Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SALAH satu watak karya seni instalasi ialah menyatu dengan, setidaknya memperhitungkan, ruang tempat karya itu dipamerkan. Karya bisa sengaja dibuat untuk suatu ruang tertentu, bisa juga dibuat terlebih dulu baru kemudian dicarikan tempat pameran yang pas. Ini soal bila empat karya seni instalasi di Komunitas Salihara yang dipamerkan selama Festival Salihara, 22 September-24 Oktober ini, serasa kurang menarik perhatian. Karya-karya itu "melebur" dalam lingkungan, seolah-olah sekadar hiasan eksterior sehari-hari. Maka paradoks pun muncul: karya yang tak menarik perhatian tapi melebur dalam ruang eksterior tidakkah sebenarnya juga tanda keberhasilan karya tersebut?
Turbine of Hope karya Tere (Theresia Agustina Sitompul) tergolong karya yang diciptakan menurut ruang yang menjadi tempat karya dipamerkan. Ruang itu adalah di antara dua dinding, di atas tangga naik menuju Galeri Salihara di "lantai" 2. Turbin ini dibentuk dari kawat dan pipa baja antikarat, panjang sekitar 2 meter, berbentuk mirip sebuah bubu untuk menangkap ikan. Lalu, di salah satu dinding, dipasang sejumlah baling-baling dari lempeng aluminium, yang berputar bila tertiup angin karena aluminium itu metal yang ringan.
Kalau kemudian kita mafhum bahwa ini karya seni instalasi, karena segera kita menyadari bahwa baling-baling itu yang berputar bila terkena angin ini tak ada fungsinya, juga turbin itu, di tempat tersebut. Inilah "rumus" yang sekian puluh tahun lalu digunakan para pendekar pop art di Amerika untuk membaptis ciptaan mereka berupa benda sehari-hari tapi kehilangan fungsi (Brillo Boxes Warhol, misalnya, bukan terbuat dari kardus, melainkan dari plywood dan tak bisa dibuka karena itu tak bisa dijadikan wadah).
Juga Flying Success karya kelompok Hitam Manis, berupa 30-an tabung CFC yang digambari warna-warni dan diberi sayap transparan mungkin dari serat kaca, yang jelas tak berfungsi seperti aslinya. Flying Success digantung di atas ruang menjelang bagian depan Teater Salihara.
Ruang dan cara menggantung karya ini bukanlah ruang yang otomatis menarik perhatian bila dibandingkan dengan, misalnya, karya Teguh Ostenrik di Mal Pacific Place beberapa tahun lalu. Karya Teguh yang mengisi atrium mal yang tinggi dengan 500 wajan yang digantung seolah-olah terbang itu memang provokatif. Sedangkan tabung-tabung CFC di ruang yang tak begitu luas dan tak begitu tinggi dengan jumlah 38 buah (menurut brosur festival) terasa biasa.
Yang agak surprising adalah Dalam Hening Komroden Haro. Puluhan kalong mirip kalong sebenarnya digantung di kanopi yang dijuluri tanaman sepanjang toko Salihara. Pilihan letak dan suasana sekitar yang agak gelap (meski di siang hari) tampaknya yang tak membuat kita segera melihat karya ini, dan karena itu mengejutkan.
Berbeda dengan ruang tempat tabung-tabung CFC digantung, yang otomatis membuat kita menyadarinya bahwa benda-benda ini sengaja digantung di situ, tempat kalong digantung tak segera memberi kesadaran seperti itu. Kanopi penuh suluran itu, menurut akal kita, bisa saja menjadi tempat kalong tidur.
Namun, setelah mengamati sejenak, tahulah kita itu bukan kalong sebenarnya. Kalong-kalong itu sepertinya diatur menjadi dua kelompok, dan masing-masing memiliki satu pemimpin, setidaknya dua kalong ini berwarna beda, bukan cokelat kehitaman, melainkan perak. Lalu tak terdengar cericit kalong-kalong, juga tak tercium bau kalong dan kotorannya. (Dalam Hening adalah salah satu karya pada pameran seni patung bertajuk Simpangan di Salihara beberapa waktu lalu.)
Karya keempat, Cocoon, tak meruang seperti tiga karya yang telah disebutkan. Karya Octora Chan ini—sebuah bentuk kepompong sangat besar, lebih besar daripada ukuran seorang manusia, tidak berbentuk tiga dimensi, tapi lebih semacam karya relief pada sebuah bidang—digantung di dinding di depan Galeri Salihara. Dari sisi letak, karya ini segera terlihat begitu orang naik tangga menuju galeri dan sampai di anak tangga teratas. Lantas bentuk kepompong yang besar dan mirip sosok manusia yang diselubungi itu memang cepat menarik perhatian.
Salah satu fungsi pameran adalah memberikan apresiasi kepada publik. Dari sisi ini, pameran ini kaya: meski hanya empat karya, pameran ini mewakili keberagaman karya seni instalasi. Dari Jakarta Biennale 1973 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, yang hanya menyajikan karya seni instalasi, kita tahu ada karya instalasi yang cenderung menjadi karya seni lingkungan (environmental art), karya seni yang menggarap ruang interior atau eksterior, lalu karya-karya yang cenderung sebagai seni konseptual, dan lain sebagainya. Pun bahan yang digunakan beragam: logam, barang jadi, resin poliester, dan serat gelas.
Dari sisi sosok karya, pameran ini bisa dibilang cukup beragam juga. Berbeda dengan seni lukis dan seni patung yang menjadi hanya "obyek", karya seni instalasi menyeruak dalam ruang, sesuatu yang bisa disentuh, yang bisa kita masuki dengan berjalan. Ada juga yang menyediakan tombol dan, begitu tombol dipencet, sesuatu terjadi: entah karya itu bergerak, bersuara, menyala lampunya, entah memberikan sesuatu yang lain (karya bertombol memang belum terwakili pada pameran kali ini).
Sebagai karya seni pada jamaknya, keempat karya itu juga bisa dikatakan cukup "mengganggu" pikiran, emosi, dan semangat hingga kita sejenak "keluar" dari kerutinan. Setidaknya ada suasana berbeda di ruang Salihara, bukan hanya di ruang pamerannya atau ruang teaternya.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo