Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Para syuhada sesuai dengan ajaran nabi harus segera dikuburkan.cara penguburan di arab saudi sederhana tanpa patok dan nisan.wujud pemurnian tauhid. ziarah ke kubur tak dilarang.ada perbedaan mazhab.

28 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGAPA para syuhada kita, "tamu-tamu Allah" itu, dalam peristiwa Al-Muaisim segera dikuburkan, bahkan tak sempat diberitahukan kepada Indonesia? Dalam hal penguburan, memang ada persamaan dan perbedaan antara umat Islam Indonesia dan Arab Saudi. Keduanya sama-sama menyegerakan penguburan, sesuai dengan ajaran Rasulullah. Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah menganjurkan hal itu. "Kalau ia orang salih, kamu menyegerakan ia ke kebaikan. Bila sebaliknya, kamu melepaskan kejahatan dari pundakmu." Juga, ulama Indonesia dan Saudi sama-sama menilai para korban sebagai syuhada. Para fukaha, ahli hukum Islam, menetapkan ada tiga macam mati syahid. Gugur dalam medan pertempuran karena jihad membela agama tergolong syahid dunia akhirat. Kedua, tewas dalam jihad, tapi dengan pretensi ingin mendapatkan penghargaan atau kemegahan, termasuk syahid dunia. Sedangkan syahid akhirat ialah mereka yang mati karena sebab-sebab seperti yang disebutkan dalam hadis Rasulullah. Yakni yang mati "karena kolera, sakit perut, tenggelam, tertimpa sesuatu", mereka mati di jalan Allah. Dan rupanya, orang Saudi menganggap para syuhada yang wafat di Terowongan Al-Muaisim sebagai "syahid dunia akhirat". Syuhada dunia atau syuhada akhirat perlu dimandikan, dikafani, dan disalatkan. Tapi syuhada dunia wal akhirah tidak. Mereka dikuburkan seperti apa adanya saat meninggal, sebab jenazah langsung diterima oleh Allah. Penghargaan tertinggi itu ditegaskan oleh Allah dalam Quran: para syuhada itu "hidup" di sisi Allah, mereka tidak bersedih melainkan gembira karena karunia dan nikmat Allah. (Quran, 3:169-171). "Mereka dikuburkan dengan pakaian yang melekat di tubuhnya. Kalau jenazah itu pria, karena masih dalam keadaan ihram dalam menunaikan ibadah haji, kepalanya tidak ditutup. Kalau wanita, kan memang kepalanya sudah dalam keadaan tertutup," kata ketua komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia, Ibrahim Hosen. Barangkali itu sebabnya Ibrahim Hosen tidak menyalahkan para petugas penguburan di Saudi. "Mereka melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya, sebab penguburan para syuhada adalah kewajiban seluruh kaum muslimin, bukan kewajiban keluarga," katanya. Mungkin itu sebabnya mengapa pihak Saudi tidak memberi tahu kita. Di Saudi, tak ada kuburan yang ditandai dengan patok, nisan, apalagi dibuatkan rumah atau mausoleum. Semua kuburan rata dengan tanah. Kuburan raja, menteri, atau rakyat jelata, sama saja. Kecuali kubur Rasulullah di Masjid Nabawi di Madinah, yang diberi berpagar dengan hiasan ayat-ayat suci Quran dan dijaga ketat. Juga kuburan para sahabat dan istri Rasulullah di Baqi, beberapa ratus meter dari Masjid Nabawi, dipagar dengan besi. Orang dilarang keras masuk, hanya boleh berdoa di luar. Cara penguburan di Saudi juga sangat sederhana. Mereka menggali lubang ke bawah dan ke samping. Satu lubang bisa menampung sekian jenazah, satu per satu atau sekaligus. "Korban perang Uhud di zaman Rasulullah juga dikubur dengan cara ini. Ada hadis mengenai hal ini," kata dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Quraish Shihab. Bagi yang berpaham lain, pemahaman Islam oleh kaum Wahabi di Saudi itu terlalu ketat, dan cara penguburan seperti itu terlalu bersahaja. "Saya bisa memahami mereka meskipun saya tidak sependapat," tambah Quraish Shihab. Itu juga yang dikatakan K.H. Ali Yafie, Wakil Ketua Rais Am Nahdlatul Ulama. "Kita memahami posisi Saudi dalam peristiwa Terowongan Al-Muaisim. Sebaliknya kita berharap mereka juga memahami perasaan dan menghargai aspirasi kita," katanya. "Usul penguburan di satu makam khusus dan penjelasan rinci tentang sebab-musabab musibah sangatlah wajar." Perbedaan ini berpangkal dari perbedaan pemahaman tauhid (pengesaan Allah). Kaum Wahabi di Saudi yang menganut mazhab Hambal berkeyakinan perlunya memurnikan tauhid dari praktek-praktek syirik (menyekutukan Allah), seperti memuja atau meminta-minta kepada kuburan. Pemerintah Saudi sebenarnya tidak melarang ziarah kubur. Tapi mereka menjaganya secara ketat, khawatir munculnya praktek-praktek syirik. Sesungguhnya, Rasulullah sendiri mengizinkan umatnya berziarah. Dalam hadis yang diriwayatkan Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi dari Buraidah, Rasulullah bersabda, "Dulu saya melarang kamu berziarah ke kubur, sekarang Muhammad telah mendapat izin berziarah ke kubur ibunya. Maka, ziarahlah kamu, karena sesungguhnya ziarah itu mengingatkan tentang akhirat." Menurut Quraish Shihab, di zaman sebelum Rasulullah, banyak orang menganggap kuburan itu sakral. "Tapi pada saat iman dan keislaman sudah cukup kuat, Rasulullah mengizinkan orang berziarah," katanya. Itu sebabnya Rasulullah mengajarkan umatnya memberi salam dan berdoa bila lewat atau masuk kuburan: "Assalamualaikum, semoga selamat dan sejahteralah para ahli kubur. Kami mudah-mudahan akan menyusul kamu. Kami berdoa semoga kita semua selamat". Bila kaum Wahabi di Saudi menjaga ketat kuburan, mungkin bermaksud agar sebelum orang jatuh ke lembah syirik lebih baik diperingatkan. Dalam setiap musim haji, misalnya, kuburan dijaga ketat. Jemaah yang mengusap-usap dan menangis di pintu-pintu tertentu di Masjidil Haram di Mekah, atau menangis di kuburan Baqi di Madinah -- seperti yang selalu dilakukan jemaah Syiah Iran -- disuruh pergi. Yang terlalu lama berdoa dan menangis di bekas telapak kaki Nabi Ibrahim, di samping Ka'bah, didorong agar segera jalan lagi bertawaf. Selain itu, Direktorat Jenderal Urusan Riset, Fatwa, Dakwah, dan Bimbingan Islam Pemerintah Saudi juga menyebarkan brosur dalam berbagai bahasa berjudul "Petunjuk untuk Jamaah Haji dan Umrah serta Penziarah Masjid Rasulullah". Di situ ditegaskan beberapa hal yang disebut membatalkan keislaman seseorang. Antara lain (ditulis dengan huruf bercetak tebal), disebutkan beberapa kesalahan para jemaah yang berziarah ke Masjid Nabawi di Madinah. Misalnya, mengusap-usap dinding dan tiang-tiang besi ketika menziarahi kubur Rasulullah, dan mengikatkan benang-benang atau semacamnya pada jendela-jendela untuk mendapatkan berkah, adalah bid'ah (menyimpang dari ajaran Islam yang murni). Menziarahi tempat-tempat bekas peninggalan Rasulullah seperti tempat mendekamnya unta di Quba, sumur Khatam dan sumur Usman, mengambil pasir dari tempat-tempat itu dengan mengharapkan berkah, adalah bid'ah. Memohon kepada orang-orang yang telah mati di pekuburan Baqi dengan melemparkan uang ke sana sebagai usaha mendekatkan diri dan mengharapkan berkah adalah syirik. Tapi berziarah ke Masjid Quba tidak dilarang, asal sesuai dengan sunah Nabi, ntara lain salat di dalamnya, "karena Nabi melakukannya dan menganjurkannya". Demikian pula ziarah ke kubur para sahabat dan istri Rasulullah di Baqi, dalam brosur itu tidak dilarang -- asal sesuai dengan sunah Nabi, yaitu mengucapkan salam dan berdoa untuk mereka seperti Nabi pernah melakukannya. Dan memang cara seperti itulah, sesuai dengan sunah, yang diinginkan oleh umat Islam Indonesia yang kebanyakan berpaham ahlussunnah wal jama'ah dan bermazhab Syafii. "Kita ingin menziarahi para syuhada yang dikubur di sana tanpa maksud memujanya," kata Quraish Shihab. Ia berharap, Saudi cukup toleran, seperti yang pernah dicerminkan oleh para imam pendiri mazhab-mazhab itu sendiri. "Fanatisme pada satu mazhab tidak menguntungkan. Para ulama perlu menumbuhkan sikap menenggang terhadap paham lain," tambahnya. Perbedaan pemahaman itu bukan hanya antara kaum Wahabi dan kita. Tapi, dan dengan sangat tajam, juga dengan kaum Syiah. Dua paham yang sama-sama sangat prinsipiil. Ketika para jemaah haji Syiah Iran berdemonstrasi di Mekah, 1987, desakralisasi kuburan, monumen, dan peninggalan-peninggalan Islam itu diserangnya sebagai "penyelewengan paling buruk dari makna tauhid". Bagi mereka makna tauhid yang sebenarnya lebih luas: hanya takut kepada Allah dan tidak takut kepada siapa pun. "Termasuk tidak takut kepada kekuatan-kekuatan tirani seperti AS, Soviet, dan Israel". Begitu tertulis dalam brosur berbahasa Arab dan Inggris yang disebarkan kaum demonstran. Menurut Quraish Shihab dan staf peneliti LIPI, Nurcholish Madjid, pertentangan tajam antara kedua paham itu makin membara ketika buku Sayid Muhammad Alwi al-Maliki, Maulid al-Rasul (Hal Kelahiran Rasulullah), terbit. Selama ini kaum Wahabi berpendapat bahwa memperingati maulid Nabi dianggap suatu bid'ah. Apalagi perayaan Sekaten, lengkap dengan gamelannya seperti di Solo dan Yogya, yang diselenggarakan di bulan Maulud dan dimaksudkan untuk memperingati kelahiran Nabi. Menurut al-Maliki, ulama Mekah dan yang juga berpaham Wahabi itu, dalam bukunya tersebut, peringatan maulid Nabi itu boleh-boleh saja. Tentu saja, al-Maliki diserang habis-habisan. Bahkan ada yang menuduh al-Maliki kafir. Untuk menangkis serangan yang bertubi-tubi itu, al-Maliki menyusun buku Mafahim yajibu antushohhah (Beberapa paham yang perlu dikoreksi), dengan kata pengantar dari para ulama terkenal seluruh dunia Islam. Dasar pijakan analisa al-Maliki sangat kuat, yaitu pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah, "kakek" mujadid atau reformis Muslim pada abad ke-14 Masehi atau ke-7 Hijri. Ironisnya, justru paham Wahabi lahir lantaran pikiran-pikiran Taimiyah. Ruku Mafahim inilah yang belakangan mendorong ulama Syiah Iran yang bermukim di London, Syaikh Ja'far Subhani, menulis buku al-Tauhid wa al-Syirk fi al-Quran al-Karim (Tauhid dan Syirik dalam Quran yang Mulia). Ia juga menulis Wahabiyah fi al-Mizan (Paham Wahabi dalam Pertimbangan), sebuah kritik atas paham Wahabi. Keduanya sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, 1989. Buku al-Maliki yang kedua itu membahas beberapa hal yang selama ini dinilai bid'ah oleh kaum Wahabi. Yaitu ziarah kubur, tawassul, dan tabaruk. Tawassul itulah memohon kepada Allah dengan perantaraan Rasulullah, para wali, atau orang-orang saleh yang telah wafat. Tabaruk ialah mengharapkan berkah dengan, misalnya, mencium (bekas) mimbar Rasulullah tanpa bermaksud menuhankan, melainkan lantaran kecintaan kepada pemiliknya. Pemahaman seperti itu sangat mirip dengan pemahaman di kalangan warga Nahdlatul Ulama yang berpaham ahlus sunnah wal jama'ah. Adapun pengaruh paham Wahabi sampai pula ke Indonesia. Antara lain mengilhami munculnya gerakan ulama Padri di awal abad ke-19 di Sumatera Barat, dan belakangan, secara tak langsung, juga mempengaruhi lahirnya Muhammadiyah di Yogya pada 1912. Gerakan pemurnian tauhid di Arab Saudi dipelopori oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab pada abad ke-18, dengan tujuan membersihkan Islam dari segala macam bid'ah. Mereka menganut mazhab Hambali dan ajaran pembaruan Ibnu Taimiyah. Ajaran ini sejalan dengan paham yang dianut oleh mujadid atau pembaru Islam di Mesir, Muhammad Abduh. Gerakan ini didukung oleh Ibnu Saud, pendiri dinasti dan kerajaan Saudi, dan belakangan juga anaknya, Raja Abdul Aziz. Pada 1806 mereka berhasil menguasai Mekah, dan di kota suci Islam yang terpenting itulah paham Wahabi dikembangkan. Ketika karisma Abdul Wahab bertemu dengan kekuatan dan kekuasaan Ibn Saud, seluruh jazirah Arab dikuasai. Ketika itulah mereka menolak kekuasaan Khalifah Ottoman di Istambul, Turki. Mesopotamia diserbu, kota suci Karbala dihancurkan. Syria dan pantai-pantai Laut Tengah, bahkan Aleppo dan daerah pinggiran Damaskus serta Basrah, diserang. Raja muda Turki yang berkedudukan di Mesir, Muhammad Ali, marah. Ia segera menyerbu Nejd dan menggiring tokoh-tokoh Wahabi ke Konstantinopel. Di alun-alun depan masjid Santa Sofia, para tawanan itu dipenggal kepalanya dalam upacara besar-besaran. Karena operasi itu, kekuasaan kaum Wahabi berantakan, dan patah sama sekali pada 1818. Baru pada 1940, kaum Wahabi bangkit kembali setelah Feisal -- yang kelak jadi raja -- melarikan diri dari tahanan di Mesir. Melalui para jemaah haji, kaum Wahabi berusaha mengembangkan pahamnya ke luar Semenanjung Arab. Pengaruhnya sampai ke India, dipelopori oleh Sayid Ahmad. Sedang di Indonesia, seperti sudah disebutkan, dikenal dengan Gerakan Padri dipimpin oleh Imam Bonjol. Pengikut Abdul Wahhab sesungguhnya enggan disebut "kaum Wahabi", julukan yang berasal dari musuh mereka. Mereka lebih suka menamakan diri Muwahhidun, alias para penganut tauhid. Budiman S. Hartoyo, Ardian T. Gesuri, Sri Pudyastuti R. (Jakarta), dan Wahyu Muryadi (Mekah)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus