Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesalahan diagnosis itu diketahui Silvi Pely Joedha setelah 14 tahun. Lantaran kaki kirinya bengkak, sehingga celana panjangnya sesak, ia didiagnosis terkena kaki gajah. Alhasil, selama itu pula bapak satu anak ini bolak-balik opname di rumah sakit karena penanganan yang salah membuatnya tak kunjung sembuh.
Ternyata ia tak terinfeksi cacing filaria seperti yang dialami para penderita kaki gajah. Kakinya bengkak karena ia mengidap penyakit pembuluh darah balik kronik (chronic venous disease/CVD) stadium lanjut. Penandanya, selain kaki yang bengkak, muncul luka di betis yang sulit sembuh.
"Diagnosis yang benar saya terima di saat kesabaran hampir habis karena bingung mau diapain lagi," kata Silvi saat ditemui Tempo di gerai McDonald's Pasar Festival Kuningan, Jakarta, Jumat dua pekan lalu. Di perusahaan makanan cepat saji inilah pria kelahiran Bandung itu bekerja dan mengharuskan banyak berdiri saat melayani konsumen.
Kebanyakan berdiri memang merupakan salah satu faktor risiko penyakit tersebut. Hal itu pula yang dialami Meynovianty, perawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Akibatnya, ia mengalami varises—salah satu manifestasi CVD—di kaki kanannya. Buntutnya, Novi—panggilan Meynovianty—susah berjalan, bahkan terpincang-pincang, setelah bangkit dari duduk.
Hal ini muncul karena, dalam kesehariannya, perempuan 35 tahun itu kerap mengikuti operasi yang mewajibkan berdiri selama 2-4 jam. Beban kaki untuk menopang tubuhnya yang kelebihan berat kian bertambah karena saban hari ia harus berdiri di bus Transjakarta saat pulang-pergi bekerja. Empat bulan lalu keluhannya hilang setelah varisesnya disuntik sklerosan.
Menurut Alexander Jayadi Utama, dokter spesialis bedah vaskuler (pembuluh darah) RSCM, penyakit pembuluh darah balik (vena) kronik dengan berbagai stadiumnya memang belum banyak diketahui orang. Bukan hanya orang awam, kalangan medis pun mengalami masalah yang sama.
Itu sebabnya, seperti dialami Silvi, kesalahan diagnosis bisa berlangsung bertahun-tahun. Untuk itu, dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan Ke-12 Farmakologi dan Terapi di Gedung Sucofindo, Jakarta, penyakit ini menjadi salah satu bahasan. Tujuannya jelas: agar para dokter yang mengikuti forum ini bisa mendeteksi penyakit itu lebih dini.
"Selama ini pasien yang datang ke saya biasanya sudah stadium lanjut," kata Jayadi kepada Tempo sebelum berbicara di forum ilmiah yang digelar Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini. Ia menjelaskan, penyakit pembuluh balik kronik adalah sekumpulan gejala yang muncul akibat aliran darah balik dari kaki menuju jantung tidak lancar. Hal itu bisa terjadi karena elastisitas pembuluh vena berkurang atau katup alias klep pembuluh darah ini rusak.
Stadium ringan penyakit ini ditandai dengan kaki terasa berat, pegal, kram, muncul varises, pergelangan kaki bengkak, plus ada pembesaran pembuluh vena. Adapun stadium sedang, selain pembesaran pembuluh vena, warna kulit menjadi gelap (hiperpigmentasi), tapi belum ada luka. Sedangkan penanda stadium lanjut adalah kaki bengkak dan ada luka koreng, termasuk yang susah sembuh mirip luka pada pasien diabetes melitus.
Sementara pembuluh darah nadi (arteri) yang mendistribusikan darah ke seluruh tubuh pompanya adalah jantung, pompa pembuluh darah balik dari kaki ke jantung adalah otot betis. Alhasil, di tempat vena yang elastisitasnya berkurang dan tidak bisa berkontraksi untuk memompa darah ke jantung, di situlah gangguan muncul. Efek lanjutannya, pembuluh darah tak bisa melawan efek gravitasi sehingga darah menumpuk.
Selain karena elastisitas berkurang, penyakit ini bisa dipicu oleh rusaknya katup pembuluh darah balik. Fungsi katup ini sangat vital, yakni menahan darah yang mengalir ke jantung agar tidak kembali ke bawah. Ausnya katup membuat darah berkumpul di kaki, bergumpal, dan mengganggu aliran darah. Itu sebabnya, pada kaki penderita penyakit ini, pembuluh darahnya melebar, membesar, dan berkelak-kelok. Pada kasus yang dialami Silvi, misalnya, pembuluh venanya melebar hampir sepuluh kali lipat, dari yang semestinya kurang dari 3 milimeter menjadi 2,5 sentimeter.
Selain kebanyakan berdiri, faktor risiko penyakit ini bejibun, antara lain faktor keturunan dan sejumlah kebiasaan yang berpotensi menghambat aliran darah balik dari kaki ke jantung. Misalnya penggunaan celana panjang ketat dan sepatu hak tinggi, kebanyakan duduk, kegemukan, serta kehamilan. "Makin lama terpaan faktor risiko, maka risiko terjadinya penyakit ini makin besar," kata Jayadi.
Titik balik kehidupan Silvi dimulai Agustus tahun lalu. Hanya selang tiga hari setelah bertemu dengan Jayadi, ia menjalani operasi untuk membuang pembuluh darah di betis kirinya yang melebar. Setelah opname dua hari, ia pulang. Menurut data global, 20 persen pasien dengan penyakit ini perlu menjalani operasi.
Jayadi menegaskan, operasi membuat keluhan yang dirasakan Silvi sejak 1997 itu menghilang. Adapun fungsi pembuluh darah yang dicopot bisa digantikan oleh pembuluh-pembuluh darah balik yang lain. Agar proses penggantian fungsi pembuluh darah berlangsung lebih cepat dan bagus, selain minum obat berbahan diosmin-hesperidin, Silvi harus selalu mengenakan stoking kompresi minimal tiga bulan.
Ini adalah stoking yang dirancang khusus untuk membantu melancarkan darah dari kaki menuju jantung. Tekanan stoking di pergelangan kaki, betis, dan paha dibuat berbeda, makin ke atas makin ringan. Stoking ini juga berfungsi mencegah pembekuan darah dan menurunkan pembengkakan pasca-operasi.
Stoking ini pula yang harus dipakai Novi selama 12 hari setelah menjalani penyuntikan sklerosan di varisesnya. Agar penyakit ini tak menyambar lagi, Jayadi menyarankan agar Silvi dan Novi menggunakan stoking itu seumur hidup. Apalagi jenis pekerjaan mereka menuntut keduanya berdiri lama. Namun, kepada Tempo, mereka mengaku tak sanggup memenuhi anjuran itu. Sebab, keluhan di kaki sudah jauh berkurang, bahkan menghilang.
"Ribet saat memakai. Apalagi kalau harus berwudu, kalau basah enggak nyaman," kata Silvi. "Kaki gampang keringatan, jadi basah. Enggak nyaman," ujar Novi. Alhasil, stoking hanya dipakai kadang-kadang. Misalnya saat Silvi menekuni olahraga parkour. Jika tidak pakai stoking, kakinya cenat-cenut. Menurut Jayadi, olahraga terbaik adalah renang. Sebab, jenis olahraga ini mengurangi gaya gravitasi saat berada di air.
Untuk mencegah penyakit ini, selain menghindari kegemukan, risiko harus dikurangi. Orang yang banyak berdiri, misalnya, setiap satu-dua jam harus berjalan agar pembuluh vena di kaki berkontraksi. Bila di rumah, kaki diselonjorkan. Penggunaan celana ketat dan sepatu hak tinggi jangan terlalu sering. Namun, bila tuntutan pekerjaan harus menggunakan celana ketat, kata dia, "Pakai saja stoking kompresi biar lebih aman."
Selain stoking, penolong bagi penderita penyakit ini adalah obat diosmin-hesperidin, yang dibuat dari ekstrak kulit jeruk. Obat jenis ini sudah ada yang dimikronisasi sehingga lebih efektif mengatasi gejala penyakit pembuluh darah balik kronik. Menurut Profesor Purwantyastuti dari Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, khasiat obat ini sudah diteliti secara ilmiah. Minum dua kali sehari selama dua bulan, pasien yang menderita koreng pun sembuh.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo