Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUCHDI Purwoprandjono nanap menatap jaksa penuntut umum yang membacakan dakwaan kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia, Munir. Meski diancam hukuman mati, pria 59 tahun itu tenang menyimak sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis dua pekan lalu.
Mantan Deputi Kepala Badan In-telijen Negara Bidang Penggalangan itu dituding mendalangi pembunuhan Munir melalui Pollycarpus Budihari Priyanto, terpidana 20 tahun kasus ini. Alasannya, menurut jaksa, Muchdi sakit hati kepada Munir, yang membongkar kasus penculikan aktivis 1997-1998 oleh Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat.
Karena terbongkarnya kasus itu, Muchdi dicopot dari jabatan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus, yang baru dipegangnya 52 hari. Pengacara Muchdi menepis tuduhan itu. Ia meminta jaksa dan hakim menghadirkan Budi Santoso, agen madya Badan Intelijen Negara, yang menjadi saksi kunci hubungan Muchdi dan Pollycarpus. ”Kalau tidak,” kata Achmad Cholid, ”kami meminta namanya dicoret dari daftar saksi.”
Budi Santoso alias Wisnu Wardana memang mata rantai utama yang menghubungkan Muchdi dan Pollycarpus. Menurut dia, Pollycarpus merupakan agen nonorganik yang direkrut pensiunan mayor jenderal itu. Ia juga mengatakan beberapa kali diminta Muchdi menyerahkan uang kepada Pollycarpus.
Ketika Munir dibunuh pada 7 September 2004, Budi Santoso menjabat direktur supporting unit bawahan Muchdi. Kepada penyidik, ia mengaku pernah diberi tahu Pollycarpus soal rencana pembunuhan Munir. Ketika itu, Pollycarpus menyatakan, ”Saya mendapat tugas dari Pak Muchdi untuk menghabisi Munir.”
Lahir di Madiun, Jawa Timur, 28 Februari 1950, Budi Santoso mengawali karier militernya setelah lulus Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada 1973. Pensiun dari dinas tentara pada 1999, ia langsung bergabung dengan Badan Intelijen Negara. Kini Budi ditempatkan di Kedutaan Besar Indonesia di Pakistan.
Melihat perannya dalam kasus ini, sumber Tempo mengungkapkan, semestinya Budi ikut menjadi tersangka. Tapi, karena keterangannya banyak membuka tabir misteri pembunuhan, ia ”dimaafkan”.
Awalnya, Budi enggan ”menyanyi”. Namun, menurut sumber lain, utusan khusus Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar berhasil meyakinkannya untuk bersaksi.
Ia pun mengungkapkan pernah diminta mengoreksi surat permintaan dari Badan Intelijen kepada Garuda Indonesia agar menempatkan Pollycarpus ke Unit Keamanan Penerbangan. Keterangan itu mengegolkan usaha kejaksaan mengajukan permohonan peninjauan kembali kasus ini.
Karena keselamatannya terancam, ada skenario kejaksaan tidak menghadirkan Budi ke sidang. Padahal juru bicara Markas Besar Kepolisian Indonesia Inspektur Jenderal Abubakar Nataprawira menyatakan polisi siap menjaga saksi. Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, I Ktut Sudiharsa, pun sepakat saksi harus dilindungi.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga mengatakan akan berupaya menghadirkan Budi. ”Walaupun kekuatan hukum kesaksian tertulis tetap sama,” katanya. Sekretaris Eksekutif Komite Aksi Solidaritas untuk Munir, Usman Hamid, meminta Budi dihadirkan sehingga keterangannya bisa dielaborasi lebih lengkap.
Ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Rudy Satrio, menyarankan ke-terangan Budi didengar melalui telekonferensi. Ia menggunakan preseden persidangan kasus pembobolan dana Bulog dengan terdakwa Rahardi Ramelan, mantan kepala badan itu. Ketika itu, sidang mendengarkan kesaksian mantan presiden B.J. Habibie, yang berada di Jerman, melalui telekonferensi. Namun pengacara Muchdi, Achmad Cholid, menolak cara itu.
Agus Supriyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo