NAPOLEON pernah bilang, ia lebih ngeri menghadapi pena ketimbang bedil. Pangdam IV Diponegoro Wismoyo Arismunandar punya pandangan yang sama dengan tokoh legendaris asal Prancis itu. "Tulisan punya pengaruh besar dalam masyarakat. Satu kalimat yang baik dari sebuah tulisan mampu menggerakkan 10 divisi," katanya. Itu sebabnya sejak Juni 1990 ini ia mengharuskan para plajurit di jajarannya mampu menulis alias membuat karya tulis. Malah membuat karya tulis menjadi salah satu persyaratan naik pangkat. Kenapa? "Zaman sekarang sudah nggak ada perang lagi. Untuk menghadapi tantangan masa depan, seorang prajurit harus mempunyai wawasan yang luas," kata jenderal berbintang dua alumnus AMN 1960 itu. Otomatis sebelum membuat tulisan ilmiah, para prajurit tentunya dituntut untuk membaca banyak buku. Ini bukan berarti para prajurit lalu mengabaikan segi-segi kemiliterannya. "Yang diutamakan tetap prestasi kemiliteran. Dengan membuat karya tulis para prajurit dapat meningkatkan cakrawala berpikirnya dan memperluas pandangan ke depan. Justru dengan membuat karya tulis itu bobot kemiliteran prajurit Diponegoro akan bertambah," kata Wismoyo. Untuk tahap pertama, perwira yang diwajibkan membuat karya tulis adalah pangkat letnan ke atas. Untuk menilainya, dibentuk sebuah tim. Jadi, seandainya ada komandan Kodim (Komando Distrik Militer) yang mau naik pangkat, karya tulisnya akan dinilai oleh tim yang dipimpin komandan Korem (Komando Resor Militer). Ide Wismoyo itu mendapat sambutan simpatik dari Mabes AD. Me- nurut Wakasad Letnan Jenderal A. Sahala Rajagukguk, para prajurit memang dianjurkan membuat karya tulis dan diperlombakan tiap tahun di lingkungan TNI AD. Karya-karya itu bisa menyangkut soal teritorial, atau yang bersifat teknis, taktis, maupun strategis. "Pemenangnya diberi hadiah," katanya. Bahkan, menurut Sahala Rajagukguk, membaca dan membuat karya tulis sudah dimasukkan dalam kurikulum sistem pendidikan di TNI AD sejak tahun lalu. Juga diadakan tes selama masa kepangkatannya. Ini sudah berjalan untuk pangkat letnan satu dan kapten. Dalam kurikulum pendidikan di TNI AD yang baru ini, ada program yang hampir serupa seperti yang dijumpai pada perguruan tinggi. Yaitu, "program D3, S1, S2, S3. Dari sinilah diharap akan sangat banyak karya tulis yang masuk," ujar Sahala Rajagukguk. Praktek membuat karya ilmiah ini juga sudah berjalan di jajaran ABRI lainnya. Di lingkungan Polri, misalnya. Ketentuan ini, walaupun belum diwajibkan, sudah dipraktekkan di beberapa Polwil. "Biasanya persyaratan ini hanya diperuntukkan bagi perwira pertama ke atas," ujar Kasub Dispen Polri, Kolonel (Pol.) Wresniwiro. Di lingkungan TNI AL, praktek membuat karya tulis juga sudah dimulai sejak 1982 yang lalu, ketika Laksamana Kasenda menjabat KSAL. Semula memang disarankan oleh atasan. "Tapi saran itu berubah menjadi suatu perintah. Kalau ada prajurit yang mau belajar ke luar negeri, biasanya membuat karya tulis," kata Kadispen TNI AL Kolonel M.A. Supriyo Taram. Untung, di jajaran TNI AL ada dua media cetak tempat para perwiranya bisa menyalurkan minat menulis. Seperti Armada yang menerbitkan majalah Ghora Wira. Topik tulisan di majalah ini biasanya bersifat teknis, seperti soal pengawetan bahan-bahan material di laut, sistem pendarat helikopter di kapal, atau efisiensi perbekalan untuk hubungan logistik. Sedangkan Mabes AL punya majalah Cakrawala yang isinya lebih populer. Kedua majalah ini, menurut Supriyo Taram, hampir tak pernah kekurangan tulisan. AKS, Diah Purnomowati (Jakarta), dan Heddy Lugito (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini