Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berita Tempo Plus

Penguasa dan Monopoli Pahlawan

16 November 2003 | 00.00 WIB

Penguasa dan Monopoli Pahlawan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Asvi Warman Adam Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

SIDNEY Hook dalam buku The Hero in History membedakan antara eventful man dan event-making man. Yang pertama adalah orang yang terlibat peristiwa, sedangkan yang kedua adalah orang yang membuat peristiwa. Bisa saja seorang tokoh beruntung karena berada pada posisi dan waktu yang tepat, mengambil keputusan yang berdampak besar bagi masyarakat luas.

Namun figur dalam kelompok kedua adalah orang yang mampu mengendalikan peristiwa, bahkan mengarahkan masyarakat sesuai dengan tujuan yang diinginkannya. Sukarno (sebagaimana halnya Mahathir bagi Malaysia) dengan pidato-pidatonya yang inspiratif dapat dimasukkan ke dalam kategori ini. Masalahnya, apakah tokoh yang berprofesi militer termasuk jenis yang pertama atau kedua. Kenyataannya, taman makam pahlawan didominasi militer dan seperempat dari pahlawan nasional berasal dari profesi ini.

Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata saat ini dihuni oleh sekitar 7.000 orang tokoh. Enam ribu di antaranya berasal dari militer dan hanya seribu orang dari kalangan sipil. Militer didominasi oleh Angkatan Darat, 5.000 orang dan sisanya 1.000 orang lagi dari Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Polri. Dari kalangan sipil yang berjumlah 1.000 itu hanya 23 orang pahlawan nasional (di antaranya H. Agus Salim).

Sejak dilakukan pemindahan makam dari Ancol ke Kalibata pada 1959 sampai hari ini terdapat sekitar 125 orang pahlawan nasional. Seperempat di antaranya berasal dari militer. Peristiwa G30S-1965 dengan seketika melahirkan 10 orang pahlawan, yaitu 6 jenderal AD dan seorang perwira pertama yang diculik dan dibunuh di Lubang Buaya, seorang polisi Karel Satsuit Tubun (pengawal rumah Waperdam Leimena), serta 2 orang perwira lain yang tewas di Yogyakarta (Katamso dan Sugiono).

Dari lima tokoh yang diangkat sebagai pahlawan nasional tahun 2002, terdapat dua orang militer, yaitu Jenderal Nasution dan Jenderal G.P.H. Jatikusumo.

Mengapa banyak militer yang menjadi pahlawan, terutama yang menghuni taman makam pahlawan? Jawabannya terdapat pada definisi pahlawan itu sendiri, seperti tercantum dalam Peraturan Presiden No. 33 Tahun 1964. Pahlawan adalah a) warga negara RI yang gugur dalam perjuangan—yang bermutu—dalam membela bangsa dan negara, b) warga negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara yang dalam riwayat hidupnya selanjutnya tidak ternoda oleh suatu perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannya.

Kriteria pertama mengacu kepada militer, sedangkan yang kedua kepada kalangan sipil. Peluang militer lebih banyak untuk menjadi pahlawan seperti diberikan oleh kriteria di atas. Sedangkan untuk sipil, masih diganjal dengan ketentuan "tidak ternoda"—yang tampaknya ditujukan kepada tokoh yang pernah terlibat dalam pergolakan seperti PRRI/Permesta. Pada masa mendatang, ketentuan di atas tentu perlu ditinjau kembali.

Persyaratan untuk memperoleh "kapling" di TMP Kalibata, selain pahlawan nasional, mereka adalah orang yang pernah mendapat bintang tanda jasa. Contohnya Bintang Republik Indonesia, Bintang Mahaputra, Bintang Gerilya, Bintang Utama, ataupun bintang-bintang yang memang disediakan bagi empat angkatan, yaitu Bintang Kartika Eka Paksi (Darat), Bintang Yalasena Utama (Laut), Bintang Swa Bhuana (Udara), dan Bintang Bayangkara (Polri). Itulah sebabnya militer sangat dominan dalam daftar penghuni TMP.

Kini terjadi pergunjingan di tengah masyarakat tentang pahlawan. Apakah pengangkatan seseorang sebagai pahlawan betul-betul karena jasanya atau disebabkan faktor lain seperti politik atau kolusi dan nepotisme? Demikian pula dengan penganugerahan bintang jasa yang terkesan diobral pada masa Soeharto sampai Habibie. Pada saat itu orang-orang yang dekat dengan presiden, termasuk para menteri (atau mantan menteri) beserta istri mereka, diberi bintang jasa. Bahkan istri Presiden Soeharto, Ny. Suhartinah, diangkat jadi pahlawan nasional tahun 1996. Pada era Megawati, masih terdengar komentar miring ketika mertua Presiden Megawati mendapat Bintang Mahaputra Nararya. Ayahanda Taufiq Kiemas itu pernah menjadi pejabat tinggi di Departemen Perdagangan tahun 1957-1967. Namun tidak dijelaskan kepada pers apa jasa beliau yang menonjol sekali.

Untuk mengatasi hal ini, perlu dilakukan beberapa hal. Pertama, seyogianya pengangkatan pahlawan dan pemberian bintang tanda jasa dilakukan secara transparan. Sebaiknya nama calon pahlawan atau penerima tanda jasa itu diumumkan di surat kabar sehingga dapat dilakukan uji publik. Kalau tidak ada keberatan dari masyarakat, baru diangkat. Dengan cara seperti ini, segala macam kolusi tentu akan segera ketahuan. Memang pengangkatan pahlawan dan pemberian tanda jasa ini merupakan hak prerogatif presiden. Tanpa mengurangi hak tersebut, sistem yang lebih terbuka akan menyebabkan semuanya berjalan lebih baik.

Kedua, kriteria pahlawan nasional itu perlu ditinjau kembali, disesuaikan dengan perkembangan zaman. Peraturan presiden itu dibuat tahun 1964, sudah beberapa puluh tahun silam. Dengan demikian, bukan bidang kemiliteran saja yang memiliki peluang, tetapi tokoh di bidang lain seperti ekonomi, sosial-budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi juga bisa masuk.

Ketiga, jangan sampai ada pahlawan yang terkena cekal seperti pada masa Orde Baru. Sebelum tahun 1965, Tan Malaka telah diangkat menjadi pahlawan nasional seperti dikemukakan dalam tulisan Taufik Abdullah dan Helen Jarvis. Namun, dalam buku Album Pahlawan Bangsa terbitan Mutiara Sumber Widya tahun 2001 dengan kata sambutan Direktur Urusan Kepahlawanan Departemen Sosial dan Direktur Sarana Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dari 109 orang pahlawan (dari yang diangkat tahun 1959 sampai 2001) tidak tercantum nama Tan Malaka. Pencekalan pahlawan merupakan tindakan pelecehan sejarah bangsa. Kalau itu terus dipertahankan, kita tidak bisa menjadi bangsa yang besar, bangsa yang menghargai pahlawannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus