Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MARTINAH mondar-mandir di pos komando bantuan gempa di Jalan Hiu, Kelurahan Pasir Ulak Karang, Padang. Di dalam tenda, ia tak menemukan apa-apa kecuali sekardus air kemasan. Beberapa penjaga posko duduk di bawah rindang ketapang di tepi jalan.
Di rumahnya di Jalan Bahari, masih di Pasir Ulak Karang, yang berjarak 300 meter dari pos, sepuluh mulut perlu makan. Perempuan 41 tahun itu tinggal bersama dua anak dan lima cucu. ”Kami yang tua kuat lapar, tapi anak-anak harus makan,” katanya, Rabu pekan lalu.
Sejak gempa 7,6 skala Richter pada Rabu dua pekan lalu, Martinah setiap hari harus ke sana-kemari mencari bantuan sekadar untuk makan. Gempa itu menyebabkan 739 orang tewas dan 296 hilang. Setidaknya 863 orang luka berat dan 121.679 rumah ambruk. Kerugian akibat rusaknya bangunan mencapai hampir Rp 2,2 triliun.
Gempa membuat Martinah praktis kehilangan nafkah. Sebelumnya ia berjualan makanan ringan di SMP Negeri 12 Padang. Sekolah itu rusak berat sehingga diliburkan. Adapun dinding rumah Martinah ripuk, lantai belah, rumah doyong bagai tepekur. Keluarga itu lalu membangun tenda terpal di samping rumah.
Ketika gempa mengamuk, Martinah di rumah kerabatnya yang sedang menggelar hajatan nikah, di Lubuk Buaya. Rumah kerabat ini di atas rawa, malah tidak ambruk. Tapi ia merasa tubuhnya berayun-ayun. ”Begitu pulang, ternyata rumah sudah doyong,” katanya.
Martinah dan keluarga kebagian bantuan sepuluh bungkus mi instan, dua botol air kemasan, dan tiga gelas beras, tiga hari setelah gempa. Jika malam tiba, ia bersama suami dan seisi tenda darurat tidur tanpa selimut.
Di televisi, Martinah melihat banyaknya bantuan untuk korban gempa, termasuk dari negara asing. Kok, bantuan yang sampai kepadanya tak memadai? Bahkan mereka kini sedang sulit mencari makan. ”Semua serba mahal, kami tak ada uang,” katanya.
Kurangnya bantuan juga dialami Irnawati, warga Pasir Ulak Karang juga. Sehari setelah gempa, ia menerima tiga liter beras dan delapan bungkus mi instan. Setelah itu, wassalam. Malah, tiga hari setelah gempa, ada penjualan beras jatah keluarga miskin di kelurahan. Seperti biasa, Rp 15 ribu dapat 26 kilogram.
Banyak yang membeli, tapi Irnawati tak punya uang. Ia bingung. ”Ke mana bantuan yang dibawa pesawat dan helikopter?” Irnawati bertanya, Rabu pekan lalu.
Kepala posko gempa RW I Pasir Ulak Karang, Hendarmin, mengeluhkan sedikitnya bantuan. Dari satuan pelaksana penanggulangan bencana, posko baru dapat 15 kardus mi instan dan 60 kilogram beras untuk 300 keluarga. Karena bingung membagi, mereka memutuskan menaruh bantuan di posko saja. ”Hanya mereka yang benar-benar kelaparan dan datang ke posko yang kami beri,” kata Hendarmin.
Birokrasi bantuan, kata Hendarmin, juga panjang. Bantuan mengalir dari satuan koordinasi pelaksana penanggulangan bencana provinsi, lalu dibawa ke satuan pelaksana Kota Padang, dan didistribusikan ke kecamatan.
Kepala desa menjemput bantuan di kecamatan. Ketua RT mengambil bantuan di kelurahan, lalu membagikannya ke posko-posko. Dari sini bantuan barulah langsung terdistribusi ke korban bencana. ”Di Padang, bisa dua sampai tiga hari bantuan baru sampai,” kata Hendarmin.
WAKIL Gubernur Marlis Rahman memimpin rapat koordinasi tanggap darurat bencana di kantor gubernur, Sabtu dua pekan lalu. Pesertanya pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Hadir Direktur Pengurangan Risiko Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Bernardus Wisnu.
Mendadak Sekretaris Daerah Provinsi, Firdaus K., ”mengusir” Wisnu. Marlis Rahman tak nyaman akan kehadiran Wisnu—yang mengambil sikap bijaksana. ”Saya orang luar,” katanya. ”Saya bisa memahami mereka.”
Ia menyatakan, dalam bencana Sumatera Barat, Badan Nasional hanya pendamping. Hubungan Badan Nasional dengan pemerintah provinsi bersifat koordinasi, bukan komando. Pemerintah provinsi dan kota/kabupaten tidak lumpuh. Ini berbeda dengan situasi tsunami Aceh, 2004. Ketika itu Badan berperan memegang kendali.
Koordinasi antara Badan Penanggulangan dan pemerintah provinsi, sejak hari pertama setelah gempa, sepertinya tak mulus. Juru bicara Badan Nasional, Priyanto Kardono, mengatakan pemerintah provinsi belum bisa menjalankan tanggap darurat pada saat itu.
Priyanto mengatakan, pada malam setelah bencana, Singapura mengirim bantuan. Semua bantuan asing melalui Badan Nasional. Namun pemerintah provinsi belum menunjuk orang yang bertanggung jawab soal bantuan.
Mestinya, pejabat provinsi inilah yang secara teknis menentukan tempat penampungan bantuan. Priyanto mengatakan, Badan Nasional memiliki standar operasional prosedur, termasuk memudahkan masuknya bantuan asing. ”Kita tidak bisa berjalan sendiri-sendiri,” katanya.
Sumber Tempo mengatakan, pemerintah provinsi terkesan gagap menangani bencana. Seharusnya, kata sumber itu, Sumatera Barat membentuk semacam susunan penanggung jawab bencana: siapa jadi komandan, siapa yang mengurus logistik, dan seterusnya.
Badan Nasional, kata sumber itu, sudah mendesak pemerintah Sumatera Barat menyusun organisasi itu. Namun, hingga akhir pekan lalu, belum jelas siapa komandannya. Idealnya orang yang memimpin situasi tanggap darurat itu tegas, cepat mengambil keputusan, selalu di posko, dan bisa dihubungi sewaktu-waktu. Sedangkan gubernur hanya memantau.
Hingga hari ketiga pascagempa, Tempo menyaksikan kesemrawutan di posko pusat di rumah dinas gubernur. Hanya ada meja informasi sejumlah lembaga, misalnya meja Satkorlak, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, TNI, dan perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bahkan hingga Jumat pekan lalu tidak ada meja yang dikhususkan menerima bantuan.
Dalam rapat koordinasi dan evaluasi antara Badan Nasional dan seluruh elemen pemerintah setempat, Satkorlak tidak diikutkan. Setiap malam, Badan Nasional dan lembaga nonpemerintah lokal maupun internasional mengadakan rapat bersama.
Sumber Tempo mengatakan, Badan Nasional ternyata juga tak banyak prakarsa membuat kebijakan. ”Lembaga itu hanya menerima laporan,” kata sumber itu. Sebaliknya, Priyanto mengatakan, Badan Nasional tidak ingin mencampuri urusan yang menjadi kewenangan daerah. ”Kami menghormati otonomi daerah,” katanya.
Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi mengatakan tidak ada persoalan koordinasi dengan Badan Nasional. Lembaga ini, katanya, bersifat back-up. Jumat pekan lalu, Badan Nasional mengirim 30 truk dan dua helikopter bantuan makanan dan keperluan sehari-hari, seperti lentera dan tikar, ke Kabupaten Agam. Itu pun setelah publik mendesak. ”Ini karena masukan rekan-rekan pers,” kata Samsul Maarif, Ketua Badan Nasional.
Sunudyantoro (Jakarta), Ismi Wahid, Febrianti (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo