Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amir Effendi Siregar*
DUA aturan represif produk sistem politik otoriter kenyataannya masih berlaku: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986. Secara mengejutkan, pemerintah pada 20 April 2012 mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah, yang tidak kalah represif.
Peraturan baru Menteri Dalam Negeri itu mendasarkan diri pada Undang-Undang Ormas 1985. Sedangkan Rancangan Undang-Undang Ormas yang baru masih dalam pembahasan. Peraturan itu penuh semangat antidemokrasi. Semua organisasi kemasyarakatan wajib mendaftarkan diri dan memperoleh surat keterangan terdaftar, yang dapat diperpanjang, dibekukan, bahkan dicabut.
Surat keterangan terdaftar itu seolah-olah izin operasi yang dapat dibekukan dan kemudian dicabut jika, antara lain, "menyebarkan ideologi Marxisme, ateisme, kapitalisme, sosialisme, serta ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945". Pembekuan juga bisa dilakukan dengan banyak alasan lain, yang bersifat karet dan multitafsir.
Demokrasi telah kita pilih sebagai jalan hidup berbangsa dan bernegara. Jaminan utama yang diperlukan dalam kehidupan demokrasi adalah kemerdekaan berekspresi, berbicara, berpendapat, berorganisasi, dan kemerdekaan pers. Selama ini kita merasa jaminan itu relatif telah kita peroleh. Selanjutnya, secara paralel kita memperjuangkan demokrasi ekonomi, sosial, dan budaya. Namun Rancangan Undang-Undang Ormas dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 bakal menarik mundur kembali ke negara otoriter.
Undang-Undang Ormas Tahun 1985 dimaksudkan untuk mengontrol ketat organisasi kemasyarakatan, termasuk membubarkannya jika dianggap bertentangan dengan kemauan pemerintah dan negara. Rancangan penggantinya, terutama versi Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat, pada dasarnya tidak banyak berbeda. Legislator mengatakan tak mungkin undang-undang baru bersifat represif. Namun, harus disadari, asal-muasal kelahiran (raison d'etre) rancangan itu adalah mengontrol secara ketat organisasi kemasyarakatan, termasuk melakukan tindakan represi.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 juga antidemokrasi. Proses pendaftaran, berdasarkan peraturan itu, harus melalui jalan rumit: mulai kelengkapan administratif, seperti anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, hingga rekomendasi dari instansi terkait sesuai dengan bidang ormas. Harus ada pernyataan kesediaan pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat yang namanya tercantum dalam kepengurusan. Artinya, jika di kepengurusan ada 100 atau 1.000 tokoh masyarakat, semua harus membuat pernyataan.
Semua dokumen akan diperiksa oleh petugas peneliti dokumen dan peneliti lapangan. Lewat penelitian ini, antara lain, dinyatakan apakah surat keterangan terdaftar dapat diterbitkan atau tidak. Menteri atau gubernur dan wali kota menerbitkan surat keterangan yang berlaku lima tahun, sesuai dengan tingkatan organisasinya, apakah kota, provinsi, atau nasional.
Organisasi kemasyarakatan yang dimaksud, baik pada Undang-Undang Ormas 1985, rancangan penggantinya, maupun peraturan Menteri Dalam Negeri, dibentuk secara sukarela atas kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan. Organisasinya tidak berafiliasi atau merupakan sayap organisasi partai politik.
Rumusan itu sangat luas dan bersifat sapu jagat. Artinya, organisasi seperti Persatuan Wartawan Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen, Serikat Perusahaan Pers, dan banyak organisasi kemasyarakatan sipil, baik lokal maupun nasional, wajib mendaftarkan diri. Mereka wajib memperoleh surat keterangan terdaftar, meski mungkin sudah memperoleh pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sejak 2006, belasan organisasi kemasyarakatan sipil yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan Berekspresi telah melawan agar Undang-Undang Ormas dan rancangan penggantinya dibatalkan. Pada awal 2012, setelah keluarnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33, Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran, yang terdiri atas 14 ormas sipil bidang media, bergabung dan menjadi Koalisi Kemerdekaan Berserikat dan Berekspresi. Koalisi kini beranggotakan 29 organisasi.
Koalisi berpendapat, antara lain, Undang-Undang Ormas salah kaprah dan salah arah. Aturan itu seharusnya dicabut, bukan direvisi sebagaimana usul DPR dan pemerintah. "Ormas" adalah bentukan rezim Orde Baru yang sebetulnya tidak memiliki tempat dalam kerangka hukum di Indonesia tapi dipaksakan untuk mengontrol.
Kerangka hukum Indonesia mengakui dan mengatur dua jenis organisasi kemasyarakatan. Organisasi tanpa anggota diatur oleh Undang-Undang Yayasan. Sedangkan organisasi yang berbasis anggota diatur dalam peraturan Staatsblad 1870-64 tentang Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen).
Banyak pihak mempertanyakan soal transparansi dan akuntabilitas organisasi kemasyarakatan sipil. Untuk itu, selain UU Yayasan dan Staatsblad tentang Perkumpulan, telah diterbitkan antara lain Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-undang ini mewajibkan ormas sipil menyediakan informasi publik, seperti asas dan tujuan, program, sumber dana, serta pengelolaan keuangan. Demikian pula kewajiban di bidang perpajakan.
Tindakan kekerasan yang dilakukan sejumlah ormas tidak layak dijadikan pertimbangan untuk membuat undang-undang baru. Sebab, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lebih dari cukup untuk menjerat pelaku, baik mereka yang turut serta, memerintahkan tindak kejahatan, maupun yang menyatakan kebencian terhadap satu golongan secara terbuka. KUHP juga mengatur delik yang memberikan konsekuensi pidana kepada pelaku ataupun perencana tindak pidana.
Membubarkan organisasinya sama dengan menghukum secara tidak adil mereka yang tak terlibat kejahatan. Sedangkan pelaku memperoleh impunitas dan dapat saja mendirikan organisasi baru.
Undang-Undang Ormas, rancangan penggantinya, juga Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 menghambat kemerdekaan berekspresi, berbicara, berserikat, dan kemerdekaan pers. Organisasi media, pers, dan wartawan atau jurnalis dapat diklasifikasikan bermasalah dan melanggar undang-undang karena pemberitaan, artikel, serta informasinya sering kali menyebarkan ideologi lain yang dianggap tidak sesuai dengan Pancasila.
Padahal, dalam alam demokrasi, media, termasuk wartawan dan jurnalis yang profesional, berkewajiban menyajikan informasi dari berbagai sudut pandang agar pembaca dapat memperoleh informasi komprehensif guna meningkatkan pengetahuan dan kesejahteraan hidupnya. Demokrasi juga harus menjamin dan memberi ruang gerak yang memadai bagi organisasi kemasyarakatan sipil sebagai pembawa aspirasi dan kepentingan masyarakat yang terabaikan.
Guna kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, Undang-Undang Ormas 1985 harus dicabut. Dewan dan pemerintah selayaknya menghentikan pembahasan rancangan penggantinya serta mencabut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2012 . Selanjutnya, pemerintah dan Dewan memperbaiki Undang-Undang Yayasan dan menyusun kembali Undang-Undang Perkumpulan, yang disesuaikan dengan kondisi masa kini.
*) Anggota Koalisi Kemerdekaan Berserikat dan Berekspresi serta Ketua Dewan Pimpinan Serikat Perusahaan Pers Pusat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo