Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah salah satu suasana proses pembuatan film Telegram karya Slamet Rahardjo Djarot, yang dibuat berdasarkan novel Putu Wijaya dengan judul yang sama. Tejo berperan sebagai Daku, pelaku utama film ini, sementara Ayu berperan sebagai Rosa, kekasih imajinatif Daku. Saat syuting itu, tampaknya kemarahan Ayu mencapai puncaknya. Maklum, untuk kedua kalinya rambutnya dijambak kasar oleh Sujiwo Tejo, lawan mainnya dalam film arahan Slamet Rahardjo itu. Pada jambakan pertama, jemari kukuh sang dalang merontokkan beberapa helai rambutnya. Dan kejadian itu berulang. Padahal, dalam adegan itu, jambakan tersebut lebih merupakan simbolisasi kemesraan dan passion yang menggemuruh di antara sepasang kekasih itu.
Ternyata, seperti diakui Tejo, kegugupan yang dialaminya membuat dia tak bisa mengontrol diri. Akibatnya, syuting pun terpaksa dihentikan hingga satu jam. Slamet Rahardjosang sutradaraharus membujuk Ayu agar mau mengulangi adegan tersebut. Sambil menunggu Slamet meredakan kemarahan Ayu, si biang kerok Tejo hanya terdiam. Untunglah Ayu memiliki sikap profesionalisme yang tinggi. Ia mau melupakan peristiwa itu dan mengulangi adegan tersebut. "Saya minta maaf kepada Ayu. Tapi kemudian semuanya bisa berlangsung baik," tutur Tejo, yang mengaku tak bisa melupakan peristiwa yang terjadi pada akhir 1997 itu.
Tapi tunggu dulu. Ulah Tejo tidak hanya berhenti di situ. Ada lagi yang menarik. Tejo yang dikenal suka berbicara ceplas-ceplos itu ternyata menolak melakukan adegan ciuman panjang dengan Ayu Azhari. Menurut dia, tidak semua adegan film yang ditayangkan harus melulu dengan gambaran yang jelas. Penolakan ini bukan karena dia tidak mau bersikap profesional, tapi semata karena dia memang mengalami kesulitan untuk beradegan itu. Tejo tengah dibelit masalah pribadi sehingga ia meminta agar adegan itu tidak dilakukan. Slamet pun mengabulkannya.
Ternyata, pada saat ia akan merekam adegan itu, Slamet belingsatan. Tanpa ciuman itu, adegannya sungguh terasa aneh dan steril. Sementara ranjang disiapkan, Slamet memutar otak. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengelabui penonton. Slamet meminta tata artistik memasang kain kasa semacam kelambu untuk menciptakan kesan adegan ciuman itu benar-benar terjadi. Dan berhasil.
Telegram memang mengeksplorasi keintiman yang sangat tinggi antara Daku dan Rosa. Sedangkan Tejo ternyata memiliki wilayah pribadi sendiri. Hal itu membuat Slamet mengubah adegan eksplorasi seksual itu menjadi gambaran yang lebih sugestif. Pertimbangannya, dia harus menjaga vitalitas Tejo supaya tidak kehilangan spontanitasnya hanya karena tidak mau melakukan adegan ciuman itu. Peristiwa ini hanyalah satu di antara puluhan masalah yang dihadapi Slamet. Secara keseluruhan, proyek Telegram memang membuatnya mesti punya stok kesabaran yang cukup.
Sejak semula, film yang berangkat dari novel Putu Wijaya itu kerap menimbulkan masalah yang pelik. Ide penggarapan Telegram dimulai lima tahun silam. Saat itu, Slamet, yang mewakili Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BPPN), melakukan perjalanan ke Prancis dalam rangka menjalin kerja sama dengan Pusat Perfilman Prancis atau Centre Nationale Cinematograph (CNC). Tujuannya, tak lain, untuk membangkitkan perfilman nasional negara-negara di dunia.
Angin segar berembus. Kedua negara itu sepakat melakukan program kerja sama. Langkah pertamanya adalah menyelenggarakan kursus sinematografi dengan mendatangkan ahli-ahli Prancis dan menyelenggarakan Festival Film Prancis di Indonesia. Sampai saat ini, kedua kegiatan itu masih berlangsung. Langkah berikutnya adalah memproduksi film bersama. Karena reputasinya, Slamet Rahardjo terpilih menggarap proyek ini.
Namanya juga proyek kerja sama, pelaksanaannya dilakukan secara gotong-royong. Slamet bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukan di Indonesia, antara lain soal lokasi, pemain, penyutradaraan, production designer, musik, dan penataan artistik. Sedangkan segi teknis seperti penyediaan kamera, tata suara (sound), dan stok film (film stock), termasuk penyediaan tenaga kru ahli secara teknik, menjadi tanggung jawab pihak Prancis. Mereka juga bertanggung jawab terhadap proses pascaproduksi, yakni editing. Alasannya, mereka memiliki laboratorium yang memenuhi standar internasional. Begitu pula soal biaya. Kedua negara urunan. Pemerintah Indonesia memberikan dana awal Rp 250 juta, sementara pihak Prancis memberikan jumlah yang sama untuk kru dari negerinya.
Dana ini dipakai sesuai dengan tanggung jawab masing-masing. Ditambah uang pribadi Slamet sebesar Rp 400 juta, uang untuk kru Indonesia yang dipakai untuk syuting menjadi Rp 650 juta. Sedangkan bagi tim Prancis, dana dari pihak Prancis dipakai untuk proses editing.
Saat itu, Slamet yakin proyeknya ini akan segera bergulir, apalagi seorang pengusaha sempat menjanjikan dana segar Rp 2 miliar untuk membantu biaya produksi filmnya itu.
Namun, tiba-tiba bencana datang. Saat syuting film memasuki minggu pertama, yakni November 1997, tiba-tiba "mat dolar" melonjak naik nilainya sampai Rp 15 ribu. Pada saat kerja sama diteken, rupiah masih perkasa, yakni satu dolar sama dengan Rp 2.600 dan terhadap franc Prancis harganya Rp 700. Ini memang gawat. Sialnya lagi, sang pengusaha yang semula berniat membantu itu membatalkan keinginannya. "Katanya, gila kalau dia tetap ikut di situ," ujar Memet. Kepala Slamet jadi mumet.
Akhirnya, untuk menambah biaya produksi syuting di Bali, dia ngebon pada BPPN sebanyak Rp 250 juta. Film ini memang mengambil dua lokasi syuting, yakni di Bali dan Cirebon. Ternyata, ketika kru Slamet tiba di Bali, kurs hotel mencatat nilai Rp 16 ribu per dolar. Syuting tak bisa lagi mundur, terlebih kru film dari Prancis sudah datang. Sembari menjalani syuting, Slamet berpikir keras untuk mencari tambahan.
MENGAPA Telegram? Slamet Rahardjo memilih novel Telegram karya Putu Wijaya dengan pertimbangan dari sekian banyak karya sastra yang ditelurkan seniman asal Bali itu, novel ini mempunyai nilai universal dan warna etnis yang tak terlalu kentara. Kebetulan pula Telegram sudah diterjemahkan dan beredar di Prancis, sehingga karya ini relatif lebih mudah diterima. "Telegram sendiri merupakan idiom, di mana sesuatu yang tidak bicara banyak bisa begitu menentukan. Ada rasa takut atau misteri tertentu dari sebuah telegram," papar Slamet.
Kebetulan juga, seperti yang diutarakan Gotot Prakosa selaku produser eksekutif film ini, novel Telegram karya Putu Wijaya adalah satu dari delapan karya sastra Indonesia yang disukai di Prancis. Selanjutnya, Slamet meminta sang empunya novel menulis skenario film ini. Putu Wijaya menyanggupinya. Dalam waktu satu minggu, naskah itu sudah rampung. Ia tetap mempertahankan gaya surealis seperti yang terdapat dalam novelnya. Alasan Putu, market film ini tidak terbatas di masyarakat Indonesia, yang tampaknya memang akrab dengan kaidah realisme. Karena luasnya pangsa pasar, Putu Wijaya pun merasa lebih bebas memberi tafsir sinematografis.
"Akhir dari seluruh isi film ini bukanlah cerita, melainkan sebuah moralitas tentang kemanusiaan," demikian tutur Putu Wijaya. Namun, katanya, film ini tidak dimaksudkan sebagai ekspresi eksperimen belaka. Dalam membuat skenario itu, Putu tetap mengajak penonton melihat karya ini sebagai realitas sekalipun berupa mimpi.
Kerja sama dua nama besar dalam bidangnya masing-masing ini bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya, mereka pernah bekerja sama dalam film Kembang Kertas. Toh, itu bukan berarti kerja mereka bisa berjalan lancar. Maklum, Putu Wijaya dan Slamet Rahardjo adalah nama besar di bidangnya. Putu besar di dunia teater dan drama, sementara Slamet besar di dunia teater dan film. Yang namanya kolaborasi, tentu, harus ada kompromi dan pengorbanan ego.
Di mata Slamet, naskah yang dibuat Putu masih bergaya sastra sehingga agak sulit untuk diterapkan dalam bahasa visual. Selanjutnya, ia mengubahnya menjadi bahasa sinematografi agar lebih mudah dipahami. Namun, ternyata shooting script bikinannya itu malah membuat Putu terkejut karena shooting scrip buatan Slamet memang merombak bukan hanya isi novel, tapi bahkan skenario buatan Putu. Akhirnya, Putu memberikan jalan keluar: jika Slamet memilih menggunakan skenario versinya, Putu tak keberatan asalkan "nanti cantumkan dengan sungguh-sungguh bahwa film itu 'diilhami' oleh novel Telegram atau 'diadaptasi' atau istilah lain yang maksudnya agar orang yang membaca novelnya, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Prancis, tak perlu mencocok-cocokkan film itu dengan novel itu," demikian tulis Putu Wijaya dalam korespondensi antara kedua seniman ini. Saran kedua Putu adalah kembali ke skenario yang dibuat oleh Putu Wijaya.
Melalui proses surat-menyurat di sela-sela kesibukan Putu menggarap Balada Dangdut, akhirnya Slamet memutuskan untuk menggunakan skenario Putu yang awal. "Buat saya, persahabatan lebih penting di atas segala-galanya," tutur Slamet.
Maka, urusan dengan Putu selesai. Selanjutnya adalah menentukan pemain. Meski Slamet memiliki kewenangan penuh, sebelum menentukan pemain yang dipakaikarena ini proyek kerja samaia harus mendapatkan persetujuan dari Prancis. Foto semua pemainnya harus dikirimkan ke Prancis. "Alhamdulillah, yang saya pilih tidak ditolak oleh pihak Prancis," kata Slamet.
Semua pemain yang diajukannya lolos, termasuk bintang-bintang populer dari Indonesia yang diminta pihak Prancis. Slamet memilih Ayu Azhari sebagai pemeran Rosa, sang tokoh utama. Ayu, yang kala itu baru saja pulang dari Amerika, langsung menerima tawaran tersebut. "Ini adalah film Indonesia yang lahir dari semangat untuk membikin film di tengah lesunya perfilman kita," kata Ayu. Untuk pemain lainnya, Slamet memilih Desy Ratnasari. Alasannya, Desy dinilai pantas untuk peran yang necis, chic, dan ladylike untuk memperkuat karakter tokoh yang memang agak "plastik" di tengah-tengah orang-orang yang seriusseorang tokoh yang tak punya "hubungan" dengan situasi dan tak bertanggung jawab hingga tega membuang anaknya sendiri.
Sama halnya dengan Ayu, walau mendapatkan peran kecil, Desy menganggap bermain dalam film ini merupakan sebuah penghargaan. "Saya bisa ikut ambil bagian dalam satu film kerja sama Indonesia-Prancis. Ada pengalaman kerja yang baik buat saya," tutur Desy.
Pemeran lainnya adalah Mira Ayudhia, yang memerankan Sinta, si anak angkat yang dibuang ibunya. Pertimbangan Slamet memilih gadis kecil ini, seperti yang diminta kru dari Prancis, adalah memilih pemeran anak yang beranjak remaja. "Selain itu, saya mencari anak dengan sinar mata yang merekam banyak problem," katanya.
Ada juga cerita yang lucu-lucu saat casting. Pemilihan dr. Go, misalnya, yang akhirnya jatuh ke tangan Remy Sylado. Kenapa dia mesti nongol dengan rambut pirang segala? "Itu juga mengagetkan saya, kok. Dateng-dateng, dia sudah nongol dengan rambut pirang. Ternyata dia sedang syuting di tempat lain dan berperan sebagai orang Belanda," ungkap Slamet terkekeh, "Saya bilang, 'Apa bisa rambutnya dicat hitam dulu?' Dia bilang, 'Wah, enggak bisa. Hari ini juga ik mesti kembali' (ke tempat syuting semulaRed.)." Walhasil, jadilah dr. Go dengan rambut pirang.
Yang menarik adalah pemilihan peran Daku, yang juga tokoh utama film ini. Slamet memilih Sujiwo Tejo, yang kala itu masih menjadi wartawan yang juga dikenal sebagai dalang. Kenapa mesti Tejo? Tejo langsung menyambar kesempatan itu karena, "Saya merasa oke untuk ikutan main film ini. Skenarionya dibuat oleh Putu. Saya merasa cocok dengan karya Putu," ujar Tejo. Tapi Putu Wijayayang mengaku belum melihat hasil akhir film inimenganggap pemilihan Sujiwo Tejo sebagai Daku tidak sesuai dengan sosok "Aku"demikian nama asli tokoh utama dalam novelnya.
Tokoh "Aku", menurut Putu, adalah individu yang lembek tapi keras, keras tapi lembek, orang yang belum menemukan dirinya sendiri dan mencoba memberontak terhadap akar tradisinya dengan cara yang santun. Menurut Putu, "Aku" adalah bentuk dari kekalahan yang memberontak, kebodohan yang pintar, yang wujud personifikasinya diilhami dari kalimat Goenawan Mohamad: "Bersiap untuk kecewa, bersedih tanpa kata-kata."
Syuting pun dimulai. Tapi lagi-lagi hambatan datang. Persoalan lainnya adalah Tejo. Karena ia tidak memiliki dasar akting di depan kamerasebelumnya, Tejo lebih banyak berkiprah di pentas tradisiSlamet melakukan pendekatan lain terhadapnya. Salah satu caranya adalah menggunakan idiom-idiom yang terdapat dalam dunia wayang.
"Selama syuting, kalau Mas Slamet menunduk dan mengerutkan kening sambil memejamkan mata, 'Kresno, Jo, Kresno,' itu artinya saya disuruh berperan seperti Kresno. Ya, udah, action, jalan," kata Tejo. Seperti aliran air, akting Tejo mengalir begitu saja.
Menurut Slamet, pendekatan terhadap Tejo hanya bisa dilakukan lewat rasa, bukan dengan teori-teori akting sinematografi yang selama ini dipelajarinya. "Saya tidak mau mendekati Tejo dari sisi lain kecuali dari kekuatannya. Mungkin karena kita sama-sama orang Jawa, jadi saling mengerti," kata Slamet.
Sepertinya merepotkan. Tapi ternyata tidak. Malah, kata Slamet, aktor debutan ini cukup membantunya dalam menambah pemahamannya terhadap tokoh Daku. Soalnya, Putu Wijaya nyaris tidak memberikan gambaran secara jelas seperti apa tokoh tersebut. "Tejo membantu saya dalam menggambarkan tokoh Daku tersebut yang memang 'sembunyi'. Rambutnya yang kadang-kadang menutupi mukanya, menurut saya, merupakan elemen yang menambah pemahaman saya tentang tokoh tersebut," katanya.
Penafsiran yang unik. Tapi penafsiran terhadap sebuah novel tak selalu mudah. Hubungan Daku dengan ibunya yang begitu istimewa itu membuat Daku kemudian bermimpi bercinta dengan ibunya, lalu Daku bermasturbasi. "Nah, ketika saya menggambarkan adegan tersebut, saya menyorot Tedjo dari kejauhan. Setelah mencapai orgasme, Tedjo yang mengenakan celana dalam itu disorot dalam posisi merangkak," katanya.
Namun, reaksi orang Prancis sungguh mengagetkannya. Semua orang yang ada saat screening merinding. Mereka menganggap adegan itu sangat menjijikkan. Padahal, Slamet ingin menggambarkan keadaan seseorang yang tengah jatuh dalam keputusasaan.
Karena tidak direstui, Memet memutuskan untuk mengganti adegan tersebut dengan stok yang lain, yakni adegan Daku menyelinap di ketiak ibunya dengan rekaman gambar sepasang payudaranya sudah kendur menggelantung. Adegan yang subtil itu kemudian diiringi tembang. Alhasil, inilah sebuah adegan yang imajinatif tentang hubungan Daku dan ibunya. "Kalau saya mengikuti keliaran Putu dalam skenarionya, mungkin film itu tidak bisa diputar di Indonesia."
"Kompromi" lain yang dilakukan Slamet adalah soal editing. Slamet menciptakan adegan Daku yang tengah memotret sembari disambung bunyi tari kecak. Ternyata, pihak Prancis, yang jatuh cinta pada tari itu, malah keasyikan dengan ilustrasi kecak yang panjang mengiringi adegan amplop telegram terbuka itu, sehingga menurut Slamet adegan itu agak berkepanjangan. "Namanya orang Eropa, mereka tertarik betul dengan eksotisme. Alhasil, ketika adegan sudah pindah ke shoot lain, kecaknya masih jalan. Ketika proses editing, saya sedang naik haji. Saya mau ngomong apa? Yah, lolos-lolos sedikit enggak apa-apalah. Namanya juga kerja sama," kata Slamet tertawa.
SELESAI syuting bukan berarti persoalan pun tamat. Sebab, film ini masih menuntut uang untuk proses pascaproduksi. Kantong sudah cekak. Celakanya, pemrosesan di Inter Studio, Jakarta, menggunakan sistem pembayaran dengan dolar, sehingga mereka membutuhkan tambahan uang segar sekitar US$ 20 ribu. Dari mana uang itu bisa diperoleh? Dari Prancis? "Sampai akhirnya ketika film kami kirim ke sana untuk editing terakhir, mereka pun tidak punya uang," kata Memet.
Akhirnya, Slamet dan kawan-kawannya memutuskan untuk menghubungi beberapa lembaga donor. Untuk menyelesaikan film ini, mereka mendapatkan tambahan dana dari Hubert Balls, Belanda, Gutteborg, dan Amsterdam. Apa boleh buat, mereka terpaksa melakukan sistem pre-sale (jual di awal) alias "diijonkan". Slamet harus menjual saham yang dimilikinya dalam film ini.
"Lama-lama saya menjual hak kepemilikan atas film itu. Hak saya yang semula mencapai 70 persen tinggal 30 persen saja," kata Slamet sambil menggaruk-garuk kepalanya. Selain itu, segala hal yang berkaitan dengan film ini tidak dimilikinya lagi. Still photo (foto-foto adegan film) sudah berganti kepemilikan. Akhirnya, film itu rampung juga. Menurut Joel Farges, mitra Slamet, total biaya produksi film ini mencapai US$ 600 ribu atau sekitar Rp 5 miliarangka itu belum termasuk biaya promosi.
Soal keuntungan, menurut Slamet, mereka tidak terlalu memperhitungkannya. "Saling pengertianlah," katanya. Pembagiannya adalah Slamet memperoleh 70 persen keuntungan yang ditangguk dari wilayah Indonesia, Australia, Jepang, dan Asia Tenggara, sementara Joel Farges memperoleh sisanya. Sedangkan untuk wilayah Eropa, Joel berhak 70 persen, sementara sisanya boleh dikantongi Slamet. Untuk di luar kedua wilayah itu, keduanya mendapat bagian yang rata. Mereka memperkirakan modalnya akan balik dalam waktu dua tahun mendatang.
Sebuah kerja yang luar biasa. Mira Lesmana, salah seorang garda depan generasi baru film Indonesia, termasuk yang mengagumi kerja keras Slamet. Dari segi film, Mira yang sudah menyaksikan premier film Telegram itu mengaku seolah dibawa ke suatu nostalgia tentang sebuah gaya dalam perfilman Indonesia yang sudah lama tidak dilihatnya. "Ada rasa sentimentil yang muncul dalam diri saya," ujar produser Petualangan Sherina ini. Menurut wanita yang melejit dengan film Kuldesak ini, Telegram digarap dengan cukup manis, terutama tata cahaya dan penataan artistiknya.
Namun, apa pun hasilnya, yang jelas, Telegram telah menjadi bukti sebuah kerja keras dan kegigihan seorang Slamet Rahardjo Djarotsalah seorang sineas yang menyaksikan kejayaan dan kehancuran film nasionalyang mencoba kembali membangkitkan sebuah dunia yang telah lama mati. Seperti membuka amplop telegram, respons penonton terhadap film ini memang menjadi misteri dan bagi Slamet tentulah terasa menegangkan dan menggairahkan.
Irfan Budiman, Gita W. Laksmini, Hani Pudjiarti, Darmawan Sepriyossa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo