DI samping mengunjungi 7 pondok pesantren dalam kunjungan 4 hari
ke Jawa Timur akhir Mei yang lalu (lihat: Agama), Menteri Agana
sempat juga menengok Institut Injil Indonesia di Batu, Malang.
Dibandingkan dengan Sekolah Tinggi Teologia yang ada, lembaga
pendidikan ini istimewa. Itulah yang telah mengundang Menteri
Alamsyah Ratu Perwiranegara.
"Di sini penekanan tidak sematamata pada soal ilmiah, tapi pada
penggemblengan calon hamba Tuhan yang siap melayani dan bukan
untuk dilayani. Tipe pendidikan semacam inilah yang sebenarnya
sangat dibutuhkan oleh gereja di Indonesia," kata Pendeta P
Octavianus, rektor II Institut Injil Indonesia kepada
Koresponden TEMPO Dahlan Iskan. Karena itu di perguruan
tersebut ada pula mata pelajaran pertanian, peternakan dan
pertukangan sebagai contoh.
Memimpin upacara peribadatan tidak hanya sampai di bangku kuliah
saja, tapi langsung dipraktekkan. Misalnya di tingkat pertama
mahasiswa harus melaksanakan praktek memimpin peribadatan dua
hari dalam seminggu, Jumat dan Sabtu. Mereka disebarkan ke 30
buah gereja yang terpencar di sekitar kota Malang. Dan
berkhotbah di sana. Setiap bulan Nopember dan Desember semua
mahasiswa dari tingkat I sampai tingkat III harus menyebar ke
seluruh pelosok Indonesia untuk ber"KKN" ala gereja. Dua bulan
lamanya.
Sebelum bulan Nopember biasanya sudah membanjir datangnya surat
dari berbagai gereja di daerah, minta supaya gereja di situ
dapat kesempatan menjadi tuan rumah bagi mahasiswa tingkat 3
dari Institut ini. "Bagi gereja yang mampu ongkos ditanggung
gereja yang bersangkutan. Sedang yang tidak ada kebijaksanaan,"
ujar Octavianus.
Tanpa Diploma
Di daerah, di gereja tempat mereka berpraktek, para mahasiswa
tadi umumnya menjadi pembantu pendeta, tapi ada juga yang sampai
menduduki kursi sekretaris sinode. Rektor Institut lantas
menugaskan dua orang dosen keliling untuk menilai praktek
mahasiswa tadi dengan bantuan para pendeta setempat.
Penilaian dosen keliling tadi amat menentukan nasib si
mahasiswa, apakah dia akan naik ke tingkat 4 atau pulang kampung
saja. Kalau ternyata naik tingkat, itu berarti ada bagi beban
baru yang harus mereka laksanakan. Berangkat ke daerah dan
ber"KKN" lagi selama setahun. Kecakapannya menjalankan tugas
gerejani itu akan menentukan pula apakah dia pantas naik ke
tingkat 5.
Setelah setahun penuh berpraktek di pelosok, maka di tingkat 5
mereka sudah bisa mengambil spesialisasi. Ada tiga macam
pendidikan khusus. Jurusan pendeta Jemaat, pendeta Perintis
Pembangunan dan pendeta urusan luarnegeri. "Kami tidak
memberikan diploma kepada tamatan institut," kata Octavianus
bangga. "Kalau mereka memperoleh titel kesarjanaan, saya
khawatir jangan-jangan mereka lantas menaruh harga yang tinggi
di kota-kota," sambungnya.
Menurut keterangan para lulusan Institut ini sebagian besar
kembali ke gereja yang mengirimkan mereka. Sejak didirikan tahun
1959, Institut sudah menghasilkan 306 pendeta. Saat ini
mahasiswanya 148 orang yang datang dari 32 gereja di seluruh
Indonesia. Sedikitnya jumlah mahasiswa ini disebabkan
terbatasnya fasilitas. "Setiap tahun yang mendaftar rata-rata
200. Tapi kami hanya menampung 50 orang," jawab Octavianus. Dari
jumlah itu 15% drop out karena dua sebab, kemampuan dan perangai
yang jelek.
Gubuk Bambu
Senat dan dewan mahasiswa tak dikenal di institut ini. Yang ada
hanya kelompok kecil beranggotakan 10 mahasiswa. Mereka diasuh 2
orang dosen yang bertindak sebagai bapak dan ibu kelompok.
Seminggu sekali antar kelompok bermusyawarah untuk memecahkan
persoalan.
24 orang dosen mengasuh perguruan tersebut termasuk 4 orang dari
luar negeri. Sebelum mengajar, dosen dari luar tersebut kabarnya
diwajibkan belajar bahasa Indonesia dan tak lupa memahami
Pancasila. Tatanegara dan kebudayaan Indonesia, berorientasi
pada kehidupan gereja dan bangsa Indonesia sudah tentu termasuk
kewajiban bagi mereka.
Sejarah berdirinya institut injil tersebut agak unik juga.
Octavianus anak miskin yang lahir di Rote tahun 1928 adalah
pendirinya. Lulus dari sekolah teologia di Bandung tahun 1957 ia
menjabat direktur SMA dan SPG Kristen. Di samping itu ia jadi
rektor Akademi Pendidikan Guru Nasional di Malang (kini IKIP).
Tergetar oleh khotbah seorang pendeta kemudian dia berketetapan
hati meninggalkan semua kedudukan tadi. Seorang diri ia
berangkat ke Batu yang dingin. Mendirikan gubuk bambu di sana.
Cerita itu berkisah pula tentang menyatunya Octavianus dengan
masyarakat setempat. Ia membantu kehidupan penduduk di situ,
termasuk memikul air dari pancuran. "Teman-teman mengatakan saya
sudah gila waktu itu," cerita Octavianus. Dari gubuk bambu itu
kabarnya perlahan-lahan dia merintis pembangunan institut yang
sudah berkembang seperti sekarang.
Pak pendeta sekarang bukan hanya seorang rektor dari perguruan
yang dia bangun. Ia juga wakil presiden dari World Evangelical
Fellovship. Di kampusnya yang luas dan sejuk itu ada pula
Yayasan Persekutuan Pengabaran Injil Indonesia yang memiliki
bagian missi, pembinaan pemuda dan menjadi pemilik dari Institut
Injil Indonesia tadi. "Semua itu bisa terwujud hanya karena
do'a," kata Octavianus. Juga karena kerja keras Pak pendeta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini