Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Masyarakat di desa munggu, bandung, gempar. tanah negara untuk penderita lepra dijual kepada zainal. ada kasus salah ukur hingga tanah yang dijual bertambah luas. harga tanah kelewat mahal.

30 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASYARAKAT geger karena 12 are tanah milik negara itu dipindahtangankan kepada Zaenal T. dengan nilai Rp 4 juta per are. Soalnya, tanah itu -- terletak di pantai Seseh, Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali -- sejak awal kemerdekaan RI dijadikan kuburan penderita Cde alias lepra. Selasa dua pekan lalu, DPRD Badung pun turun tangan. Mulanya I Wayan Mudri menjual tanahnya kepada Zainal T. dengan harga Rp 120 juta. Tanah yang bersebelahan dengan areal kuburan itu luasnya 30 are -- sesuai dengan klasir pipil 1948. Belakangan, Mudri merasa tanah miliknya lebih luas lagi. Diadakanlah pengukuran ulang. Rupanya, luas areal mencapai 45 are. Bahkan menjadi 58 are setelah ditambah 12,5 are tanah lepra. Ulah calo yang bekerja sama dengan Kepala Desa, Camat, dan Pekaseh Subak itu menambah Rp 60 juta ke kantung Mudri. Tapi masyarakat keburu mencium bahwa yang dijual adalah tanah lepra yang juga merupakan tanah awik-awik milik desa Adat. Ma- syarakat resah. Sebagai wakil rakyat, I Gusti Ketut Adiputra, Ketua DPRD Tingkat I Badung, tidak tinggal diam. Ia beserta rombongan segera turun ke lapangan. Dari hasil pengecekan lapangan kemudian Adiputra, seperti dikatakannya kepada TEMPO, menegaskan bahwa tanah itu milik negara, bukan milik adat. Sebab itu, "Kami ingin menyelamatkan. Ia mengimbau agar pihak penjual bersedia mengembalikan uang lebih yang diterimanya. Kenapa? Karena yang terjadi adalah kasus salah ukur. Jual beli dengan menggunakan pipil itu tidak sah. Apalagi dilakukan di bawah tangan. "Pipil hanya diperlukan sebagai ukuran buat pajak bumi dan bangunan," kata Adiputra. Jual beli berlaku sah bila menggunakan surat pemilikan. Begitu pula, bila desa ingin memilikinya. "Silakan," kata Adiputra, lantang. "Tapi harus melalui prosedur yang ada." Dikatakan, pada prinsipnya siapa saja bebas memiliki tanah lepra. Kendati begitu, berhubung adat lebih dahulu memfungsikannya untuk kepentingan sosial buat penderita Cde, menurut Adiputra, "Saya kira sebaiknya pihak desa adatlah yang mendapat prioritas. Mendengar rentetan pernyataan Ketua DPRD, Zaenal selaku pembeli resah juga. "Saya tidak tahu," katanya. Ia mengaku membelinya melalui seorang perantara. "Kalau begitu, ya, saya akan minta lagi uang saya." Nyonya I Wayan Mudri kepada TEMPO juga menyatakan tak tahu-menahu apa yang dilakukan suaminya. Yang pasti, "Ternyata, punya uang banyak itu malah membuat hidup saya tidak tenang", katanya. "Saya sering sakit-sakitan sekarang." Harga tanah di Bali sudah edan. Di kawasan pasir putih Nusa Dua, harganya mencapai Rp 70 juta per are. Sedangkan di Kuta Rp 40 juta per are. Itu pun transaksi baru bisa dilakukan setelah melalui 5-10 perantara. John Kt. Panca, pengusaha, bercerita bahwa pada tahun 1980, ia membeli tanah di kawasan Legian dengan harga Rp 16 juta per are. "Kini tanah saya sudah diincar dengan harga Rp 47 juta per arenya." Rekannya, juga pengusaha, pada tahun 1984 membeli tanah di Batu Belig Kuta seluas 1,2 are dengan harga Rp 3 juta. Pengusaha asal Bali itu bermaksud mendirikan hotel. Tapi ternyata lebih untung dijual lagi. Makanya, tahun ini ia menjualnya kepada seorang pengusaha WNI dari Jakarta dengan harga Rp 16 juta per are. Cina Jakarta itu menjualnya lagi Rp 40 juta per are. Sang pengusaha asal Bali tadi kini lebih senang jadi perantara alias calo. Zaenal menilai harga yang terlalu tinggi itu menyusahkan investor yang ingin membangun hotel di Bali. Sekarang untuk membangun hotel di Nusa Dua perlu dana Rp 100 milyar untuk beli tanahnya saja. Belum lagi nilai bangunannya. "Artinya, baru 100 tahun kemudian uang yang diinvestasikan itu akan kembali," kata Zaenal. Kini para petani juga enggan menjual tanahnya. Belum lama berselang, Gubernur Bali Ida Bagus oka wanti-wanti, "Jangan menjual tanah. Tanah itu bisa dikontrakkan dan petani nanti tetap punya tanah." Akibatnya, sebagian investor kini mulai menjamah Pulau Lombok ..... melirik tanah lepra. Agus Basri, Joko Daryanto, IG.A. Silawati, IN. Wedja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus