GEJOLAK yang terjadi di kampus Sekolah Tinggi Manajemen Indonesia (STMI) Jakarta belum ada tanda-tanda berakhir. Mahasiswa yang resah karena merasa status kampusnya tak jelas, Rabu pekan lalu, berhasil menemui Menteri Perindustrian Ir. Hartarto. Menteri mempersilakan ratusan mahasiswa itu ke ruang Garuda di gedung Departemen Perindustrian untuk menyampaikan unek-unek. Hartarto didampingi Sekjen Tuk Setyohadi dan pimpinan lengkap STMI. Tiga mahasiswa angkat bicara. Semuanya mengangkat kembali tuntutan yang pernah disampaikan, baik ke dekan STMI maupun ke DPR (TkMlo, 18 Juni). Ada yang menambahkan hal lain yang ringan, misalnya pimpinan STMI kurang komunikatif. Banyak mahasiswa, katanya, yang tak kenal dekan STMI. Menteri Hartarto menanggapi semua tuntutan mahasiswa. Tentang dekan STMI yang kurang dikenal mahasiswa itu, Hartarto meminta agar Ir. Mulyadi, pejabat yang dimaksud, berdiri memperkenalkan diri. Dekan yang baru dilantik Februari lalu ini langsung berdiri. "Saya berterima kasih atas unjuk rasa yang berlangsung dengan tertib ini," katanya. Mahasiswa menyambutnya dengan tepuk tangan. Kepada para mahasiswa, Hartarto menegaskan bahwa STMI tetap eksis. Mengenai status sekolah tinggi itu, Hartarto menyebutkan, "sekolah yang dibina oleh Departemen Perindustrian." Artinya, menurut Hartarto, STMI yang punya program pendidikan diploma itu tak dapat dikatakan sebagai sekolah kedinasan yang lulusannya semuanya ditampung di Departemen Perindustrian. "Kedinasan itu dari aspek pengelolaan. Tidak berarti tamatannya itu akan langsung menjadi pegawai Departemen Perindustrian. Pola pikir semacam itu salah," kata Hartarto. Akhirnya, Hartarto mengharapkan agar mahasiswa segera kembali ke kampus dan kuliah sebagaimana biasa. Menteri berjanji akan menurunkan uang kuliah - serta mengangkat dosen-dosen yang berbobot. Pertemuan itu tak berhasil meredakan ketegangan. Malah status STMI bagi sejumlah mahasiswa tambah kacau. Kalau bukan sekolah kedinasan, kenapa tidak sebagai PTS (perguruan tinggi swasta) yang biasa saja? Akhirnya, ada 419 mahasiswa yang membubuhkan tanda tangan, menyatakan tidak puas tentang hasil pertemuannya dengan Menteri Hartarto. Mahasiswa yang berjaket biru tua itu menyatakan tetap akan melakukan aksi mogok kuliah. Pertemuan antara orangtua mahasiswa dan pimpinan STMI, yang berlangsung Kamis malam pekan lalu, juga tak membawa hasil apa-apa. Malah menjurus pada keberingasan. Ketika Roy Maningkas, salah seorang penggerak mahasiswa, berbicara, aliran listrik tiba-tiba mati. Seorang karyawan yang dianggap punya ulah digebuki mahasiswa. Lalu ban mobil Pembantu Dekan STMI Dipl. Ing. Tjipto dikempesi. Kemudian, Senin siang pekan ini, 30 mahasiswa STMI datang ke DPR menemui Marzuki Darusman dari FKP--wakil rakyat yang sebelumnya sudah menerima delegasi mahasiswa itu. Ia meminta agar para mahasiswa menahan diri dari segala bentuk keributan atau bentrok fisik. "Terus terang kami butuh waktu untuk melakukan negosiasi dengan Departemen Perindustrian dan Departemen P & K," katanya. Departemen Perindustrian ternyata bukan cuma mengurusi pabrik-pabrik, tetapi juga beberapa lembaga pendidikan tinggi. Di Yogya ada Akademi Teknologi Kulit (ATK). Di Bogor berdiri Akademi Kimi^. Analisis (AKA). Di Padang dan Ujungpandang ada Akademi Teknologi Industri (ATI). Di Medan ada Pendidikan Tinggi Kimia Industri (Pl'KI). Di Bandung berdiri Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (STTT). Di Jakarta sendiri, selain STMI ada Akademi Pimpinan Perusahaan (APP). Anehnya, mahasiswa yang mempersoalkan status itu hanya di STMI. Padahal, semua sekolah tinggi atau akademi tadi statusnya sama dengan STMI. Kenapa mahasiswa lainnya tenang? Mungkin karena di STMI saja ada janji yang belakangan dibantah pimpinan STMI - bahwa lulusannya semua ditampung di Departemen Perindustrian. Di ATK Yogya, misalnya, mahasiswa tak pernah dijanjikan akan disalurkan pekerjaan setelah lulus. "Kami memang tak menjamin hal itu," kata Soewandi, Direktur ATK. Demikian juga di STTT Bandung. Sekolah tinggi yang sebelum 1982 bernama Institut Teknologi Tekstil ini sudah sejak awal berdirinya menerima mahasiswa umum bukan karyawan Departemen Perindustrian. "Kita tak menuntut macam-macam ke Departemen Perindustrian. Saya optimistis, lulusan STTT banyak dibutuhkan di perusahaan-perusahaan," kata Asep Subagia, mahasiswa Jurusan Teknik Tekstil STTT. "Kita 'kan harus realistis. Lapangan kerja di pegawai negeri 'kan terbatas." Tampaknya, itulah kekhususan lembaga pendidikan di bawah Departemen Perindustrian. Beda dengan departemen lainnya. Akademi Agraria Yogyakarta, misalnya, yang di bawah Departemen Dalam Negeri betul-betul "murni" sekolah kedinasan. Mahasiswanya semua ikatan dinas dan sudah berstatus Deawai negeri. Begitu pula Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) Jakarta yang di bawah Departemen Keuangan. Mereka mencari mahasiswa dari umum tetapi jalurnya sudah jelas: pegawai negeri di departemen yang mengasuhnya. Bahkan mahasiswa STAN begitu memasuki semester tiga sudah diusulkan sebagal calon pegawai negeri. Karena itu, ada pernyataan lulusannya bersedia ditempatkan di mana saja. Akademi-akademi di bawah Departemen Kesehatan lain lagi. Mahasiswanya diambil dari dua jalur, yaitu ikatan dinas dan umum - yang terakhir ini bahkan disaring mendompleng Sipenmaru. Akademi ini pun murni sekolah kedinasan, semua lulusannya terjamin memperoleh pekerjaan, entah itu di Departemen Kesehatan termasuk rumah sakit pemerintah - atau di swasta. Agar ada jaminan itu, penerimaan mahasista baru benar-benar melihat permintaan tenaga. Agus Basri dan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini