Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Peter Bercerita tentang Cinta

Film ini dipilih sebagai pembuka Q Film Festival, yang berlangsung hingga akhir pekan ini. Bernada optimistis dan menyentuh.

1 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Parts of the Heart
Sutradara/skenario:Paul Agusta
Pemain: Endy Arfian, Ardy Rinaldy, Bunaya Yulius, Elbert Powa, Tuhdil Haqiqi, Daud Sumolang, Joko Anwar, Ade Firza Paloh
Produksi: Kinekuma Pictures

Peter tidak hanya ada pada delapan cerita ini. Peter ada di mana-mana, di pojok Jakarta, di atas meja, di dalam lemari, di ruang pameran, atau di dalam saku baju kita. Peter melalui delapan periode dalam film Parts of the Heart ini adalah karya terbaru sutradara Paul Agusta, yang berupaya menyajikan kehidupan seorang lelaki gay di Indonesia dengan wajar.

Dalam film yang dibagi menjadi delapan segmen cerita pendek ini, Peter pada umur 10 tahun (diperankan Endy Arfian) sudah mengetahui dia menyukai teman lelaki sesama anggota Pramuka. Segmen Stolen­ Kiss yang mengandalkan gambar tanpa dialog ini membuka sebuah dunia yang ramah dan manis kepada sesuatu yang lazim ditutup rapat-rapat oleh keluarga Indonesia umumnya. Bagi seorang anak, mencuri ciuman kilat dan tersenyum ketika akhirnya berhasil melakukannya adalah kebahagiaan kecil yang sederhana, seperti halnya penggambaran Peter pada usia 15 tahun (Ardy Rinaldy) pada cerita kedua: Game Kiss.

Pada cerita kedua, Peter dan Marco, sama-sama berusia 15 tahun, masih bercelana pendek, sama-sama masih doyan main game, tengah didera lonjakan hormon. Marco tiba-tiba saja mencium Peter di antara keasyikan mereka main game, yang kemudian dilanjutkan dengan kekagetan (yang menyenangkan) dan dialog polos khas ABG (anak baru gede): apakah mereka sudah resmi pacaran, atau mereka harus ciuman dulu baru dianggap resmi. Setelah itu, kamera diarahkan pada seragam yang berserakan, remote game yang tergeletak, dan kerumpelan tisu bertebaran di mana-mana….

Sebuah perkenalan pertama Peter pada keintiman.

Dan selanjutnya kita berkenalan dengan Peter pada usia 18, 24, 28, 32, 36, dan 40 tahun. Semua diperankan oleh pemain yang berbeda. Yang tetap membuat penonton mengenal Peter adalah dua hal. Pertama, kacamatanya. Kedua, sikapnya yang selalu terbuka dan nyaman terhadap orientasi seksualnya.

Delapan cerita ini cukup beragam, dari soal ciuman pertama, getaran pertama, kehilangan kekasih pertama, putus pacar, perseteruan dengan kekasih yang menikah, kecemburuan, mencoba eksperimen, pacar yang tak berani terbuka kepada keluarga, hingga persoalan Peter dewasa yang mempertanyakan kebahagiaannya sendiri. Tak ada ratapan, tak ada rengekan yang berlarat-larat. Padahal homoseksualitas bukan sesuatu yang mudah diterima oleh masyarakat yang semakin konservatif dan semakin picik seperti di Indonesia. Tapi sutradara Paul Agusta sengaja tak memberi ruang untuk mengiba-iba. Apalagi untuk menganggap diri sebagai korban.

Tokoh Peter, yang sudah jelas merupakan alter ego sang sutradara, adalah tokoh yang kuat dan belajar mandiri justru karena tak ingin lari dari segala rasa hati yang pecah dan pedih. Setiap kali jatuh, dia melaluinya dan berupaya membuat keputusan.

Melalui Peter, siapa pun kita lantas belajar bahwa perjalanan hidup yang sulit justru membentuk dia menjadi dewasa secara emosional. Contohnya segmen The Last Time. Saat Peter mencapai usia 28 tahun, dia dihubungi kembali oleh kekasihnya yang sudah enam bulan menghilang. Di kamar hotel, Peter menanti selama tiga jam. Sang pacar datang, merayu, sekaligus mengumumkan kenapa dia menghilang. Alasan klasik: dia menikah atas tekanan keluarga. Sang pacar menawarkan agar mereka tetap berhubungan sebagai kekasih. Peter bersikap menolak tidak hanya karena dia ogah menjadi simpanan sang lelaki, tapi juga karena sejak awal Peter sudah nyaman dengan dirinya; kenapa dia harus hidup dalam percintaan tersembunyi?

Dua cerita lain terbaik adalah 3 dan The Couch and the Cat. Cerita 3 menggambarkan Peter yang sudah berusia 32 tahun (Daud Sumolang) dan Ricky (Sunny Soon) yang tengah mencari lelaki ketiga untuk bereksperimen. Untuk mencari lelaki ketiga itu, Peter dan Ricky rewel betul. Mereka berkonsultasi dengan Jeffrey (Jeffrey Sirie), karena dia dianggap sebagai gay yang paling bergaul. Pasangan itu lantas mencari sang lelaki melalui Internet dan melakukan proses wawancara segala. Lucu, gila-gilaan, dan menyenangkan. Dialog dan bahasa tubuh ketiga pemain begitu alamiah hingga kita tak percaya mereka semua adalah aktor.

Parts of the Heart bukan hanya film yang asyik ditonton karena kita menyaksikan kehidupan tokoh gay yang jujur dan terbuka tentang dirinya. Parts of the Heart juga memberi optimisme bahwa, mudah-mudahan, suatu hari kehidupan di dalam film ini bisa menjadi bagian dari kehidupan kita yang wajar tanpa guncangan dan pelecehan.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus