Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Swasembada Beras Usai Diguncang

Laporan bank dunia mengulas indonesia berhasil membatasi pestisida, mengulas soal hutan, air dan sejumlah masalah. disarankan ada tindakan perlindungan dalam konservasi sumber alam dan lingkungan.

25 Juni 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA mendapat acungan jempol dari banyak negara. Sejak 1986 pemerintah dianggap tegas membatasi penggunaan pestisida. Begitu kata Menteri Keuangan J.B. Sumarlin kepada wartawan di Bina Graha pekan silam. Lalu ia memperlihatkan sebuah buku bersampul biru. Berjudul Integrated Pest Management Protection Integree: Quo Vadis? kitab itu disunting oleh Prof. Dr. V. Delucchi, seorang ahli dari Swiss Federal Institte of Technology, Zurich. Di samping dipersembahkan kepada Presiden Soeharto, buku tersebut semacam penghargaan atas suksesnya mengendalikan hama secara terpadu setelah keluar Inpres No. 3, November 1986. Swasembada beras waktu itu diPuncan munculnya wereng cokelat biotipe baru yang kebal pestisida. Dari hampir 10 juta hektar areal padi, sekitar 200 ribu hektar dirusakkan oleh wereng cokelat yang ganas - akibat digunakan pestisida secara besar-besaran. Keseimbangan ekologi berubah, banyak predator alami musnah - karena pestisida juga. Setelah Instruksi Presiden tadi, 57 jenis pestisida untuk membasmi penyakit yang menyerbu padi dilarang dipakai. Dengan paket teknologi, seperti suprainsus, secara bertahap kondisi parah akibat wereng itu bisa diatasi. Selain sumber alam lebih efisien dimanfaatkan, produksi meningkat dan pendapatan petani ikut bertambah. Laporan Bank Dunia, Mei lalu, juga mengulas Indonesia berhasil membatasi pestisida. Sektor lain mungkin bisa dijadikan pertimbangan dalam menumbuhkan perekonomian Indonesia. Misalnya padatnya penduduk di Jawa, Madura, Bali Lombok, yang mencapai 788 orang tiap km2. Itu bukan kebanggaan - apalagi jika benar disebut terpadat di dunia. Maka, daya serap tenaga kerja di sektor pertanian - masih juga di Jawa - kian terbatas. Kesempatan kerja lain ada di industri. Karena itu, pertumbuhan tenaga kerja diarahkan ke sektor jasa atau ke apangan pertanian di luar Pulau Jawa. Sebagai konsekuensinya, terjadi tekanan terhadap hutan di luar Jawa itu. Dan pembukaan hutan itu tak selalu bermanfaat baik, misalnya dikonversi menjadi lahan pertanian, padahal tak cocok. Syahdan banyak pula penduduk yang mengolah lahan cara nomaden, berpindah-pindah, hingga suburan tanah rusak. Hutan bahkan di hantui bahaya kebakaran - karena belukar dibakar dulu sebelum tanah hutan digarap. Mereka itu, menurut Bank Dunia, sekitar 2 keluarga. Sekitar 3,6 juta hektar hutan di Kalimantan Timur pada 1983 dilahap si jago merah. Dugaan penyebabnya beragam: ada lapisan batu bara yang mudah terbakar, atau tumpukan ranting kering di musim kemarau. Tapi mengawasi hutan yang ratusan juta hektar di Indonesia itu memang tak mudah. Bila kerusakan itu dipulihkan (penting untuk melindungi persediaan air tanah), keputusan apa yang harus diambil pemerintah? Dalam laporan Bank Dunia: industri pengolahan kayu dan pertanian berpindah mesti dikembalikan ekosistemnya. Analisa budget petani yang dikumpulkan Bank Duma memperhhatkan, bila petani berpindah itu dikembalikan ke sistem buruh tani, gaya nomaden memberi penghasilan lebih rendah. Begitu pula bila dibandingkan dengan menjadi buruh pengolahan kayu. Tetapi lebih tinggi bila mereka memproduksi tanaman keras, seperti karet dan kelapa sawit. Maka, pemanfaatan tanah lebih menarik dilakukan dengan intensifikasi, di samping mengembangkan mekanisme alokasi tanah yang dapat digunakan optimal pada lahan terbatas. Ini untuk tanaman keras dan produksi kayu. Dengan demikian, diharapkan nilai produksi kayu itu bisa dihitung secara ekonomis - demi proyek pembangunan. Hasil hutan yang menghasilkan devisa terbesar di antara komoditi nonmigas lainnya mengandung biaya tinggi untuk membayar kcmbali hutan yang tclah rusak. Itu penting juga bagi pengadaan bahan baku kayu di masa depan. Laporan Bank Dunia mengambil contoh di Kalimantan, yang hutannya sekitar 45 juta hektar itu. Dari 26 juta hektar yang berproduksi tetap, hanya 15 juta yang benar-benar berproduksi tetap. Jika dihitung bersama hutan di pulau-pulau lain, rata-rata secara ekonomis hutan Indonesia yang dapat diolah itu 35 juta hingga 45 juta hektar. Perkiraan tersebut masih kasar - dan masih menurut laporan Bank Dunia. Dalam pada itu, ada indikasi bahwa kerja yang lebih efisien itu bisa dilaksanakan. Dan Bank Dunia mencatat: Indonesia merupakan negara terkaya hasil alamnya yang menyimpan banyak sumber biologis. Lalu dalam laporan itu disarankan antara lain soal tindakan perlindungan. Syahdan, mumpung Indonesia masih menerima bantuan dana luar negeri serta bantuan teknis, yang bisa dimobilisasi untuk konservasi sumber alam itu. Dua lain yang besar tentang lingkungan yang dikupas Bank Dunia adalah jumlah air dan mutu pengelolaannya di Jawa, serta polusi di sektor Industri dan energi. Masalah yang dianggap mendesak antara lain menyangkut manajemen suplai air dan meningkatkan kualitas air. Bersamaan dengan itu, pengawasan polusinya harus diperhatikan, plus soal banjir dan kekurangan air. Dan ada 8 sungai yang disebut polusinya merebak, seperti di Jabotabek, Surabaya, Solo. Di antaranya Sungai Citarum. Polusi itu, di samping datang dari limbah industri, juga dari buangan punduduk. Rupanya, polusi berkembang seiring dengan perkembangan kemakmuran masyarakat. Dan itu berkat kemajuan industri, yang kini terkonsentrasi di wilayah utara Jawa. Sektor industri itu, di samping sektor energi, memang paling cepat pertumbuhannya. Tapi polusi udaranya banyak terlihat di Jakarta, Surabaya, Bandung. Buangannya antara lain sulfur, nitrogen oksida, karbon monooksida, berbagai metal, dan polusi suara. Laporan Bank Dunia yang rinci itu sudah diketahui Emil Salim, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. "Kita memang minta Bank Dunia ikut melihat masalah, per bantuan, dalam lingkup pembangunan dengan mempertimbangkan lingkungan seperti yang dianut Indonesia," katanya. "Sedangkan pemahamannya di tingkat menteri tak ada masalah, karena di tiap departemen kini punya komisi Andal, analisa dampak lingkungan." Dan bagaimana lanjutannya dalam operasional nanti? Suhardjo Hs., Diah Purnomowati (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus