepada tim Jim, yang kemudian menimbang kelayakannya. Jim tidak mengatakan apa-apa dan hanya menggeleng bila daftar itu dianggap kurang memuaskan. Setelah empat kali bolak-bolak, barulah kedua tim merasa puas akan pilihannya dan akhirnya pameran pun disiapkan.
Seni rupa kontemporer, bagi Nigel Hurst, adalah seni yang terjadi pada satu momen, suatu saat, yang mencerminkan masa tersebut. Karya mereka menghasilkan sesuatu yang membuat kita bereaksi, entah marah entah terganggu, kata kurator yang juga anggota Dewan Penasihat Seni Masyarakat di Royal Borough of Kensington and Chelsea itu.
Pameran ini tampaknya ingin menyoroti generasi seniman baru Indonesia, dengan segala keragaman gaya dan tema. Pemilihan seniman yang mewakili gambaran Indonesia masa kini memang tidak mudah, tapi pilihan tetap harus dilakukan, dan akibatnya ada sejumlah nama, yang selama ini sudah dikenal, tak muncul, seperti Agus Suwage, Teguh Ostenrik, Krisna Murti, dan Made Wianta. Apa pun pilihan mereka, inilah karya seni yang dianggap layak dipajang di London.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo