Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB baru-baru ini memperingatkan bahwa stabilitas siklus air Bumi terancam akibat perubahan iklim. Aliran sungai telah menurun drastis hingga mencapai rekor kekeringan dalam 30 tahun terakhir pada 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada saat yang sama, gletser mencatat kehilangan terburuk dalam setengah abad, mengakibatkan hilangnya sebagian besar es di kutub-kutub Bumi. Dan, sementara satu ujung spektrum mengalami kekeringan ekstrem, ujung lainnya mengalami kelebihan air yang signifikan, dengan banjir yang melanda berbagai negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), Celeste Saulo, menyampaikan keprihatinannya tentang tanda-tanda peringatan dini perubahan iklim yang disebutnya nyata itu. "Kepanikan yang semakin meningkat ini menekankan bagaimana kehidupan manusia, ekosistem, dan ekonomi berada dalam posisi genting di ambang bencana yang disebabkan oleh iklim," kata Saulo dikutip dari Earth.com, Rabu 16 Oktober 2024.
Kondisi Bumi yang panas akibat atmosfer yang menghangat dengan cepat, menurut dia, membuat siklus air di Bumi tidak menentu dan sulit diprediksi. Dengan tahun 2023 lalu menyandang predikat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah pencatatan suhu udara, Saulo menyebutkan, banyak wilayah di dunia mengalami kekeringan yang berkepanjangan.
Pada saat yang sama, wilayah lain di dunia juga mengalami banjir bandang yang parah. Peristiwa cuaca ini sebagian disebabkan oleh fenomena La Nina dan El Nino tetapi, menurut Saulo, perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia memperburuknya.
“Kondisi yang lebih hangat menahan lebih banyak uap air, yang menyebabkan hujan lebat. Sedangkan penguapan dan pengeringan tanah yang lebih cepat memperburuk kondisi kekeringan,” kata Saulo.
Keseimbangan yang ironis antara kelimpahan dan kekurangan air itu, kata Saulo, telah menjerumuskan banyak negara ke dalam krisis air yang semakin parah. Pada 2023, Afrika menanggung beban bencana ini, dengan jumlah korban manusia yang sangat besar.
Di antaranya adalah Libya di mana banjir besar karena hujan ekstrem pada September 2023 menyebabkan runtuhnya dua bendungan secara mengerikan, mengakibatkan hilangnya lebih dari 11.000 jiwa dan mengganggu 22 persen populasi negara tersebut. Di sisi lain, lebih dari separuh daerah tangkapan air sungai di dunia menjadi lebih kering daripada biasanya selama tiga tahun terakhir.
Catatan PBB menunjukkan bahwa sekitar 3,6 miliar orang tidak memiliki akses terhadap air bersih setidaknya selama satu bulan setiap tahun. Angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 5 miliar pada 2050.
Gletser juga disebutnya bakal menanggung akibat. Gletser mencair dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya sepanjang September 2022 hingga Agustus 2023 lalu. Total, sebanyak 600 miliar ton air hilang dalam 50 tahun.
Jalan ke Luar dari Krisis Air
Presiden WMO memperingatkan bahwa kerugian ini mengancam keamanan air jangka panjang bagi banyak komunitas di seluruh dunia. Dengan semua ini, Saulo mendesak tindakan tegas untuk mengatasi krisis yang mengancam.
Menurut dia, kesenjangan antara wilayah yang kaya air dan yang miskin air semakin melebar akibat perubahan iklim, sehingga diperlukan solusi inovatif untuk menjembatani kesenjangan kritis ini. Kemajuan teknologi seperti desalinasi dan pemanenan air hujan, kata dia, menawarkan cara yang menjanjikan untuk mendistribusikan kembali air secara efektif.
Desalinasi, meskipun membutuhkan banyak energi, berpotensi mengubah air laut menjadi air minum, memberikan bantuan untuk daerah kering. Sistem pemanenan air hujan yang disesuaikan dengan iklim setempat dapat mengurangi dampak kelangkaan curah hujan dengan menyimpan kelebihan air selama musim hujan.
"Selain itu, kerja sama internasional sangatlah penting, dengan negara-negara perlu berbagi sumber daya dan pengetahuan untuk beradaptasi dengan tantangan kelangkaan air secara holistik," ucapnya.
Intinya, menurut dia, mengatasi kesenjangan dalam aksesibilitas air memerlukan upaya global terpadu yang menekankan praktik berkelanjutan dan distribusi yang adil. Menurut dia, tindakan cepat diperlukan para pemimpin global menghadapi tekanan untuk mengubah retorika mereka tentang krisis air menjadi strategi yang dapat ditindaklanjuti.
Ia menyebutkan tindakan utama meliputi investasi dalam ketahanan iklim, mengintegrasikan pengetahuan tradisional dengan ilmu pengetahuan modern, dan memprioritaskan pendidikan untuk mempromosikan konservasi air. "Tindakan cepat sangat penting untuk mengurangi krisis kelangkaan air yang akan datang dan mengamankan masa depan yang berkelanjutan bagi generasi mendatang."
Stefan Uhlenbrook, Direktur Departemen Hidrologi, Air, dan Kriosfer WMO, menekankan urgensi investasi dalam infrastruktur untuk menghemat air dan melindungi masyarakat dari bencana terkait air. Perubahan khususnya dibutuhkan di bidang pertanian, yang menghabiskan 70 persen konsumsi air tawar dunia.
"Saat dunia mulai menuju masa depan di mana siklus air normal mungkin hanya tinggal kenangan, tantangan stabilisasi iklim tampak menakutkan," kata dia sambil menambahkan, "Meskipun kita mungkin tidak dapat memutar balik waktu, kita tentu dapat berusaha untuk memahami, beradaptasi, dan memerangi perubahan ini untuk memberi lebih banyak waktu bagi generasi mendatang."
Pilihan Editor: Apple Diam-diam Luncurkan iPad Mini Baru dengan Chip A17 Pro