Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Dari Gubuk Bambu Di Batu

P. Octavianus, mendirikan perguruan yang mendidik calon pendeta di Kota Batu. Institut yang dipimpinnya berkembang dengan sistim pendidikan yang unik sehingga menarik bagi menteri Alamsyah untuk dikunjungi.(pdk)

17 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI samping mengunjungi 7 pondok pesantren dalam kunjungan 4 hari ke Jawa Timur akhir Mei yang lalu (lihat: Agama), Menteri Agana sempat juga menengok Institut Injil Indonesia di Batu, Malang. Dibandingkan dengan Sekolah Tinggi Teologia yang ada, lembaga pendidikan ini istimewa. Itulah yang telah mengundang Menteri Alamsyah Ratu Perwiranegara. "Di sini penekanan tidak sematamata pada soal ilmiah, tapi pada penggemblengan calon hamba Tuhan yang siap melayani dan bukan untuk dilayani. Tipe pendidikan semacam inilah yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh gereja di Indonesia," kata Pendeta P Octavianus, rektor II Institut Injil Indonesia kepada Koresponden TEMPO Dahlan Iskan. Karena itu di perguruan tersebut ada pula mata pelajaran pertanian, peternakan dan pertukangan sebagai contoh. Memimpin upacara peribadatan tidak hanya sampai di bangku kuliah saja, tapi langsung dipraktekkan. Misalnya di tingkat pertama mahasiswa harus melaksanakan praktek memimpin peribadatan dua hari dalam seminggu, Jumat dan Sabtu. Mereka disebarkan ke 30 buah gereja yang terpencar di sekitar kota Malang. Dan berkhotbah di sana. Setiap bulan Nopember dan Desember semua mahasiswa dari tingkat I sampai tingkat III harus menyebar ke seluruh pelosok Indonesia untuk ber"KKN" ala gereja. Dua bulan lamanya. Sebelum bulan Nopember biasanya sudah membanjir datangnya surat dari berbagai gereja di daerah, minta supaya gereja di situ dapat kesempatan menjadi tuan rumah bagi mahasiswa tingkat 3 dari Institut ini. "Bagi gereja yang mampu ongkos ditanggung gereja yang bersangkutan. Sedang yang tidak ada kebijaksanaan," ujar Octavianus. Tanpa Diploma Di daerah, di gereja tempat mereka berpraktek, para mahasiswa tadi umumnya menjadi pembantu pendeta, tapi ada juga yang sampai menduduki kursi sekretaris sinode. Rektor Institut lantas menugaskan dua orang dosen keliling untuk menilai praktek mahasiswa tadi dengan bantuan para pendeta setempat. Penilaian dosen keliling tadi amat menentukan nasib si mahasiswa, apakah dia akan naik ke tingkat 4 atau pulang kampung saja. Kalau ternyata naik tingkat, itu berarti ada bagi beban baru yang harus mereka laksanakan. Berangkat ke daerah dan ber"KKN" lagi selama setahun. Kecakapannya menjalankan tugas gerejani itu akan menentukan pula apakah dia pantas naik ke tingkat 5. Setelah setahun penuh berpraktek di pelosok, maka di tingkat 5 mereka sudah bisa mengambil spesialisasi. Ada tiga macam pendidikan khusus. Jurusan pendeta Jemaat, pendeta Perintis Pembangunan dan pendeta urusan luarnegeri. "Kami tidak memberikan diploma kepada tamatan institut," kata Octavianus bangga. "Kalau mereka memperoleh titel kesarjanaan, saya khawatir jangan-jangan mereka lantas menaruh harga yang tinggi di kota-kota," sambungnya. Menurut keterangan para lulusan Institut ini sebagian besar kembali ke gereja yang mengirimkan mereka. Sejak didirikan tahun 1959, Institut sudah menghasilkan 306 pendeta. Saat ini mahasiswanya 148 orang yang datang dari 32 gereja di seluruh Indonesia. Sedikitnya jumlah mahasiswa ini disebabkan terbatasnya fasilitas. "Setiap tahun yang mendaftar rata-rata 200. Tapi kami hanya menampung 50 orang," jawab Octavianus. Dari jumlah itu 15% drop out karena dua sebab, kemampuan dan perangai yang jelek. Gubuk Bambu Senat dan dewan mahasiswa tak dikenal di institut ini. Yang ada hanya kelompok kecil beranggotakan 10 mahasiswa. Mereka diasuh 2 orang dosen yang bertindak sebagai bapak dan ibu kelompok. Seminggu sekali antar kelompok bermusyawarah untuk memecahkan persoalan. 24 orang dosen mengasuh perguruan tersebut termasuk 4 orang dari luar negeri. Sebelum mengajar, dosen dari luar tersebut kabarnya diwajibkan belajar bahasa Indonesia dan tak lupa memahami Pancasila. Tatanegara dan kebudayaan Indonesia, berorientasi pada kehidupan gereja dan bangsa Indonesia sudah tentu termasuk kewajiban bagi mereka. Sejarah berdirinya institut injil tersebut agak unik juga. Octavianus anak miskin yang lahir di Rote tahun 1928 adalah pendirinya. Lulus dari sekolah teologia di Bandung tahun 1957 ia menjabat direktur SMA dan SPG Kristen. Di samping itu ia jadi rektor Akademi Pendidikan Guru Nasional di Malang (kini IKIP). Tergetar oleh khotbah seorang pendeta kemudian dia berketetapan hati meninggalkan semua kedudukan tadi. Seorang diri ia berangkat ke Batu yang dingin. Mendirikan gubuk bambu di sana. Cerita itu berkisah pula tentang menyatunya Octavianus dengan masyarakat setempat. Ia membantu kehidupan penduduk di situ, termasuk memikul air dari pancuran. "Teman-teman mengatakan saya sudah gila waktu itu," cerita Octavianus. Dari gubuk bambu itu kabarnya perlahan-lahan dia merintis pembangunan institut yang sudah berkembang seperti sekarang. Pak pendeta sekarang bukan hanya seorang rektor dari perguruan yang dia bangun. Ia juga wakil presiden dari World Evangelical Fellovship. Di kampusnya yang luas dan sejuk itu ada pula Yayasan Persekutuan Pengabaran Injil Indonesia yang memiliki bagian missi, pembinaan pemuda dan menjadi pemilik dari Institut Injil Indonesia tadi. "Semua itu bisa terwujud hanya karena do'a," kata Octavianus. Juga karena kerja keras Pak pendeta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus