SABTU pekan lalu, kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati, Bandung, bergolak. Dengan membawa poster, ratusan mahasiswa melangsungkan aksi unjuk rasa. Aksi itu mengundang pihak keamanan untuk memasuki kampus. Seraya memuntahkan peluru ke langit, petugas keamanan meminta agar kampus dikosongkan. Mahasiswa menjadi panik. Sambil berlarian. mereka melempari kampusnya sendiri. Ada yang jatuh terinjak. Beberapa mahasiswi berkerudung pingsan. Menjelang siang hari kampus itu pun melompong kosong. Yang tingal hanyalah pecahan kaca yang berserakan. Juga sebuah meja di depan pos keamanan yang tampak hangus terbakar. Kerusuhan mahasiswa itu bermula dari keputusan rapat senat institut yang mengumumkan bahwa IAIN Bandung -- untuk tahun ajaran mendatang tak lagi menerima mahasiswa jurusan Tadris. Jurusan ini berada di bawah Fakultas Tarbiyah. Keputusan yang diumumkan pada 3 Maret ini sebenarnya tindak lanjut dari hasil musyawarah rektor-rektor IAIN se-Indonesia di Jakarta, dua hari sebelumnya. Rapat rektor IAIN sepakat untuk secara perlahan-lahan menutup jurusan Tadris. Agaknya pengumuman itu kurang jelas sehingga menimhulkan berbagai tafsiran di kalangan mahasiswa. Belakangan beredar isu yang menyebutkan bahwa jurusan Tadris dibubarkan. Mahasiswa yang kini duduk sampai semester ke-6 dialihkan masuk ke jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) -- masih di lingkungan Fakultas Tarbiyah. Sedangkan mahasiswa jurusan Tadris semester ke-7 ke atas tetap diteruskan sampai lulus sarjana, tetapi diberi ijazah sarjana PAI. Jurusan PAI disiapkan untuk menjadi guru agama, sedangkan jurusan Tadris disiapkan untuk menjadi guru pelajaran umum di Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah. Berita ini meresahkan 2.100 mahasiswa Tadris IAIN Bandung -- 600 di antaranya hampir lulus S-1. "Kami menolak pindah ke PAI karena Tadris dan PAI disiplin ilmunya berbeda," kata Idad Suhada, mahasiswa Tadris semester ke-8 yang kebetulan juga Ketua Umum Senat Mahasiswa Tarbiyah. Masuk akal, karena yang dipelajari di jurusan Tadris -- sesuai dengan tujuan jurusan ini -- tak berkaitan dengan agama. Jurusan ini mempelajari dan dipersiapkan menjadi guru Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Bahasa Inggris. Latar belakang mahasiswa di jurusan ini pun dari sekolah umum. Isu yang beredar luas itu kemudian dicek oleh Senat Mahasiswa Tarbiyah dengan cara mendatangi pimpinan fakultas. Pertemuan itu berlangsung pada Rabu pekan lalu. Menurut Idad, Pembantu Dekan I Fakultas Tarbiyah Dr. Tafsir malah membenarkan desas-desus itu. "Kalian cepat-cepat saja pindah ke PAI, sebab P dan K cuma mengakui sarjana PAI dan tidak mengakui sarjana Tadris," begitu kata Tafsir, menurut Idad. Mahasiswa tambah penasaran. Dua hari kemudian, sekitar 50 mahasiswa Tadris -- yang mewakili bidang studi IPA, IPS, Bahasa Inggris dan Matematika -- kembali menemui pimpinan fakultas. Tafsir, yang kali ini didampingi Pembantu Dekan III Pupuh Fathurachman, membacakan hasil rapat rektor IAIN di Jakarta, yang isinya: memang IAIN tak lagi menerima mahasiswa baru Tadris. Namun kepada TEMPO. Tafsir membantah bahwa ia menganjurkan mahasiswa Tadris pindah jurusan. "Itu tidak benar. Jangankan menganjurkan, mengimbau pun kami tidak," katanya. Karena mahasiswa tidak puas dengan penjelasan yang sudah diperolehnya, meledaklah aksi unjuk rasa itu. Semula hanya sekitar 100 mahasiswa yang bergerak untu menemui pimpinan institut. Di halaman gedung utama, mahasiswa Tadris itu menggelarkan poster. Isinya, antara lain, Kami Merasa Ditipu, Kami Jadi Korban, Rektor As Salman Rusdhi. Rektor IAIN Bandung tak berada di situ, sedang sakit. Mahasiswa diterima Pembantu Rektor I, Pembantu Rektor III, Pembantu Dekan I dan III Fakultas Tarbiyah. Sementara itu, mahasiswa lain di luar jurusan Tadris ikut bergabung. Lantas suasana tegang. Ketika Pembantu Rektor III Muhaemin diminta memberi penjelasan langsung kepada mahasiswa, seseorang melempar pembicara ini dengan tanah. Dalam pernyataannya, Senin pekan ini, Pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah menyesalkan aksi mahasiswa itu, dan Senat tidak bertanggung jawab. Jurusan Tadris di IAIN diadakan pada 1983, semata-mata untuk mengisi kekosongan tenaga guru umum di madrasah Tsanawiyah (setingkat SMTP) dan Aliyah (setingkat SMTA). Waktu itu, pelajaran umum di sekolah yang dibawahkan Departemen Agama ini tak mendapat jatah dari lulusan IKIP yang dibawahkan Departemen P dan K. Kabarnya, Menteri P dan K (saat itu) Daoed Joesoef punya alasan bahwa lulusan IKIP sendiri belum bisa memenuhi kebutuhan guru-guru di SMTP dan SMTA. Berangkat dari situlah Menteri Agama (saat itu) Alamsyah Ratuperwiranegara bertekad membuat "IKIP di dalam tubuh IAIN". Lahirlah jurusan Tadris itu. Dosennya diambil dari dosen-dosen umum, calon mahasiswa pun datang dari sekolah umum. Pokoknya, jurusan ini tak melahirkan lulusan yang punya "keahlian" dalam agama. Belakangan ini menimbulkan dilema. Seperti yang dikatakan Zaini Muchtarom Adnan, Direktur Perguruan Tinggi Agama Departemen Agama, "Kalau dilayani akan terus tambah banyak. Sedangkan bebannya bagi kami terlalu berat," katanya. Beban bagi Departemen Agama terutama menyediakan tenaga dosen. Pada rapat kerja Rektor IAIN se-Indonesia, 27 Februari sampai 1 Maret lalu, masalah Tadris dibahas tersendiri. Di situ muncul alasan lain lagi kenapa Tadris sebaiknya dibubarkan saja. Yakni, keberadaan Tadris menjadikan citra IAIN sebagai pencetak ahli agama, jadi menurun. Suara-suara yang menyebutkan lulusan IAIN kurang pandai mengaji dan tidak dapat menguasai kitab bahasa Arab berpangkal dari lulusan Tadris. Kebutuhan guru pelajaran umum di madrasah juga tak segawat dulu. Kesimpulan rapat: jurusan ini perlahan-lahan ditutup. Namun tak bubar begitu saja, seperti yang diresahkan mahasiswa IAIN Bandung. "Jurusan Tadris yang masih ada mahasiswanya diteruskan sampai habis," kata Zaini Muchtarom. Artinya, tak putus di tengah jalan begitu saja. Rektor IAIN Bandung Prof. Dr. Rachmat Djatnika, yang dihubungi TEMPO, pun memberikan jaminan berupa. Seluruh mahasiswa Tadris harus menyelesaikan (passing out) di jurusannya. Tidak akan dipindahkan ke jurusan lain. Djatnika baru menutup jurusan Tadris kalau semua mahasiswa sudah menyelesaikan studinya. Sayang, jaminan ini tak diketahui mahasiswa Tadris IAIN Bandung sejak awal -- mungkin karena Djatnika sedang sakit itulah. Ternyata hasil rapat rektor IAIN di Jakarta pun sebenarnya bukan harga mati. Menurut Zarkowi Soejoeti, Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, ada perkecualiannya. "Bila di daerah tertentu masih ada madrasah memerlukan guru umum, dan IAIN setempat mampu menyelenggarakan, silakan jalan terus," katanya. Ini yang dijalankan IAIN Sunan Kalijaga Yovakarta. Menurut Abdurrachim, Pembantu Rektor I IAIN Yogya, pihaknya akan tetap melanjutkan jurusan Tadris itu. "IAIN Yogya memang berpikirnya lain," kata Abdurrachim. "Soalnya, meskipun sudah diputuskan untuk dihapus, tapi itu belum tentu dilarang." Yang unik, bersamaan dengan keputusan menutup pelan-pelan jurusan ini, IAIN Yogya justru diminta untuk membuat kurikulum baru. Bahkan pada tahun ajaran nanti IAIN Yogya masih tetap menerima mahasiswa untuk jurusan ini, "walau sudah pasti animonya turun karena ada berita keresahan itu," kata Abu Tauchid, dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Yogya. Bagaimana yang lain? "Saya kok belum dengar kalau jurusan itu akan dihapus," kata Mohammad Anwar, Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang. Di sini ada dua bidang studi Tadris, yakni Matematika dan Bahasa Inggris. Sedangkan IAIN Jambi, sejak tahun lalu, sudah tak menerima mahasiswa jurusan Tadris. Di seluruh Indonesia, saat ini ada 9.726 mahasiswa di jurusan yang sedang dibicarakan ini.Agus Basri, Hasan Syukur (Bandung), Slamet Subagyo (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini