Rekornas cakram yang sudah berumur sepuluh tahun ditumbangkan putra Irian Jaya. Sasaran tetap di SEA Games Manila. TANGAN Ismael Sroyer bergetar. Ia tampak berdoa. Berkonsentrasi sejenak, ia kemudian melemparkan cakram seberat dua kilogram itu. Lemparan terakhir itu melesat jauh dan melewati garis putih -- batas rekor nasional -- beberapa sentimeter. Putra Irian Jaya itu pun menengadahkan tangannya, bersyukur. Soalnya, rekor lama sejauh 45,98 meter, atas nama atlet Soehadi Moesiri dari Malang, dipecahkannya setelah berumur sepuluh tahun. Ismael Sroyer mengukir angka 46,44 meter di Kejurnas Atletik di Stadion Madya Senayan, Jakarta, Ahad pekan lalu. "Saya betul-betul mengucapkan puji kepada Tuhan," kata tentara berpangkat sersan dua yang kini bertugas di Kodam VII Trikora, Jayapura, ini. Postur Ismael Sroyer memang mendukung: tinggi 176 sentimeter dan berat 84 kilogram. Anak ke-4 dari sembilan bersaudara ini lahir di Manokwari, 25 tahun lalu. Ayahnya pegawai Dinas PU Kabupaten Manokwari, dan kini sudah pensiun. Ismael Sroyer mengenal atletik ketika ia masih duduk di bangku SMP, sembilan tahun lalu. Begitu mengenal atletik, ia langsung ditunjuk mewakili Manokwari di kejuaraan daerah di Jayapura, 1983, untuk nomor 4 X 400 meter. Tapi, nasib belum menentukannya jadi pelari. Oleh gurunya, Felix Hamadi, ia diminta jadi pelempar cakram saja. Soalnya, Manokwari tak punya pelempar cakram. Lucunya, Ismael Sroyer oke-oke saja. Di situ, ia mampu melempar cakram sejauh 35 meter. Sebuah awal yang menjanjikan. Sejak itu, cakram seolah tak lepas darinya. Untuk menunjang gizinya, ia makan ikan sedikitnya sekilo setiap hari. Memasuki SMEA di Jayapura, ia ditangani pelatih Selsius Gepse asal Merauke, hingga kini. Prestasinya merangkak naik secara pelan-pelan. Di tahun 1988, rekornya 42,5 meter. Setahun kemudian, melejit lagi jadi 44,56 meter. "Prestasinya yang baik itu karena didukung motivasinya. Ismael Sroyer itu disiplinnya tinggi. Jangan lupa, peran pelatih juga menentukan," kata Ketua Pengda PASI Irian Jaya, Fabanyo. Berkat prestasinya yang baik, PASI Irian Jaya membantunya Rp 30 ribu per bulan. "Sekadar menambah gizi atlet," katanya. Soal gizi atlet daerah memang layak diperhitungkan. Sebab, biasanya, jika atlet Pelatnas pulang kampung, prestasinya langsung anjlok. Itu antara lain disebabkan pemenuhan kebutuhan gizi yang buruk. Maklum, kocek harus dirogoh dari kantung sendiri, paling tidak Rp 150 ribu sebulan. Atlet daerah rata-rata muncul dari ekonomi lemah. Di Jayapura, Ismael Sroyer bergabung dalam Persatuan Atletik AD. "Cita-cita saya memang jadi prajurit," katanya. Di kesatuannya, kedisiplinan Ismael Sroyer digembleng lebih matang. Minum-minum dan mabuk-mabukan -- seperti terjadi pada beberapa atlet Irian Jaya lainnya -- tak ada di kamusnya. "Sejak kecil, saya sudah mengenal gereja. Minum-minum itu tak saya kenal," katanya. Selain akan diterjunkan di Kejuaraan Atletik Asia di Kuala Lumpur, 18-21 Oktober mendatang, Ismael Sroyer juga diprogram untuk SEA Games Manila. Ia mulai masuk Pelatnas, pertengahan Mei lalu. Program latihannya: pagi hari latihan beban dua jam dan sore harinya latihan teknis. "Misalnya, pelemasan otot-otot," katanya. Beban latihan kini, menjelang bertanding, sudah mulai dikurangi. Ismael Sroyer berharap, di SEA Games Manila nanti, ia bisa memperbaiki rekornya. Punya target emas? Ismael Sroyer tak langsung menjawab. Ia sadar, prestasi pelempar cakram Muangthai jauh di atasnya: sekitar 48 meter. Namun, ia berjanji akan tetap mencintai cakram. "Selama tangan saya belum putus," katanya. WY
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini