SELEKSI Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru) ternyata punya buntut di Yogyakarta. Ngatinah, 22 tahun, penyandang cacat mata yang ditolak mengikuti Sipenmaru, Senin pekan lalu mengadukan nasibnya ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Ia merasa dipermalukan di depan orang banyak dan dirugikan moril dan materiil. "Saya sangat kecewa," kata Ngatinah. Pengacara LBH, Nur Ismanto, sudah menanyakan kasus Ngatinah ini ke Panitia Ujian Masuk Lokal (PUML) IKIP Yogya, dan kini sedang menunggu jawaban. Tak tertutup kemungkinan untuk meneruskan kasus ini, misalnya, lewat pengadilan. Tapi melihat perkembangan permasalahan, kasus ini tampaknya berakhir "damai". Pada hari pertama Sipenmaru itu, I Juni lalu, Ngatinah dengan wajah berseri-seri berangkat ke IKIP Negeri Yogyakarta, tempat dilangsungkannya Sipenmaru. Tak sulit ia mencari lokasi ujian, karena sehari sebelumnya ia sudah mendatanginya. Begitu bel berdering, Ngatinah memasuki ruang ujian, dengan dibimbing Suryati. Kegembiraan gadis yang cacat netra sejak lahir itu tak berlangsung lama. Seorang petugas meminta Ngatinah dan Swryati keluar ruangan dan melapor ke Posko Panitia. "Saya pikir, mau dipindahkan, biar tidak mengganggu peserta lain. Eh, nggak tahunya malah dilarang," tutur Ngatinah kemudian. Petugas tadi memang menyebutkan bahwa dia tak diizinkan mengikuti Sipenmaru. Larangan itu membuat Ngatinah syok. Ia menangis. Suryati juga ikut menangis. Tapi kemudian Ngatinah menghubungi Frans Darsana, Ketua Federasi Kesejahteraan Tunanetra Indonesia (FKTI). Frans segera mengurus persoalan itu ke Posko. Sekitar pukul 12.00, Frans, yang juga dosen FIP IKIP Yogyakarta, mengabarkan berita bagus. Ngatinah boleh ikut Sipenmaru, dengan syarat tak boleh dibantu pendamping. Namun, celakanya, tak ada perhitungan soal waktu. Bahkan ujian Sipenmaru pagi itu hampir selesai. Ngatinah memutuskan un-tuk tak menggunakan kesempatan itu. "Tak mungkin lagi. Kesedihan saya sulit dikatakan," katanya. Lulusan SMAN (terpadu) Plered, Bantul, itu akhirnya pulang ke rumahnya, Desa Jambidan, Bantul, dengan hati terluka. Tak berarti ia menerima begitu saja nasib dirinya. Dan jalan itulah yang akhirnya ditempuhnya, mengadu ke LBH. Ia ingin kepastian kenapa ia ditolak ikut Sipenmaru. Adakah larangan bagi penyandang tunanetra untuk mengikuti Sipenmaru? Ketua Panitia Pusat Sipenmaru, Prof. Sidharta Pramoetadi, dengan jelas menyebutkan tidak ada larangan itu. "Saya juga heran dengan kasus di Yogya itu. Tidak ada surat larangan dari Jakarta. Tulis itu," kata Pramoetadi. Bahkan, menurut guru besar ITB ini, pengawas yang melarang Ngatinah ikut tes bisa diperkarakan. Menurut Pramoetadi lagi, peraturan yang dibikin sudah jelas dan sudah disebarkan. "Tak ada perkecualian buat penyandang cacat," katanya. Soal bagaimana pelaksanaan penyandang cacat itu ikut Sipenmaru, semuanya tergantung kebijaksanaan PUML setempat. Di wilayah PUML Bandung, misalnya dari 46 ribu peserta Sipenmaru tahun ini, ada 20 penyandang cacat mata. Mereka datang dari SMA Wiyata Guna, Bandung. Agar mereka tak mengganggu peserta yang normal, para tunanetra ini disediakan ruangan khusus. Mereka itu disertai pendamping masing-masing. Materi ujian dibacakan oleh pendamping. Bahkan, nama pendamping itu ikut dicantumkan di kertas jawaban. Dan berdasarkan pengamatan Pramoetadi, sejauh ini tak ada persoalan apa-apa. Di wilayah PUML Yogya tak ada ruangan khusus untuk cacat netra. Ketika Ngatinah membeli formulir.pendaftaran Sipenmaru seharga Rp 15 ribu, soal cacat matanya itu sudah diterangkan. Tak ada persoalan. Begitu pula sewaktu mengembalikan formulir itu ke IKIP Negeri Yogyakarta, tak ada kesulitan. Bahkan, menurut Ngatinah, ketika itu ia dianjurkan supaya membawa pendamping saat Sipenmaru berlangsung. Suryati, yang menjadi pendampingnya, ditunjuk oleh pengurus Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) Cabang Yogyakarta. Namun, menurut Prof. Dr. Djohar Ms. Ketua PUML IKIP Yogya - di Yogya PUML ada dua, IKIP dan UGM - tak ada petugas yang menganjurkan agar Ngatinah membawa pendamping. Bahkan, menurut Djohar, ketika menyerahkan formulir Sipenmaru, Ngatinah menunjukkan bisa melihat dan menulis sebagaimana orang normal. "Saat tes, kok, membawa pemandu. Hal itu yang tidak dibenarkan," kata Prof. Djohar Ms. Memang betul, walau "penyakit" yang diderita Ngatinah dibawa sejak lahir, ia bukanlah tak bisa melihat sama sekali. Ia masih bisa membaca dalam jarak dekat. Dua tahun lalu matanya dua kali dioperasi di RS Mata YAP Yogyakarta. Sayang, tak juga ada perubahan. Untuk mengikuti pelajaran di kelas, teman sebangkunya dengan sukarela mendiktekan apa yang ditulis guru di papan tulis. Ia bukan gadis yang pintar, tapi tak bisa juga disebut bodoh. Prestasinya biasa-biasa saja. Setelah tamat SD, ia sempat menganggur selama dua tahun. Ia punya kelainan tubuh - selain mata tadi yaitu cebol. Tingginya kurang dari satu meter dan beratnya kini hanya 27 kg. Itu yang membuat anak bungsu dari tiga bersaudara keluarga Amat Saeran ini seperti minder. Setelah SMP, rasa minder itu berkurang. Dan dengan segala kekurangan fisiknya, ia menyelesaikan juga SMA tahun ini dengan NEM (Nilai Ebtanas Murni) 36. Kini Ngatinah punya tekad keras untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Ia pilih perguruan tinggl negeri karena keluarganya, petani mehnJo, tak mampu menyekolahkan ke swasta, yang jelas lebih mahal. "Saya tetap ingin ikut Sipenmaru. Gagal sekarang, ya, tahun depan," katanya. Karena itu, pengaduannya ke LBH juga untuk kepastian, "apa saya boleh atau tidak boleh ikut Sipenmaru." Dengan penjelasan Prof. Pramoetadi semuanya jadi terang. Kasus Ngatinah, dengan kata lain, hanya kesalahpahaman. Pengawas Sipenmaru memperlakukan Ngatinah sebagai orang normal, karena itu dilarang membawa pendamping. Sementara itu, Ngatinah ingin diperlakukan sebagai tunanetra sebagaimana rekan-rekannya di Bandung. Kebetulan PUML Yogya tak menyiapkan ruangan khusus - barangkali tak menduga ada peserta seperti Ngatinah itu. Tentu tahun depan Ngatinah bisa mengulang Sipenmaru, sepanjang peraturan tak diganti. "Sekarang saya kursus bahasa Inggris, mengisi waktu kosong," kata gadis ini. Itu lebih baik. Yusroni Henridewanto, I Made Suarjana (Yogya), Riza Sofyat, dan Hedy Susanto (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini