Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Film 'the message': di mana kunci ...

Film "the message" punya nilai dakwah yang hebat. ia memperlihatkan bahwa tak ada yang pantas disembah selain dari allah. isa, muhammad dll., itu benar utusan allah. (kom)

7 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI sambungan pendapat saya setelah menyaksikan sendin film yang dihebohkan itu: the Message. Ada bapak-bapak di KBRI Tokyo yang menganjurkan saya menulis kesan-kesan tentang film tersebut. Di sini saya tekankan, yang ada adalah keinginan saya agar masyarakat bisa mengetahui persoalan film tersebut. Kesan terutama: film itu punya daya da'wah yang hebat. Ia bahkan punya daya dobrak yang kuat terhadap prasangka 'lam a' terhadap Islam yang tumbuh dulu di Eropa. Saya teringat Profesor Johei Shimada dalam bukunya Mahomet, Yogensha-no-kuni-zukuri (Muhammad, Utusan yang membina negara), Shimizu-soh-in, 1975. Ia menulis: kita perlu meninjau kembali pendapat-pendapat lama bahwa Islam itu 'agama yang gemar perang', yang disebarkan dengan 'pedang di tangan kiri dan Qur'an di tangan kanan'. Maka saya saksikan The Message itu cukup kuat untuk mendukung tulisan sang mahasarjana itu. Film itu sendiri main dalam tiga jam (di Jepang cuma 2 jam 25 menit). Menurut hemat saya, secara idiil film itu taklah mengandung kekeliruan. Tonggak-tonggak Islam jelas sekali: Bahwa tak pantas menyembah alam dan buatan tangan manusia, sebab tak ada tuhan melainkan Dia (Allah). Bahwa Adam, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad, adalah tokoh-tokoh mulia dalam estafet menyampaikan itu message yang sama (risalah, pesan-ajaran) dari Dia. Atau bahwa sehebat, seajaib kedudukan beliau-beliau sebagai Utusan-Utusan-Nya, mereka adalah sesama manusia jua, yang sebagaimana kita, tak tahu masa depan sendiri. Bahwa perang diizinkan selama ada kesewenang-wenangan dan ketakadilan, dan harus berhenti bila kedua hal itu lenyap. Bahwa meski berbagai rupa dan corak, manusia itu bagaikan saudara, tak layak ada perbudakan. Juga penegasan bahwa Qur'an bukan kata-kata Muhammad tapi kata-kata Tuhan (bandingkan Bible ). Bila diingat bahwa film (yang saya lihat) itu edisi bahasa Inggeris yang kebanyakan memakai tokoh-tokoh asing jelas secara idiil film itu punya arti da'wah yang besar. Begitu mengharukan, menggetarkan. Tak perlu tersipu-sipu saya, sebab yang menangis bukan saya sendiri -- di tengah-tengah penonton yang kebanyakan muda-mudi dan dewasa Jepang itu. Tangis haru dan megah. Kalaulah ada terasa 'kekurangan', kiranya hal itu berkisar pada dua hal berikut. Pertama, kesukaran menumpahkan seluruh gejolak pertumbuhan Islam masa awal itu ke dalam bentuk film yang pendek. Seperti anda tahu, tiap peristiwa pada masa sebelum dan sesudah kerasulan, masa sebelum sedang dan sesudah hijrah (long march), masing-masing punya arti sendiri tapi juga sekaligus saling berdukungan. Memilih peristiwa-peristiwa untuk dilayarputihkan tentu sukar. The Message sendiri menampilkan pemandangan tahun 610 (Mekkah dalam tata feodal perbudakan, penyembahan berhala, jurang beda kaya-miskin, lalu munculnya Muhammad sebagai tokoh yang kelak mengumumkan Islam sebagai suatu sistim masyarakat baru). Maret tahun 624 (Perang Badr dan beberapa adegan peristiwa Hijrah). Tahun 625 (Perang Uhud), dan tahun 628 (pengembalian Mekkah). Dan terakhir lautan manusia ketika hajji terakhir). Kedua, tak tampilnya tokoh Muhammad - yang selain terasa 'kosong' dalam keutuhan kisah sejarah itu, bukall mustahil menimbulkan semacarn perpalingan (distortion, vertion). Misal: apa yang akan lebih berkesan kuat dan memang seharusnya disabdakan Muhammad, sabda itu sampai kepada kita (penonton) cuma sebagai laporan para Sahabat. Turunnya isi bait pertama ayat-ayat al-Qur'an, dilaporkan oleh Zais, yaitu ketika Abu Thalib bertanya di depan sekelompok pemuda. Juga kata-kata Nabi "Meski mereka mampu meletakkan matahari di telapak tangan kananku dan bulan di tepalak kiriku . . . " dan sebagainya, dilaporkan oleh Abu Thalib, yang didesak Ahu Sufyarl dan Abu Jahal, itu kekentong Kafirin. Restu beliau atas pemakaian suara manusia (adzan) sebagai alat penyeru manusia untuk sembahyang, dilaporkan oleh Hamzah, paman beliau yang termuda itu. Ketika dalam suasana tegang menjelang Perang Badr (perang pertama) lahir kode etik perang (dilarang membunuh kanak-kanak, kaum jompo, wanita, dan bahkan tak boleh merusak tumbuh-tumbuhan), bukan Muhammad pribadi yang tampil. Tapi di"tolong" teriakan oleh Bilal. Lalu pelepasan para muballighin menjumpai Kaisar Meraklius Gubernur Mukaukis, Kaisar Chosru dan Raja Negus, agar masuk Islam, dilakukan oleh para Sahabat. Sedang riwayat haji terakhir, dengan pidato Nabi yang termashur di Arafah, digambarkan dengan tuturan (nawation), dengan latar belakang lautan manusia berhajji. Meski the Message cukup pintar mengatasi kesukaran tersebut tentu saja tak sepenuhnya terasa 'sreg'. Sebab setiap dialog dengan Muhammad (misal: Hamzah menengok ke arah penonton dan berbicaralah ia dengan "Muhammad"), pada akhirnya tak lain cuma monolog. Sebab tak terdengar jawaban beliau yang segar-hidup. Di sinilah saya merasakan suatu ironi: bahwa Muhammad, shallallahu 'alaihi wasallam, yang begitu terang benderang kehadirannya di pentas sejarah belum bisa ditokohkan dalam film. (Perlu dicatat: dalam buku Prof. J. Shimada itu terhias lukisan-lukisan 'Muhammad lahir' hal. 20, 'Muhammad dan Jibril' hal. 68, 'Muhammad berceramah' hal. 13, 179, 'Muhammad isra-mi'raj' hal. 111, 'Muhammad dan Abu Bakar di saat hijrah', hal. 117, yang indah-indah dan menarik). Sedang Yesus yang diragukan kesejarahannya oleh kaum historian modern begitu banyak aktor yang menokohkan. Padahal riwayat hidup Yesus hanya diketahui lewat satu sumber saja yaitu Bibel. (lihat Webster Biograpical Dictionary. hal. 780, Yesus atau Paulus. M. Hashem, JAPI, 1965, Yesus ataukah Paulus, Joesoef Soy'yb, Kiblat, 1970). Saya fikir, pendewaan Yesus terletak kuncinya pada ajaran sang Paulus, dan bukan pada penokohan oleh aktor-aktor film. Film hanya pembantu menyebar dan mengukuhkan ajaran tersebut. Begitupun, film yang sewarna (paralel) dengan ajaran Islam takkan merobah bangunan iman yang sudah mapan: "Tak ada tuhan melainkan Dia, Allah, Muhammad adalah hamba-Nya dan UtusanNya". Pendeknya film The Message itu bagus. Sukar saya tulis semuanya di TEMPO ini. Kalau bisa, ya, sambil bawa TEMPO, silakan menontonnya di Tokyo. Atau, ini mungkin lebih baik, rame-rame putar di Jakarta saja, hingga berbed dengan saya yang cuma dua kali, anda bisa nonton bersering-sering sepuas hati. Bagaimana? ARIEE MAULANY c/o Mr. Takato Komura, 1-1-20. Katamachi Kanazawa-shi, Ishikawa-ken, 920, Japan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus