Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengenakan pakaian pelindung serba putih serta penutup kepala, Chairul Anwar Nidom dengan sangat hati-hati mengeluarkan 353 tabung kimia berisi serum darah orang utan. Sampel itu selama lima tahun tersimpan rapi di kotak pendingin di laboratorium Biosafety Level 3, Universitas Airlangga, Surabaya.
Saat itu, Januari 2010, Nidom sedang mencari jejak virus Ebola dalam serum darah orang utan. Ia berteori, bila bisa merebak di tubuh simpanse, monyet, bahkan manusia, kemungkinan besar virus ini juga muncul di tubuh primata lain yang hidup di kawasan tropis, seperti orang utan.
Ebola adalah virus dari genus Ebolavirus, famili Filoviridae. Asal katanya dari sungai Ebola di Kongo, Afrika. Bila terjangkiti virus ini, gejala yang ditimbulkan antara lain muntah, diare, sakit badan, perdarahan, demam, hingga kematian. Tingkat kematian bisa mencapai 100 persen.
Virus ini ditularkan lewat kontak langsung melalui cairan tubuh atau kulit. Masa inkubasinya 2-21 hari. Saat ini telah dikembangkan vaksin untuk Ebola yang tingkat efektivitasnya mencapai 100 persen bagi hewan primata seperti monyet. Namun untuk manusia belum ditemukan.
Dalam penelitiannya, Nidom menguji serologi enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA). Setetes serum orang utan diletakkan ke dalam 96 cawan mini yang tersusun di atas pelat selebar telapak tangan. Di cawan telah dimasukkan antigen Ebola buatan yang bertugas memancing antibodi Ebola dari serum.
Antibodi ini seharusnya muncul ketika pertama kali orang utan terjangkiti Ebola. Setelah satu jam, tersisa endapan antibodi dan antigen Ebola di dasar cawan. Pemandangan tersebut membuat Nidom bergidik. "Ada antibodi Ebola. Orang utan merespons virus ini," katanya kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu.
Keberadaan antibodi Ebola mengindikasikan spesies primata endemis Indonesia ini pernah disinggahi virus mematikan itu. Ratusan sampel darah dalam penelitian ini ia kumpulkan antara 2005 dan 2006 di Kalimantan. Nidom sempat mendiskusikan temuan ini dengan peneliti lain, tapi tak ditanggapi.
Kesempatan meneliti datang lagi menjelang akhir 2010. Ia bersama 11 peneliti gabungan dari Universitas Airlangga, Wisconsin University, dan Hokkaido University menjalankan pengujian kedua. Proyek ini bernama western blotting.
Dalam pengujian ini, gumpalan antibodi dan antigen Ebola dicampur dengan virus Ebola artifisial. Virus dibuat di laboratorium dengan metode kombinasi DNA menggunakan basis data peneliti dunia. Maklum, mustahil mendatangkan virus Ebola dari Afrika ke Indonesia. Begitu pula tak mungkin membawa serum orang utan ke luar negeri untuk diuji.
Pada uji ELISA, dari 35 persen sampel yang melahirkan antibodi pada uji tersebut, tak semuanya sebagai respons Ebola. Pengujian kedua amat kuat karena serum diuji langsung dengan virus Ebola. Hasilnya menegaskan temuan pertama, yakni Ebola pernah bersarang di tubuh orang utan.
"Sebanyak 65 dari 353 orang utan terjangkiti Ebola," ujarnya. Hasil penelitian ia kirim ke jurnal online Plos One dan terbit pada 18 Juli 2012. Nidom bersama kelompok penelitiannya menjadi yang pertama di dunia menemukan jejak Ebola di tubuh orang utan.
Tulisan itu membuat pemerintah, peneliti, dan pegiat konservasi geger. Chief Executive Officer Borneo Orangutan Survival Foundation Jamartin Sihite mengatakan tak pernah terjadi kematian massal akibat Ebola pada 600-an orang utan yang dirawat lembaga konservasi ini.
Begitu pula Kementerian Kehutanan. Menurut Kementerian, pada 2005-2006 tak pernah ada wabah Ebola. Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam di Kalimantan juga tak memiliki catatan kematian massal orang utan. "Kami belum mendengar ada penyakit ini," kata Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Kehutanan Novianto Bambang, Rabu pekan lalu.
Kepala Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor Djoko Pamungkas ikut terkejut oleh temuan Nidom. Ahli virus di dunia tak pernah mengetahui keberadaan Ebola pada orang utan. Menurut dia, pembuktian keberadaan Ebola tak cukup dengan melihat keberadaan antibodi. "Harus ada pemeriksaan lanjutan," ujarnya.
Dunia virologi, kata Djoko, mengenal dua strain virus Ebola. Strain Afrika terdiri atas empat virus yang ditemukan di Zaire, Pantai Gading, Uganda, dan Sudan. Ebola jenis ini bisa menular dengan mudah dari monyet atau kera kepada manusia melalui udara atau sentuhan.
Strain Asia dikenal sebagai Ebola Reston. Virus ini diketahui memiliki tingkat ancaman kematian lebih rendah. Virus ini pertama kali ditemukan pada 1990 di Virginia, Amerika Serikat, dari kera ekor panjang yang ditangkap di Filipina.
Virus Ebola yang diteliti Nidom berasal dari strain Afrika. Namun ia belum tahu pasti apakah virus ini mewarisi tingkat bahaya yang sama dengan Ebola Afrika. Nihilnya kejadian wabah Ebola di Kalimantan menimbulkan rasa penasaran. Bisa saja Ebola pada tubuh orang utan itu bersifat tak berbahaya.
Misteri berikutnya adalah mengenai asal virus Ebola. Nidom heran bagaimana bisa virus Ebola pada orang utan yang ia teliti berasal dari Afrika, bukan Filipina—yang secara geografis lebih dekat dengan Indonesia.
Jika virus yang ditemukan merupakan strain Asia, penularan bisa terjadi melalui perantara kelelawar yang bermigrasi dari Filipina ke Kalimantan. Tapi, karena yang ditemukan adalah strain Afrika, Ebola mungkin berasal dari orang utan yang pernah dipelihara di luar negeri dan dibawa ke Indonesia.
Menurut Kementerian Kehutanan, pernah ada orang utan yang dipulangkan ke Indonesia setelah dipelihara di luar negeri. Namun Kementerian memastikan orang utan tersebut telah diperiksa kesehatannya melalui diagnosis tuberkulosis, hepatitis, hingga HIV. Ketika itu, belum ada pengujian terhadap Ebola karena virus ini tak pernah diketahui bersarang pada orang utan.
Setelah ada laporan ilmiah Nidom, peneliti lokal mulai berlomba melakukan penelitian untuk mengkonfirmasi virus Ebola. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Kementerian Kesehatan sedang mengajukan proposal pencarian virus Ebola dan sifat penularannya pada manusia. "Targetnya, penelitian dilakukan tahun depan," ujar Kepala B2P2VRP Bambang Heriyanto kepada Tempo di Salatiga, Selasa pekan lalu.
Nidom menyayangkan tak ada otoritas pemerintah yang khusus mempelajari penyakit yang berasal dari satwa liar. Padahal 70 persen penyakit pada manusia berasal dari satwa liar. "Sudah saatnya Kementerian Kehutanan memiliki laboratorium rujukan nasional bagi penyakit dari satwa liar," ujarnya.
Prosedur pencegahan penyebaran penyakit yang bersumber dari satwa liar juga belum ada. Hal ini berbeda dengan kasus flu burung, yang jelas prosedur pencegahannya. "Kalau kasusnya pada satwa liar, siapa yang mengkoordinasi?"
Kementerian Kehutanan membenarkan tak bisa meneliti langsung keberadaan virus Ebola. Kementerian lebih banyak mengurus konservasi satwa liar dan perlindungan habitat.
Jika ada temuan virus seperti ini, Kementerian Kehutanan harus berkoordinasi lagi dengan Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis. "Laporan sudah dikirim ke Komisi. Kami menunggu rekomendasi," ujar Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Novianto Bambang.
Sekretaris Komisi Pengendalian Zoonosis Emil Agustiono menyebut temuan Nidom sebagai peringatan dini bagi pemerintah. "Jika ada Ebola, Kementerian Kehutanan harus melakukan isolasi dan pengobatan," katanya.
Bagi Nidom, temuan ini adalah peringatan bagi pemerintah dan peneliti. Akibat respons yang lamban, ia khawatir Indonesia tak siap jika terjadi wabah Ebola. Padahal ancaman terus mengintai.
Wabah terakhir terjadi di Republik Demokratik Kongo pada pertengahan September 2012. Setidaknya 31 orang atau 90 persen penderita tewas. "Melihat situasi yang ada, lebih baik bekerja keras sekarang sebelum ada korban."
Anton William
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo